forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Kamis, 28 Mei 2009

ORANG KALANG DI PESISIR JAWA: PERSPEKTIF HISTORIS*

Pada dasarnya membicarakan orang Kalang dan kebudayaannya tidak boleh terlepas dari aspek historis yang membentuk keberadaan mereka pada hari ini. Mengapa? Orang Kalang yang menempati pulau Jawa ini terkait sekali dengan sejarah masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha yang usianya sungguh sangat tua. Keberadaan mereka bersamaan dengan lahirnya mitos Ajisaka dan perdagangan perbudakan masa itu yang memang bukti historisnya cukup kuat. Meskipun sejarawan belum memiliki kesepakatan mengenai dari mana asal-usul orang Kalang sebenarnya mengingat hampir di seluruh pulau Jawa keberadaan mereka ada, juga di pulau Lombok dan Bali, para sejarawan yakin bahwa mereka adalah suku bangsa pendatang yang memiliki keunikan profesi yang berbeda dengan etnis Jawa. Orang Kalang identik dengan pekerjaan pertukangan. Hal ini berbeda dengan orang Jawa yang justru mementingkan aspek pertanian agrarisnya.

Menurut Bryne (1951:680) dahulu orang Kalang adalah kelompok masyarakat yang mempunyai profesi sebagai penebang kayu dan juru angkut di setiap proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Majapahit. Posisinya yang tidak beranjak dari kelas bawah masyarakat Jawa di masa lalu sangat identik dengan Candala yaitu sekelompok ras paria pada saat perdagangan Hindu di India. Crawfurd menambahkan bahwa Kalang adalah nama sebuah komunitas penduduk asli yang tingkatannya berada di bawah orang Jawa (1852: 65). Dalam Javaansch Nederhuitsch Woordenboek dikatakan bahwa Kalang adalah nama sebuah etnis di Jawa yang dulu hidup di sekitar hutan, dan mereka diduga mempunyai asal keturunan yang hina (1847: 206).


Hampir sama dengan pengertian di atas, Rigg (1862: 190) mengatakan bahwa Kalang adalah sejenis paria yang ada di Jawa, yang barangkali sedikit banyaknya hanya diketemukan dan terdapat di distrik Sunda. Meskipun demikian Rigg belum dapat menjawab mengapa persebarannya di Jawa Tengah cukup banyak (Pigeaud, 1967: Jilid IV). Kemungkinan besar Rigg hanya memandang banyaknya istilah yang mirip kalang yang ada di tanah Sunda seperti: kalang-kabut, balang, kabalang, kaalang, dan alang-alangan.


Dalam kamus Javaansch derduitsch Woordenboek (Gericke Roorda, 1847: 206), Kalang dianggap sebagai kelompok manusia yang hidup dan mati di Surakarta, di mana orang Jawa mempunyai anggapan yang berbau takhayul bahwa mereka adalah anak hasil perkawinan antara seorang perempuan dengan seekor anjing. Oleh karena itu, kalang diartikan sebagai kejaba, yaitu sesuatu yang yang ditempatkan di luar, atau sesuatu yang dipisahkan dari yang lainnya. Penjelasan lebih lanjut dikatakan bahwa orang kalang adalah sekelompok orang di masa lalu yang kehidupannya sengaja dipisahkan keberadaannya oleh kelompok lain. Pada masa itu orang Kalang tidak diperbolehkan berada di lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya. Statusnya sebagai kelompok di luar kasta membuat mereka mengelompokkan diri dan hidup di luar komunitas masyarakat umum. Hal ini agaknya sesuai pula dengan pendapat T. Altona yang menjelaskan bahwa Kalang berasal dari kata kepalang yang berarti tertutup, orang-orang yang berada di luar karena ditutup dari dalam. Kalang juga mungkin saja berasal dari kata alang-alang yaitu semacam binatang yang hidupnya mengembara (Altona, 1923: 515).

Penjelasan Kalang dari T. Altona tersebut semakin memperjelas status sosial kelompok Kalang. Posisinya yang termarginalisasi oleh sistem sosial budaya saat itu, membuat orang Kalang harus hidup tersisih dan menjauh dari kehidupan umum. Sistem kasta yang dipergunakan oleh penguasa masa kerajaan-kerajaan kuno membuat mereka tidak diperbolehkan bergaul dan berkomunikasi dengan kasta-kasta di atasnya. Pada akhirnya mereka mengembara dari satu tempat ke tempat yang lainnya, mencari tempat untuk mendapatkan makanan secukupnya. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini mirip dengan kehidupan manusia purba. Orang Kalang mengandalkan ketersediaan sumber daya alam untuk mencukupi kebutuhan hidup kelompoknya. Jika makanan yang ada dilingkungannya diperkirakan sudah habis dan wilayah tempat tinggal orang Kalang sudah dirambah oleh masyarakat umum, mereka akan mencari wilayah baru yang jauh dari pemukiman masyarakat umum.

Pandangan tentang posisi orang Kalang yang tersisih tersebut karena orang Kalang tidak dimasukkan dalam kriteria kasta dipertegas oleh E. Ketjen. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pada masa kerajaan Hindu orang Kalang tidak termasuk dalam 4 (empat) kasta yang ada. Keberadaaannya lebih mirip dengan kasta paria yang posisinya berada di luar catur kasta yaitu brahmana, satriya, waisya, dan sudra. Sudra sebagai kasta terendah dalam sistem kasta masih diakui hak-hak dan kedudukannya di masyarakat, tetapi Kalang dianggap kelompok hina-dina yang karena alasan penyakit, sosial, dan pelanggaran adat yang pernah dilakukannya mereka terlempar eksistensi diri mereka sebagai manusia normal (Pontjosoetirto, 1971: 36).


Pandangan E. Ketjen tersebut didukung pula oleh pendapat Dr. H. Ten Kate maupun van Rigg yang memposisikan orang Kalang sebagai kelompok Paria pada zaman Hindu. Kedudukan yang rendah tersebut kemungkinan besar karena mereka dianggap berasal dari gelombang kedatangan kelompok manusia yang berasal dari Kedah, Kelang, dan Pegu pada tahun 800 masehi (Veth, 1907: 93-104). Bahkan menurut Veth maupun A.B. Meyer mereka mempunyai kesamaan fisik dengan suku negrito di Filipina yang mempunyai kulit hitam dan berambut keriting. Ketjen melanjutkan jika orang Kalang merupakan pendatang di Jawa mereka pun sama dengan suku Semang di Malaka pedalaman, penduduk kepulauan Nicobar di Andaman, dan suku-suku asli Indo-Cina dan Papua. Orang Kalang merupakan bagian dari suatu ras yang menyebar di semenanjung Malaka, dan bersama-sama dengan orang Melayu, India, dan Cina mereka menyebar ke berbagai daerah di wilayah Nusantara. Sebagian dari mereka terdampar dan menetap di sepanjang wilayah pesisir pantai utara Jawa (Ketjen, 1883: 185).


Pandangan Ketjen itu serupa dengan pendapat A. B. Meyer. Dalam tulisannya yang berjudul Die Kalangs Auf Java, Meyer mengatakan (1877: 4) Kalang adalah sekelompok manusia yang kehidupannya terpisah dan menyendiri. Kalang dianggap suku tertentu yang masih mempunyai garis keturunan dengan orang negrito, semang dan sebagainya. Kehidupannya yang serba pasrah, berserah diri, dan bijak membuat mereka disebut sebagai Kalang Sejati. Pada awalnya mereka ada di Solo dan Bagelen serta karesidenan yang lainnya. Mereka ada di suatu tempat yang disebut Kalangan. Pekerjaannya di Surakarta adalah membuat cambuk, dan di tempat lain ada yang menjadi pandai besi. Sekarang, keberadaannya menyebar ke semua penduduk, bercampur dan membaur, dan sangat sulit untuk melihat kembali karakter yang ganjil kepadanya.


Menurut Dennys Lombart, Kalang merupakan masyarakat pinggir dan setengah nomad yang hidup di hutan seperti Lubdhaka. Sejak zaman Sultan Agung, mereka terpaksa merubah gaya hidup dan mencari nafkah di tempat pemukiman. Beberapa kota di Jawa masih terdapat kampung-kampung yang bernama Pekalangan. Di daerah itu mereka berprofesi sebagai tukang kayu, pedati, penebang kayu dan pengrajin kayu (Lombart, 1999: 44). Mereka mempunyai ciri khas suatu kelompok yang otonom, mengandalkan perkawinan endogami dan meskipun secara formal mereka tetap melakukan upacara tersendiri seperti pembakaran gambaran orang mati (Lombart, 1999: 144).

Pada dasarnya beberapa identifikasi yang dibuat para ahli tersebut di atas sudah memperjelas tentang siapa sebenarnya orang Kalang. Karakter sosial dan budayanya yang terbentuk mempertegas posisi orang Kalang dalam setiap dinamika perubahan zaman. Namun demikian, pandangan Meyer, Lombart, Bryne, Rigg, Roorda, dan Altona belum menyentuh sedikitpun tentang keberadaan orang Kalang di Kendal. Pandangan tentang keberadaan orang Kalang di Kendal itu mulai disinggung oleh T. S. Raffles. Dalam bukunya yang berjudul History of Java, Raffles (1978: 327-328) mengatakan:
…… it may not be inappropriate to introduce in this place a short digression, containing an account of some of the costumes peculiar to the people termed kalang, and to the inhabitans of the Tengger mountains. The former are said to have been at one time numerous in parts of Java, leading a wandering life, practicing religious rites different from those of the great body of the people, and avoiding intercourse with them; but most of them are now reduced to subjection, are become stationary in their residence, and have embraced the Mahometan faith. A few villages in which their particular customs are still preserved, occur in the provinces of Kendal, Kaliwungu, and Demak, and although the tradition of the country regarding their descent from an unnatural connection between a princes of Medang Kamulan and a chief who had been transformated into a dog, would mark them out as a strange race, they have claims to be considered as the actual descendants of the aborigines of the island. They represented as having a high veneration for a red dog, one of which is generally kept by each family, and which they will, on no account, allow to be struck or ill used by any one. When a young man asks a girl in marriage he must prove his descent from their peculiar stock. A present of rice and cotton-yarn, among other articles, must be offered by him, and carried to the intended in like manner, be received by an elderly relation of the girl: from this moment until the marriage is duly solemnized, nothing whatever is allowed to be taken out of either hut….

Pendapat Raffles tersebut sangat mirip dengan data yang dikemukakan oleh Roorda. Roorda (dalam Meyer, 1877: 4) mengatakan bahwa Kalang adalah nama sebuah suku yang ada di Jawa, yang dulu hidupnya tidak menentu atau nomaden, namun sekarang masih tetap setia mempertahankan tradisi yang penuh keganjilan di daerah dataran rendah Kendal, Kaliwungu, dan Demak.

Data tentang keberadaan orang Kalang di Kendal tercatat pula dalam tulisan baik Ketjen, Zwaart, maupun P. J. Veth. Ketjen menuliskan bahwa pada waktu diadakan pembagian kerajaan Mataram jumlah orang Kalang yang tinggal di Jawa cukup besar. Dalam akte pembagian kerajaan tahun 1755, masing-masing kerajaan mendapatkan bagian 3000 cacah orang Kalang. Jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan selama tahun 1761 di seluruh Jawa (termasuk Kendal) adalah sebagai berikut: dari Pasuruan sebesar 42,24 ringgit, Bangil 45 ringgit, Surabaya 141,12 ringgit, Pati 325 ringgit, Jepara 50 ringgit, Semarang 998,56 ringgit, Pekalongan 500 ringgit, dan Kendal 298,36 ringgit.

Menurut P.J. Veth, jumlah pajak yang demikian itu agak sebanding dengan jumlah penduduk Kalang yang ada di wilayah kekuasaan kompeni, di mana total keseluruhan ada lebih dari 2000 keluarga. Secara rinci distribusi orang Kalang sebagai berikut. Di daerah Surabaya terdapat 250 keluarga, Pasuruan 50 keluarga, Pati 250 keluarga, Demak 1000 keluarga, Kendal 250 keluarga, Pekalongan 800 keluarga, dan Tegal 180 keluarga (Zwaart, 1939: 258).

Demikianlah catatan historis tentang keberadaan orang Kalang di pesisir Jawa. Aktifitas budaya yang dilakukan secara intensif pada hari ini ternyata memiliki latar historis yang panjang. Tradisi Kalang Obong, Gegalungan Gegumbregan, dan sesaji-saji lain pada hari dan event tertentu memiliki keterkaitan sejarah asal-usul, leluhur, dan perlakuan penguasa setempat pada diri mereka. Orang Kalang yang menempati pesisir Jawa mempunyai profesi yang mendukung proyek pembangunan kerajaan-kerajaan klasik masa itu. Kepandaian, kerajinan, dan keuletan mereka di bidang pertukangan menjadi primadona tersendiri bagi penguasa saat itu. Dibandingkan dengan masyarakat Jawa, mereka memiliki etos kerja dan semangat kerja yang tinggi. Meskipun mereka secara sosial dilecehkan dengan julukan yang buruk, orang Kalang membuktikan siapa mereka dan untuk apa mereka mendarma-baktikan kehidupannya. 

*Penulis: Muslichin, Guru Sejarah SMA 2 Kendal.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

TENTANG LOMBA BENDA CAGAR BUDAYA*

Dua jam yang lalu baru saja kami selesai mendiskusikan sebuah tema perbincangan yang agak aneh bagi guru sejarah. Kami yang antara lain terdiri dari Tuti Handayani, Siti Nikmatilatif, dan saya berbicara dari hati ke hati tentang bagaimana agar dalam rangka menghadapi event tahunan resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah berupaya untuk saling mengeluarkan uneg, keluh, dan ilmu masing-masing agar anak-anak SMA yang ada di kabupaten Kendal ini dapat unjuk gigi di forum bergengsi itu.

Keanehan kami ini berangkat dari background mengajar kami yang berbeda, terutama posisi dan status Siti Nikmatillatif selaku guru sejarah SMA Boja Kendal sedangkan saya dan Tuti Handayani adalah guru SMA 2 Kendal. Dalam sebuah lomba, harusnya kami berdiri di atas garis demarkasi masing-masing di mana saya harus melindungi kepentingan anak didik saya sendiri untuk memenangkan lomba itu dan bu Siti Nikmatilatif juga berdiri pada arah yang berlawanan sebagai musuh untuk bersaing dalam event itu.

Namun, kami tidak seperti itu. Kecintaan atas kabupaten Kendal menjadi pondasi kami untuk berbincang tentang apa yang terbaik bagi wilayah ini. Dengan kata lain, kami bersepakat untuk tidak memegang primordialisme yang sempit untuk menyombongkan sekolah kami masing-masing. Kami sepakat untuk saling berdiskusi memutuskan tema, judul, sudut pandang, format, sampai dengan masalah referensi agar tulisan anak didik kami lebih bisa menggigit dan kemedol pada event prestise tersebut.

Selama ini, setiap lomba apa saja yang digelar pada level Jawa Tengah seringkali peserta lomba yang berasal dari kabupaten Kendal harus menerima pil kekalahan sebagai juara harapan, nominator, bahkan peserta partisipan saja. Mengapa mereka mengalami kekalahan seperti itu yang harusnya tidak menjadi nasib yang harus diterimanya?

Begitu pula yang dialami peserta lomba yang terkait dengan bidang kesejarahan, kepurbakalaan, dan legenda daerah. Hampir semua peserta yang berasal dari kabupaten Kendal pulang gigit jari tanpa mendapatkan apa yang menjadi obsesinya yaitu juara! Atas dasar itulah untuk menghadapi lomba BCB kali ini kami sepakat untuk bertempur lewat diskusi yang santun antar pembimbing agar bisa menemukan titik-titik tertentu yang bisa kami gali dan telusuri untuk dikembangkan menjadi tema tulisan bagi anak-anak kami. Ibarat orang sedang falling in love, kami saling memberi dan menerima. Kami menjauhkan sifat egoisme dan keakuan yang tak patut dipertonjolkan. Lalu, kami sepakat dengan tema yang berseberangan agar tidak terjadi overlapping kajian sehingga malah nanti muncul judul ganda yang tidak mungkin dimenangkan oleh dewan juri.

Dalam pertemuan yang tidak difasilitasi MGMP itu kami juga menganalisis tema-tema yang akan dilirik juri. Kami melihat kembali pada event yang sama pada tahun sebelumnya di mana dewan jurinya adalah Drs. Eko Punto H., M.Hum (UNDIP), mbak Ucik (UNNES), dan Prof. Dr. Wasino, M.Hum. (UNNES), maka kami menganalisis bahwa tema-tema yang terkait dengan persoalan arsitektur masa klasik Hindu-Buddha itulah yang akan menjadi finalis-finalis seperti halnya yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Lalu, kami menengok BCB apa saja yang terkait dengan aspek peninggalan Hindu-Buddha yang ada di Kabupaten Kendal ini. Selama empat jam akhirnya kami menemukan sebuah jawaban. Melalui referensi yang tersisa, kami menemukan bahwa ada BCB yang patut dijadikan tema lomba. Pertama, kami akan mengangkat aspek politik Hindu-Buddha seperti yang tercermin dalam situs Candi Argokusumo Limbangan. Kedua, kami juga setuju untuk mengotak-atik aspek pendidikan/pitutur yang tergores lewat relief bangunan bekas candi di kabupaten Kendal ini. Ketiga, kami akan mengangkat persoalan tehnik arsitektur bangunan kuno Hindu-Buddha yang berserakan di Limbangan, Boja, Sukorejo, Winong, dan Weleri. Kelima, kami juga menyiapkan cadangan judul tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap Benda Cagar Budaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Dan terakhir, kami menyiapkan cadangan kedua yaitu tentang peran museum bagi pembentukan kesadaran sejarah dan masa lalu masyarakat di Kabupaten Kendal ini. Namun agaknya yang terakhir ini memiliki kendala yang cukup berat di mana wilayah kabupaten Kendal belum memiliki satu museum pun.

Sebuah pertemuan tanpa snack dan minuman pada akhirnya menghasilkan sebuah kesapakatan yang cukup berarti. Kami bertiga menelurkan hasil yang sederhana namun sebenarnya menyimpan magma yang luar biasa. Kami berharap dengan dedikasi guru-guru sejarah yang tetap ikhlas dan santun mengajar ini mempunyai andil cukup bermakna bagi peningkatan prestasi anak didik di bidang lomba kepenulisan. Namun usaha ini harus juga terkait dengan anak-anak peserta lomba BCB itu sendiri. Jika mereka mau berusaha keras, tanpa lelah, dan melakukannya berdarah-darah pasti kemenangan yang memperindah nama baik Kendal ini akan tercapai.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

Rabu, 20 Mei 2009

ETIKA ORANG KALANG: PERSPEKTIF ANTROPOLOGIS*

Ketika remaja ada satu pengalaman berkesan yang telah memberikan inspirasi bagi saya untuk menulis tentang orang Kalang. Pernah suatu kali saya menyusuri desa demi desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Gemuh pada malam hari sehabis makan di warung makan Truko yang cukup terkenal. Ketika itu saya duduk di dalam mobil carry keluaran 1985 bak terbuka sambil menatap lalu lalang orang-orang dan sawah-sawah yang masih banyak ilalangnya dan dihinggapi suasana kegelapan karena masih mininya penerangan listrik. Namun, betapa agak terkejutnya saya ketika terpampang di depan mata banyaknya rumah yang cukup megah berdiri di sepanjang jalan antara Joho, Lumansari, Gebang, dan Krompakan. Rumah-rumah itu dibangun dengan pola arsitektur yang cukup modern, permanen, ada yang bertingkat, berhalaman luas, dan beberapa memiliki pagar yang cukup tinggi. Dengan situasi dan kondisi yang ada di tahun 1990-an itulah membuat saya yang melintasi rumah demi rumah tersebut menjadi terkagum-kagum dan bertanya-tanya: siapa pemilik rumah itu dan apa profesi pekerjaannya hingga bisa menjadi kaya seperti itu?

Pertanyaan yang melintasi di kepala saya itu tak lekas mendapatkan jawabannya. Lama pertanyaan itu mengendap tanpa harus berupaya untuk mendapatkan jawaban secepatnya. Ketika saya kuliah di fakultas sastra UNDIP pun, jawaban itu tak menanti untuk dikejar dan dikemukakan. Maklum saya mengambil spesialisasi sejarah Indonesia yang banyak berurusan dengan arsip kuno dan kemasa-laluan sebuah peristiwa. Kalaupun saya menyentuh kajian antropologi pun itu hanya sebatas kulitnya saja, dan berputar-putar pada hafalan teori-teori evolusi budaya, akulturasi, asimilasi, dan persoalan keprimitifan suatu masyarakat tanpa diimbangi dengan tugas yang menggigit dan menantang daya intelektualitas mahasiswa sejarah. Pokoknya segala sesuatu kajian disiplin baik sosiologi, psikologi, dan antropologi lebih pada pengenalan materi umum sebagai pelengkap analisa pada mahasiswa sejarah.

Lepas dari soal itu, sayup-sayup mulai sering sebenarnya saya mendengar bahwa pemilik dan penghuni rumah-rumah mewah di sepanjang jalan Gemuh itu adalah para juragan tembakau yang berhasil. Sayup-sayup lagi saya mendengar bahwa para juragan tembakau itu adalah orang-orang yang memiliki subetnis Jawa yang sama. Mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai wong Kalang.

Seiring perubahan waktu sedikit demi sedikit pertanyaan-pertanyaan yang terlontar itu segera mendapatkan jawabannya. Tentu saja saya belum langsung bisa menggabungkan fragmen-fragmen yang terpisah itu menjadi relasi sebab-akibat yang bisa ditarik menjadi formulasi jawaban yang saya cari selama ini. Secara tidak sengaja saya menemukan buku yang ditulis oleh Max Weber yang berjudul Protestant Ethic and Spirit Capitalism yang sudah sangat terkenal itu. Lewat buku terjemahaannya saya berusaha memahaminya dengan membacanya secara tuntas. Dari buku itu saya menyimpulkan bahwa agama Kristen Protestan yang berkembang di Eropa saat itu berperan besar dalam membawa perubahan sosial ekonomi masyarakat Eropa. Dengan etika yang lahir dan termaktub dalam ajaran protestan maka orang Eropa dapat menggali kesuksesan. Konsep kesederhanan, zuhud, dan asketik yang lahir dari penganut Protestan yang taat membawa kesejahteraan ekonomi dan pengumpulan materi yang mantap yang sesuai dengan prinsip dan etika agamanya.

Beberapa waktu kemudian, saya menemukan buku yang senada yang ditulis oleh Robert M. Bellah tentang Religi Tokugawa. Buku yang meneliti latar belakang agama Shinto sebagai pemicu perkembangan perekonomian dan kemajuan bangsa Jepang ini sangat menarik. Jika Max Weber menganggap bahwa etika Protestanlah yang membawa semangat pengumpulan modal orang-orang Eropa, maka Robert M. Bellah melirik bahwa etika Shinto yang diyakini membawa kemajuan bagi bangsa Jepang saat ini. Hampir dalam waktu bersamaan saya menemukan buku Mitsuo Nakamura yang berjudul tentang The Crescent Arise over The Banyan Tree: A Study Muhammadiyah Movement in A Central Javanese Town yang intinya buku itu meneliti tentang peranan etika Islam bagi pemantapan dan pemunculan gerakan Muhammadiyah yang disponsori oleh pengusaha-pengusaha muslim yang kaya. Mitsuo juga mengkritisi bahwa motivasi orang Islam mengumpulkan kekayaan materi adalah pengamalan dari keyakinan mereka terhadap syariat Islam terutama pasal tentang zakat dan pergi Haji. Kedua pasal ini yang membangkitkan semangat dan jiwa kewirausahaan orang-orang muslim untuk mengejar kekayaan materi.

Dari ketiga buku itu saya jadi termenung, apakah mungkin orang-orang Kalang yang kaya raya di sepanjang jalan Gemuh itu memiliki sistem etika yang mampu melahirkan kemauan dan kemampuan orang Kalang untuk memupuk modal sebesar-besarnya? Ataukah ada hal lain yang turut berperan dalam melapangkan jalan bagi mereka untuk mengejar kekayaan materi dan duniawai?

Seakan begitu mudah menghubungkan teori-teori besar yang digawangi oleh maestro sosiologi agama seperti Max Weber, Robert M. Bellah, dan Mitsuo Nakamura itu dalam situasi dan kondisi orang Kalang yang sedang saya bidik. Namun realitas di lapangan begitu sulit untuk mendalami apa sebenarnya yang menjadi hakikat orang-orang Kalang begitu giat bekerja dan memperkaya diri mereka. Teori-teori besar itu harus dikembangkan dan disesuaikan dengan konteks realitas antropologis yang berbeda. Penerapan inti teori yang sama tetapi jika menganalisisnya menggeneralisasikan saja nantinya akan timbul bias yang mengecewakan.

Dengan cukup hati-hati dan menguras daya tenaga yang cukup meletihkan, saya mencoba menggali informasi dari beberapa literatur yang ada di Perpustakaan Pusat Jakarta. Saya menemukan tentang sejarah orang Kalang yang ditulis oleh ahli-ahli yang berbeda-beda disiplin dan khasanah keilmuannya. Ahli-ahli seperti Altona, E. Keetjen, Gericke Roorda, Veth, Crawfurd, van Rigg, A.B. Meyer, Ten Kate sampai Thomas Raffles berbicara tentang orang Kalang dengan warna intelektualitas mereka. Dalam hal ini belum ada satu pun yang memberikan jawaban yang konkrit mengenai bagaimana sistem etika orang Kalang sehingga mampu memberikan kemauan kerja keras yang cukup tinggi. Untungnya, di saat kelelahan yang teramat sangat itu, saya menemukan buku Dennys Lombart yang didalamnya berbicara tentang keberadaan etika Kalang meskipun sangat tipis ulasan dan kajiannya. Dari salah satu artikel yang berada dalam Nusa Jawa Silang Budaya itu Lombart memotret bagaimana prestasi ekonomi orang Kalang pada masa penjajahan di Kota Gede Yogyakarta. Ditambah lagi, pada saat–saat kejenuhan datang saya menemukan buku Sulardjo Pontjosoetirto yang berjudul Orang-Orang Golongan Kalang yang cukup lengkap memotret orang Kalang dari sudut pandang historis dan antropologis.

Penjelajahan literatur saya rasa sudah lebih dari cukup. Kemudian saya memberanikan diri menemui orang-orang Kalang yang perawakan fisik dan penampilan sosialnya tidak ada bedanya dengan orang Jawa. Saya menemui beberapa orang Kalang yang ada di Desa Poncorejo, Pucangrejo. Krompakan, Lumansari, Botomulyo (Saribaru), Montongsari, Sendang Dawuhan, dan Getas Ombo. Merekalah yang saya rasa mengetahui hal-ikhwal tentang orang Kalang. Para informan kunci inilah yang mempunyai wawasan mendalam tentang etika Kalang dan ritual-ritual Kalang yang sangat unik bagi mata dan telinga orang Jawa pada umumnya.

Dalam studi lapangan yang teramat panjang saya menemukan sebuah kunci jawaban dari persoalan yang menggejolak saat saya remaja tersebut. Pertama, kerja keras dan kemauan orang Kalang untuk mengumpulkan materi berpusat pada sistem ritual mere-ka yang mau tidak mau mengharuskan mereka untuk memiliki materi yang serba cukup. Ritual yang memakan biaya besar dan wajib dilakukan orang Kalang itu menciptakan semangat dan motivasi untuk mengejar harta yang sebesar-besarnya. Orang Kalang diwajibkan untuk melaksanakan ritual Kalang Obong berkali-kali ketika menyangkut kematian orang tua, kakek-nenek, sanak saudara, dan kerabat yang dimilikinya. Satu kali ritual Mitongdino bisa menghabiskan biaya tiga juta sedangkan satu kali ritual Kalang Obong Mendhak bisa menghabiskan biaya standar delapan juta. Tidak hanya berhenti di situ saja, ritual Kalang lainnya siap dilakoni oleh mereka yang identik dengan Kalang Kamplong. Ritual selasa wage dan Jumat wage setahun tiga kali yang disebut gegalungan gegumbregan juga harus dilaksanakan secara serentak dan bersama-sama. Satu kali ritual setidaknya menghabiskan biaya tiga ratus ribu. Mau tidak mau sebagai orang Kalang mereka harus selalu menyediakan keperluan biaya tersebut dengan sebaik-baiknya. Adanya kebutuhan pembiayaan itu maka membuat orang-orang Kalang selalu bekerja sekuat tenaga untuk membiayai kebutuhan dan keperluannya.

Kedua, adanya sistem kepercayaan bahwa ritual Kalang Obong yang dilaksanakan sebaik-baiknya berarti dapat menggantikan kedudukan rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan ibadah Haji. Artinya sebagai orang Kalang yang beragama Islam mereka tidak diwajibkan pergi menunaikan ibadah haji jika mereka mampu melaksanakan ritual Kalang dengan sebaik-baiknya. Pada situasi sebelum tahun 1990-an anggapan dan keyakinan seperti ini masih berkembang begitu subur pada masyarakat Kalang, sehingga praktis kelebihan keuangan mereka hanya dialokasikan pada ritual Kalang yang biayanya masih di bawah biaya kewajiban menunaikan ibadah haji. Otomatis sisa biaya dan ongkos ritual diinvestasikan dalam bentuk usaha perdagangan, pertanian, dan transaksi-transaksi lainnya, meski ada pula yang digunakan untuk pembangunan rumah.

Ketiga, solidaritas orang Kalang yang kuat melahirkan kemajuan dan perkembangan ekonomi yang merata di antara orang-orang Kalang. Orang Kalang sangat memperdulikan sesamanya. Di antara mereka tercipta solidaritas sosial yang sangat tinggi. Dalam ritual Kalang yang dilakukan di sebuah desa, pasti akan dihadiri oleh sesama orang Kalang yang berasal dari desa-desa yang berjauhan. Adanya ruang bertegur sapa diantara anggota kelompoknya inilah yang melahirkan pengenalan dan intensitas solidaritas yang semakin mendalam. Akhirnya solidaritas yang kental itu melahirkan pengumpulan modal untuk membuat kontrak perjanjian usaha yang baru dan terus-menerus.

Keempat, pola perkawinan orang Kalang yang endogami melahirkan penyatuan kekuatan ekonomi yang teramat besar. Sesama orang Kalang adalah saudara yang diperkuat oleh solidaritas ekonomi melalui lembaga perkawinan yang menghubungkan keluarga Kalang yang berjauhan dalam suasana keluarga yang terus dibangun keutuhannya. Apa yang terjadi oleh satu keluarga Kalang akan cepat ditanggapi oleh keluarga Kalang lainnya yang ada di desa-desa sekitarnya.

Beberapa kesimpulan itulah yang memberikan jawaban atas apa yang terngiang dalam pikiran saya sewaktu masih duduk di bangku SMA. Saya tak menyangka bahwa posisi dan kedudukan orang Kalang yang dulu semasa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dilecehkan dan dipinggirkan ternyata pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an mampu memimpin perekonomian di Kabupaten Kendal melalui sektor pertanian tembakau. Etika Kalang yang terbentuk melalui prinsip-prinsip ritual yang harus dilakoninya telah membawa motivasi dan etos kerja yang sangat tinggi. Sampai sekarang mereka memberikan penanaman nilai pada anak-anak mereka tentang bagaimana sebuah pekerjaan itu harus segera dilaksanakan ketika menginjak usia tertentu. Pekerjaan di sektor swasta lebih diminati karena lebih mampu mendorong optimalisasi dalam bekerja daripada hanya menerima gaji setiap bulannya tanpa berpeluh dengan keringat dan kerja keras.¤

*Penulis: Muslichin, guru SMA 2 Kendal.

Baca Selengkapnya Klik disini !

PARIWISATA DAN EKSOTISME BUDAYA KALANG*

Umumnya masyarakat menganggap bahwa potensi budaya yang dapat digali untuk kepentingan pariwisata adalah atraksi tari-tarian dan wisata kuliner yang baru-baru ini secara serentak mengemuka di sejumlah media. Meskipun hal itu memang baik dan mampu memperkenalkan potensi lokalitas budaya suatu daerah namun bukan berarti tidak ada potensi budaya lainnya yang layak dan memiliki nilai jual yang tidak kalah pentingnya.

Jika kita mau jujur dan melihat mengapa pulau Bali mempunyai potensi wisata yang tinggi hingga diminati banyak turis asing adalah kekayaan kulturalnya yang sangat unik. Bali mampu mengeksplorasi adat-istiadat dan tradisinya yang berbeda dengan daerah lainnya. Bali menawarkan sejuta potensi budayanya yang sangat lengkap. Bali tidak saja menjual panorama alamnya yang indah tetapi yang lebih penting adalah menjual budaya lokalnya baik adat, tradisi, ritual, dan kebiasaan mereka pada masyarakat global yang sudah jenuh dengan gemerlap globalisasi dan modernisasi.

Sebenarnya, apa yang terjadi di pulau Dewata itu dapat dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten-kabupaten lain di Indonesia. Pengelolaan potensi budaya yang tidak hanya mengedapankan unsur tarian dan kuliner dapat dilakukan oleh pihak terkait dengan memperhatikan potensi budaya apa yang dimiliki oleh kabupaten/wilayah yang bersangkutan.

Sebagai sebuah contoh adalah potensi budaya di Kabupaten Kendal. Kabupaten Kendal yang sebagian wilayahnya terletak di kawasan pesisir di beberapa desa dihuni oleh sebagian masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Kalang. Orang Kalang menempati desa-desa Krompakan, Lumansari, Saribaru, Poncorejo, Pucangrejo, Bumiayu, Teratai, Montongsari, Sendang Dawuhan, Wonotenggang, dan sebagainya yang umumnya menempati wilayah Kecamatan Gemuh dan Rowosari. Keunikan budaya orang Kalang ini adalah adat dan tradisinya yang mirip dengan budaya Hindu di Bali. Jika orang Hindu Bali mempunyai tradisi upacara ngaben dan galungan, maka orang Kalang di pesisir Kendal ini masih memelihara upacara obong mitongdino dan sependhak serta gegalungan gegumbregan. Dalam upacara pembakaran dalam rangka kematian sependhak itu orang Kalang membuat boneka yang disebut puspa. Puspa ini mirip dengan boneka yang ada dalam ritual lanjut ngaben yang disebut sebagai puspa sarira. Istilah tirta dalam ritual obong juga sama dengan istilah tirta dalam ritual-ritual Hindu Bali. Dalam ritual sependhak orang Kalang membuat pancaka atau rumah untuk puspa. Sekilas ini juga mirip dengan rumah-rumahan dalam ngaben. Pancaka ini nantinya juga ikut dibakar bersama puspa, pakaian, kasur, sepatu, topi, biji-bijian, sesaji, uang, dan sebagainya. Sebelum pancaka dibakar, kerbau yang sudah sudah dipotong dan diposisikan nderem itu berputar beberapa kali sebagai upaya mengantar kepergian roh orang yang meninggal. Penggunaan kerbau ini hampir mirip pula dengan ritual ngaben di mana di dalam ngaben ada patung kerbau yang besar yang turut dalam tahapan ritualnya.
Pada upacara gegalungan gegumbregan, orang Kalang membuat sesaji yang diperuntukkan bagi leluhur mereka. Mereka membuat sesaji dua kali sejumlah berapa banyak anggota keluarga yang masih hidup. Jika orang Hindu di Bali melaksanakan ritual itu setiap tujuh bulan sekali, maka orang Kalang melaksanakan setiap tujuh bulan dua kali dan lima bulan dua kali. Selain kedua ritual khas orang Kalang itu, mereka juga masih melestarikan ritual-ritual lain yang sudah terakulturasi dengan budaya tua Jawa yaitu ritual malem Jumat, sesaji Dewi Sri, dan nyadran di pekuburan mereka.
Oleh karena itu jika dinas kebudayaan dan pariwisata tertarik dan memandang ada unsur tertentu dari budaya itu yang bisa digali dan diperkenalkan pada publik tentu saja hal ini akan memperkaya keunikan pariwisata di Kabupaten Kendal. Namun, tetap harus ada sikap kesungguhan dan profesionalitas Dinas terkait dalam mengelola potensi budaya itu hingga dapat menarik minat wisatawan atau bahkan peneliti-peneliti untuk datang melihat sendiri budaya animisme dan dinamisme yang masih tetap dilestarikan dengan baik. Jangan sampai ada unsur pemaksaan semata demi alasan komersialisasi pariwisata hingga menodai kemurnian pelaksanaan ritual Kalang tanpa mengimbangi dengan kebutuhan apa yang terbaik bagi orang Kalang sendiri dalam rangka memperkenalkan pesona budayanya. Dalam hal ini pihak terkait melihat sejauhmana budaya Kalang itu dapat mengobati rasa kepanasaran masyarakat lain yang jarang atau tidak pernah melihat kebiasaan dan tradisi Kalang itu. Unsur kepenasaran masyarakat luar itulah yang akan dibidik dan diarahkan untuk mengkonsumsi wisata budaya yang muncul dari tradisi Kalang. Sekaligus hal ini sebagai bentuk klarifikasi budaya terhadap eksistensi orang Kalang yang selama ini dituduh mempunyai leluhur seekor anjing, manusia berekor, dan hidup nomaden.
Dari hal tersebut berarti ada manfaat lain ketika kultur Kalang yang eksotik itu diperkenalkan pada publik yang berbeda kebudayaannya. Masyarakat lain di luar komunitas Kalang menjadikannya sebagai medium pembelajaran multikultur. Mereka bisa memperoleh pengayaan pemahaman terhadap hakikat keperbedaan budaya yang terlahir di dalamnya. Masyarakat Jawa sebagai pemilik kultur dominan akan mencoba memahami keperbedaan itu sebagai celah untuk berinteraksi dan saling mengenal kebudayaan masing-masing. Keunikan tradisi Kalang dapat pula menjadi museum budaya bagi orang lain untuk melihat sejarah akulturasi budaya dan agama apa saja yang pernah singgah di wilayah yang ditempati orang Kalang.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal dapat pula memanfaatkan staf Kecamatan Rowosari dan Gemuh untuk mendata keberadaan kelompok mereka dengan atribut dan jadual kegiatan ritual yang biasa dilaksanakannya. Namun demikian hal ini bukan tidak ada kendala. Sikap masyarakat non-Kalang biasanya ada yang keberatan dengan upaya promosi dan publikasi budaya daerahnya yang di dalamnya terdapat orang Kalang. Upaya pemahaman terhadap masyarakat non-Kalang yang hidup berdekatan dengan orang Kalang ini perlu diberikan penjelasan yang utuh agar tidak timbul salah pengertian terhadap apa yang dilakukan oleh pihak aparat Kecamatan.
Strategi menjual yang dilakukan Pemkab Kendal bukanlah berarti mengeksploitasi keunikan tradisi itu hanya untuk tujuan komersial semata, melainkan Pemkab Kendal berniat untuk melestarikan tradisi sebagai konsekuensi penjagaan tradisi yang diwariskan dan dilestarikan. Pemkab Kendal bukan berarti pula melestarikan tradisi yang oleh sebagian orang menganggap syirik, namun dinas terkait lebih bertujuan untuk mengenalkan sebentuk ritual yang pernah dan masih ada di wilayahnya bagi kelompok masyarakat lainnya demi kepentingan pembelajaran dan menumbuhkan semangat multikultur yang saat ini berada pada posisi yang mengkhawatirkan.

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.

Baca Selengkapnya Klik disini !

Selasa, 19 Mei 2009

UPACARA BENDERA SEBAGAI EKSPRESI SIMBOLIK KESADARAN NASIONALISME DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN PADA GENERASI MUDA (SEBUAH REFLEKSI TANPA SIMPULAN)*

Anak-anakku sekalian, kehadiran saya, tak lain dan tak bukan adalah berupaya membawa kesegaran bagi keberadaan kesadaran nilai-nilai kepahlawanan yang akhir-akhir ini sudah mulai luntur dan pudar. Mengapa? Mengapa saya bisa mengatakan bahwa generasi saat ini sudah mengalami disorientasi historis dan tak lagi mengingat semangat juang pahlawan yang sudah lama gugur di medan pertempuran? Indikatornya apa-apa anak-anakku? Apakah saya sebagai sosok guru pada kalian ini terlalu meruda-paksa sebuah keadaan? Ataukah saya hanya asal bicara saja?

Barangkali kejutan seperti ini perlu sampaikan lebih dahulu. Banyak kita lihat anak muda seusia kalian lebih memilih tidak mengikuti upacara bendera jika mereka diberi pilihan diadakan upacara atau tidak pada hari itu. Ada lagi anak-anak muda yang mengatakan bahwa upacara bendera adalah bentuk fasisme/militeristik yang harus dijauhkan dari muka bumi ini. Teman kamu yang lain mengatakan bahwa upacara bikin pusing kepala dan berkeringat. Mereka tidak lagi menganggap bahwa upacara bagian dari upaya pelestarian tradisi yang efektif bagi penanaman nilai kebangsaan terutama nasionalisme negeri ini.

Banyak sekali kejadian anak-anak sekolah ngumpet di kamar mandi, di belakang pagar sekolah, atau ngrumpi di pojok pasar agar mereka tidak mengikuti pelaksanaan upacara bendera. Mereka menganggap upacara bendera adalah buang-buang waktu saja. Mereka memandang bahwa upacara itu tidak mengandung nilai pelajaran apapun. Anak-anak seperti itu kita jumpai di sekolah mana saja. Pokoknya, ada banyak alasan bagi mereka untuk mencoba kabur dari upacara.

Anak-anakku, ketika teman kamu yang lain mengikuti upacara bendera mereka melakukannya hanya sekedar formalitas baku dan semu. Mereka secara fisik berbaris rapi ala prajurit yang siap bertempur. Namun demikian, apakah dengan sendirinya pandangan, pikiran, dan hati mereka ikhlas betul mengikuti tahapan demi tahapan dalam upacara bendera? Ini yang perlu dipertanyakan? Banyak sekali siswa yang dengan pakaian seragam lengkap melakukan upacara tetapi tidak memahami apapun juga. Mereka hanya berkeringat dan kelelahan. Padahal jika kita mau meresapi makna apa di balik simbol-simbol upacara itu tentunya banyak sekali manfaat yang mampu mendorong kita menghormati nilai juang kepahlawanan bangsa ini.

Bapak/ibu yang saya muliakan dan anak-anakku yang saya cintai. Negeri Paman Sam yang sangat maju dan terkenal itu ternyata memiliki pola dan sistem pendidikan yang sangat pedulli dengan nilai-nilai na-sionalismenya. Kita mungkin tidak pernah membayangkan jika Amerika yang kapitalis itu mempunyai arah dan tujuan jelas di dalam sistem pendidikannya dalam rangka mencetak dan menciptakan generasi muda yang unggul di bidangnya masing-masing tanpa harus kehilangan warna kebangsaannya. Kita telah dikecoh dengan tayangan Hollywoodnya yang mengacaukan alam pikiran kita, dan justru ironisnya menjadi kiblat bagi anak muda kita yang hidupnya tanpa aturan, anarkhis, dan vandalis.

Setiap pagi, di dalam kelas, mereka melakukan ritual menghormati bendera yang dipimpin oleh ketua kelas masing-masing dengan guru yang ada di depannya. Kemudian dilanjutkan dengan lagu kebangsaan negerinya. Mereka begitu khidmat, takjub dan tenang. Dalam sekejab suasana sunyi tercipta. Seolah nuansanya kembali pada masa di mana rakyat Amerika bertempur dan menaikkan benderanya di sebuah perbukitan sebagai ekspresi dan upaya mempertahankan kemerde-kaannya ketika melawan tentara Inggris.

Anak-anakku, mengapa Amerika bisa seperti itu sedang kita tidak? Bapak dan ibu guru di sekolah di negeri yang penuh kedamaian ini ternyata sangat sulit mengarahkan dan mendidik anak bangsa dengan semangat dan spirit kebangsaannya. Upacara bendera setiap hari senin sebagai ekspresi simbolik kesadaran berbangsa tidak pernah mampu memberikan suntikan semangat kebangsaaan yang kita harapkan. Seharusnya kita mulai menyadari bahwa setiap inchi demi inchi bendera yang kita naikkan ke permukaan tiang bendera membutuhkan korban yang tak terhitung besarnya. Berapa jumlah generasi dahulu yang menjadi tumbal bagi kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita impikan yang harusnya tercermin dalam balutan pengibaran bendera itu. Harus ada semacam penyetubuhan sikap dan hati kita secara sigap menyapa bendera yang dinaikkan secara perlahan namun membawa memori kita ke masa silam.
Hadirin yang kami muliakan. Bung karno sendiri mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bagaimana kita bisa menghargai pahlawan jika ternyata dalam setiap upacara itu kita tidak mendapatkan apapun juga. Bung Karno benar, bangsa yang menghargai pahlawan itu akan menjadi bangsa besar. Dan justru itu tidak kita temukan pada anak bangsa kita. Anak-anak kita menganggap satu jam berada di halaman sekolah itu sebagai bentuk formalitas yang melelahkan. Bahkan hal ini diprovokasi oleh beberapa guru yang malah tidak memberikan contoh yang baik pada kita pada saat pelaksanaan upacara. Oknum guru itu lebih memilih duduk mengerjakan tugas dan persiapan mengajarnya daripada berpanas-panas ria bersama siswanya.

Bapak dan Ibu sekalian, Bangsa Jepang yang sekarang menguasai teknologi dan perekonomian dunia, dulunya juga sebuah bangsa yang kurang dikenal oleh bangsa lain. Namun berkat keuletan dan disiplin bushido dan ketertundukkan yang ikhlas terhadap kaisarnya mampu memberikan bukti bahwa kesadaran menjunjung budaya dan sejarahnya menjadikan mereka mampu pula mengangkat derajat dan martabat bangsanya hingga sejajar dengan bangsa lain. Bahkan, di beberapa bidang Jepang lebih unggul dibanding dengan bangsa lain. Mengapa kita tidak meniru bangsa Jepang?

Hebatnya, meskipun sudah sedemikian majunya, sistem pendidikan Jepang tetap tidak menghilangkan penanaman nilai budaya dan kepahlawanan melalui mata pelajaran sejarah dan keseniannya. Sejarah Jepang dibuka lebar-lebar bagi anak bangsa di negerinya itu agar mereka tahu bagaimana susah-payahnya sebuah negeri matahari itu terbentuk. Setiap pagi di sekolahnya mereka masih tetap melakukan seikerei, taiso, dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaannya yaitu kimigayo. Mereka pun tanpa malu jika diwajibkan mengkonsumsi bacaan Mushashi yang halamannya sampai 25.000 lembar, di mana bacaan ini dianggap kitab suci baru yang di dalamnya memiliki kandungan moral, etika, sejarah, dan budaya Jepang.

Bapak dan Ibu yang hadir pada saat ini. Upacara bendera pada hakikatnya merupakan aplikasi dan penerapan sejauhmana nilai-nilai kepahlawanan yang diberikan pada pelajaran sejarah selama ini diberikan. Sepanjang nilai-nilai itu mampu diberikan dengan baik dengan model dan strategi apa saja maka hasilnya akan baik juga. Kita memang perlu mempertanyakan efektifitas penanaman nilai kepahlawanan melalui pelajaran sejarah. Ironisnya, pelajaran sejarah justru dianggap sebuah mapel yang membosankan. Para siswa merasa jenuh jika harus menghafal angka sementara angkanya sendiri tidak bisa ketemu dengan rumus. Mereka bosan menghafal tokoh dan pelaku sejarah. Mereka harus bertemu dengan prasasti-prasati dan masa lalu yang wajib dihafal dan dihafal. Tak pernah terpikirkan pada kita untuk merubah sistem pengajaran sejarah dengan model belajar yang menarik dan menikmatkan siswa.

Ketika seorang siswa ditanya pelajaran apa yang tidak kamu sukai? Mereka pasti akan menjawab pelajaran sejarah. Alasan-alasan di atas tadi merupakan jawabannya. Anak-anak kita tidak pernah kita bangunkan kesadarannya melalui bentuk pengajaran sejarah yang mampu memahami apa yang terjadi pada masa lalu di negeri kita ini.

Hadirin yang kami hormati, Cicero dan Herodotus pernah mengatakan bahwa sejarah mengajarkan masa lalu pada generasi sekarang agar kita bisa menemukan jawaban tentang apa yang terjadi saat ini dan sekaligus merancang apa yang mungkin terjadi pada masa depan di sebuah negeri. Roeslan Abdulgani sendiri pun pernah mengatakan bahwa sejarah mengajarkan cara pandang tiga dimensi. Mempelajari sejarah berarti mengajak kita untuk berziarah pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Namun sayangnya, bangsa kita amat jarang untuk mencoba memahami apa yang terjadi pada negeri kita ini. Korupsi, kemalasan, dan kemerosotan akhlak menjadi satu indikator kebejatan masyarakat kita yang tidak pernah mencoba mengenal bangsanya sendiri. Kita hanya berani mengkambinghitamkan pemerintah kolonial Belanda selaku penjajah yang telah menciptakan mental inlander dan kebusukan korupsi ketika VOC masih berjaya waktu itu. Kita malah menjadikan sejarah sebagai sumber legitimasi untuk melakukan kesalahan yang sama dan pernah dilakukan oleh generasi terdahulu. Koentjaraningrat sendiri pernah mengatakan bahwa negeri ini telah menciptakan suatu mentalitas yang mampu mendorong masyarakatnya (justru) mundur ke belakang. Kita tidak pernah akan menjadi bangsa yang maju, malah mundur karena mentalitas menerabasnya yang sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya, sudah terserap pada sebagian pembuat kebijakan.

Apakah lalu dengan demikian kita masih perlu menyalahkan anak-anak kita sendiri sementara generasi di atas kita memberikan contoh dan ketauladan yang begitu gamblang dipertontonkan.

Rekan-rekan semua, ada kalanya kita perlu merenungi apa yang telah terjadi pada negeri kita di mana sebetulnya adalah sebuah penyakit kronis yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kesadaran berbangsa dan bernegara di negeri ini. Penyimpangan perilaku di atas sebetulnya didorong oleh kepentingan pribadi saja. Mereka tidak pernah menyadari bahwa yang dilakukan adalah menodai semangat kepahlawan yang menitikberatkan pada sifat-sifat altruistik yang wajar. Tak pernah-kah mereka mencoba meniru pengorbanan the founding fathers itu?

Siswa dan anak-anak kita ini perlu diwarisi sikap kepahlawanan sejati. Pahlawan yang tidak hanya tertancap pada benak anak-anak kita tentang heroisme yang kaku dan kurang bisa dipahami bagi konteks anak muda sekarang. Oleh karena itu, ada kalanya selain kesalahan penyampaian dan mekanisme konkrit pengawasan sejauhmana nilai kesadaran kepahlawanan terlihat tersebut sebaiknya kita perlu mempersamakan persepsi tentang kebangsaan itu sendiri, antara generasi tua dengan anak-anak muda itu sendiri.

Sering anak-anak kita menghafal pengertian nasionalisme yang berasal dari orang-orang besar seperti Hans Kohn, Louis Sneyder, Otto Bauer, dan Ernest Renan. Mereka mencoba untuk menancapkan pada benak dan pikiran mereka tentang paham-paham kebangsaan itu. Hasilnya mereka hafal betul siapa dan apa yang dikatakannya. Namun, ketika mereka melihat konteks kehidupan negeri Indonesia ini, begitu sulitnya untuk memahami persoalan politik yang akhirnya mengobrak-ngabrik akar pemahaman mereka terhadap konsepsi nasionalisme itu sendiri. Satu persatu wilayah di Indonesia seakan mencoba untuk keluar dari NKRI. Perlahan mereka menuntut pelaksanaan referendum atau jajak pendapat di setiap wilayahnya masinh-masing. Timor-Timur hempas, Aceh bergolak, Papua kelam, Maluku hitam, serta Sipadan dan Ligitan akhirnya menjadi persoalan serius yang perlu dipikirkan kembali tentang apa yang terjadi di negeri ini. Konflik atas nama etnis tercipta antara Aceh dengan Jawa, Pribumi dengan Cina, dan Dayak dengan Madura. Hati kita menangis tanpa tahu apa yang harus kita lakukan untuk mencegah itu. Kita malu bahwa kita punya negeri seperti itu. Sampai-sampai Taufik Ismail penyair angkatan 66 perlu membuat puisi yang berjudul Aku Malu Jadi Orang Indonesia.

Hadirin yang terhormat, tidakkah kita salah jika mencoba mempraktikkan sekumpulan definisi tentang nasionalisme di atas. Sebuah bangsa tercipta karena kesadaran berbangsa. Mereka memiliki hasrat, perasaan senasib dan sepenanggungan. Mereka sebagai sebuah etnis yang semula berbeda akhirnya dipersatukan melalui semangat mengatasi penjajahan. Perasaan ini akhirnya membuat sebuah bangsa tercipta dan mandiri. Namun, ada pertanyaan besar yang menggangu pikiran kita: apakah setelah musuh bersama itu terhapus lalu kita akan diam saja tanpa bisa berbuat apa saja untuk eksistensi kemerdekaan negeri ini?

Bapak dan Ibu, kerap kita menyalahkan anak-anak kita akan hilangnya kesadaran berbangsa seperti halnya di awal pidato ini. Ada suatu persoalan besar yang mungkin melanda persepsi kebangsaan pada anak didik kita. Generasi tua seringkali merasa bahwa negeri ini berdiri karena jasa mereka. Di satu sisi, memang itu fakta yang harus kita junjung tinggi kebenarannya. Namun, apakah dengan demikian mereka sah-sah saja mengatur dan menentukan merah-putihnya negeri ini? Saya kira kita harus berani memandang secara obyektif. Dalam hal ini harus ada sebuah titik temu untuk memperbincangkan arah dan masa depan negeri ini melalui persepsi nasionalisme. Artinya harus ada titik pijakan untuk melangkah dan menentukan seperti apa negeri ini dibangun. Sebuah negeri yang indah ini tidak semata berisi kenangan semata. Namun negeri ini membutuhkan berbagai perekat yang mampu menjadi elemen yang menyatukan perbedaan-perbedaan bangsa ini. Kita harus mampu menciptakan sebuah monumen-monumen yang bisa mengingatkan akan bentuk perjuangan, kebersatuan, kebergunaan, dan prestasi-prestasi yang perlu kita tuju dalam mengisi masa pembangunan. Pembangunan yang kita laksanakan pada dasarnya merupakan perekat juga yang akan membersatukan kita menuju cita-cita bangsa. Agaknya konsepsi ini mirip dengan apa yang pernah dikatakan oleh Benedict Anderson tentang nasionalisme imajiner atau kesadaran kebangsaan yang mencoba untuk dibayangkan.

Bapak dan Ibu, kita kembali pada pokok persoalan awal tentang rendahnya partisipasi dan kesadaran anak didik ketika melakukan sebuah ritual yang bernama upacara bendera. Apa yang sampaikan di atas sangat terkait dengan kondisi dan pandangan anak didik terhadap upacara bendera. Upacara bendera menjadi sesuatu yang muskil dan harapan semu mana kala akar masalah akan rendah anak didik itu tidak ditelusuri dengan baik. Kondisi global dan nasional dari perpolitikan bangsa di negeri nan indah ini ternyata mempengaruhi bagaimana mereka harus menyikapi upacara bendera.

Anak-anakku sekalian, upacara bendera bukanlah semata sebuah ritual yang dilahirkan oleh pemerintah militer Dai Nippon. Memang, Jepang memberikan sendi-sendi militeristik di negeri ini. Jepang memiliterkan semua aspek kehidupan. Namun, esensi dan nilai terpenting dari upacara itu adalah eksrepsi simbolik manusia sekarang terhadap masa lalu perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Upacara bendera adalah jembatan manusia sekarang untuk mengunjungi kenangan-kenangan yang pernah ada pada negeri kita yang sedang mengada.

Akhirnya, apa yang sudah saya sampaikan ini adalah perkataan yang tak luput dari kesalahan. Saya selaku wakil guru sejarah mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya jika ada pengajaran dan penyampaian materi sejarah oleh para guru yang ternyata meleset dari fakta dan kejujuran sejarah itu sendiri. Dan, sekali lagi maaf bahwasanya saya tidak mampu memberikan penutup pada pertemuan yang sangat berarti ini karena saya yakin apa yang saya sampaikan ini tentunya kesimpulannya ada pada hati kita masing-masing. Biarlah apa yang saya sampaikan ini memberikan pemaknaan yang berbeda-beda di hati saudara, bapak/ibu, dan anak-anakku sekalian. Bagi saya pribadi, perbedaan adalah sebuah sunatullah, dan sekaligus berkah yang pasti dapat memberikan inspirasi bagi kemajemukan dan kemajuan negeri ini.
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. Tulisan ini berasal dari naskah pemenang Ke-2 Lomba Pidato Kepahlawanan Kemah Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal di Protomulyo Kaliwungu 30 November s/d 3 Desember 2007.

Baca Selengkapnya Klik disini !