forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Rabu, 29 April 2009

MENGKRITISI PROGRAM KERJA MGMP SEJARAH*

Sebagai wadah musyawarah antar guru bidang studi yang sama, penting sekali MGMP Sejarah memikirkan program kerja yang up to date dan berpijak pada lokalitas setempat. Program kerja MGMP Sejarah yang sudah tepat alangkah baiknya ditingkatkan agar dapat bersaing secara sehat dengan MGMP-MGMP bidang studi lainnya yang sudah demikian majunya.


Secara jujur, dua tahun berjalannya MGMP Sejarah ini, begitu banyak program yang sudah dikerjakan oleh para pengurusnya dan direspon secara baik oleh anggota-anggotanya. Beberapa program kegiatan MGMP Sejarah yang sudah dilaksanakan antara lain program penelitian masalah pendidikan, pembuatan PTK, workshop pembuatan soal ujian, musyawarah rutin sebulan sekali, pengkajian sulabus dan RPP, studi wisata, pembuatan bahan ajar bersama, pembahasan soal-soal ujian tahun sebelumnya, pembuatan model pembelajaran dan sebagainya.

Namun demikian, program-program kegiatan yang sudah berjalan tersebut terasa membosankan dan ketinggalan jaman manakala melihat bagaimana majunya program-program kegiatan yang dilakukan MGMP bidang studi lainnya dan vakumnya program kegiatan MGMP Sejarah pada dua tahun terakhir ini.

Program MGMP bidang studi lain seperti Matematika, Biologi, Fisika, Kimia atau Bahasa Indonesia begitu lincah memanfaatkan sarana kecanggihan globalisasi untuk mendukung interaksi di antara mereka dan menyokong upaya memaksimalkan kegiatan musyawarahnya dengan baik. Internet menjadi wadah yang bermanfaat bagi jalinan komunikasi antara pengurus dan anggota MGMPnya. MGMP-MGMP tersebut membuat blog yang secara khusus menampung aspirasi dan kegiatan mereka selama ini. Kondisi ini jelas berbeda dengan MGMP Sejarah yang terbukti kurang memanfaatkan fasilitas teknologi tinggi bagi perkembangan dan keberlanjutan hidup MGMP Sejarah sendiri. Mengapa bisa terjadi hal ini?

Sangat tidak masuk akal kalau menyalahkan sumber daya manusia dan ketanggapan guru-guru sejarah terhadap teknologi internet bagi pengembangan MGMP. Justru MGMP Sejarah perlu berbangga hati karena salah satu pioner IT di Kabupaten Kendal notabene adalah guru sejarah. Nama guru itu adalah Suwignyo,S.Pd, seorang guru sejarah yang mengajar di SMK 2 Kendal.

Lalu di mana kesalahannya sampai terjadi kemandekan dan kevakuman organisasi? Barangkali terletak pada motivasi dan kemauan dari pengurus dan anggotanya untuk mengembangkaan MGMP sejarah sebagai wadah yang dapat menyumbangkan pengetahuan teknis dan akademik bagi karir guru-guru sejarah tersebut.

Sekali lagi, MGMP bukanlah barang baru yang berguna bagi pengembangan dunia pendidikan. Namun demikian, bukan berarti produk lama yang bernama MGMP itu bisa diterlantarkan begitu saja tanpa ada upaya pemeliharaan lebih lanjut. Sinergi bersama antara pengurus dan anggota itulah yang dibutuhkan untuk mengembangkan organisasi ini lebih lanjut agar tidak layu dan mati.

*Penulis: Tuti Handayani, S.Pd., guru Sejarah SMA 2 Kendal.


Baca Selengkapnya Klik disini !

REVITALISASI MGMP SEJARAH*

Pada dasarnya MGMP merupakan wadah komunikasi antar guru pada bidang studi tertentu untuk membahas persoalan-persoalan yang terkait dengan materi bahan ajar, model belajar, rencana pengajaran, penilaian, masalah kepangkatan, dan penyamaan visi dan misi ke depan organisasi tersebut akan dibawa. Untuk peran pemecahan persoalan keseharian mengenai tugas guru mengajar dan penyiapan bahan ajar apa yang harus dibuat dan diberikan pada peserta didik barangkali MGMP menjadi medium yang terbukti sangat efektif memerankan fungsi dan peranannya selama ini. Dalam tahap tertentu layaknya organisasi lainnya, MGMP mengalami fase pasang-surut dan dinamika kegiatannya. Kadang MGMP melaksanakan serangkaian kegiatan yang sangat produktif seperti workshop, pertemuan rutin setiap bulan sekali, pelaksanaan kegiatan even tertentu, studi wisata, pengkajian dan penulisan soal, dan pembuatan tes atau soal ujian maupun semesteran. Sebaliknya, terkadang MGMP tidak melakukan kegiatan sama sekali bahkan untuk pertemuan setiap bulan sekali.


Kondisi terakhir ini mirip sekali dengan apa yang terjadi pada MGMP Sejarah Kabupaten Kendal. MGMP sejarah yang diharapkan menjadi wadah pertemuan rutin antara guru sejarah dalam rangka membahas persoalan-persoalan kesejarahan, strategi dan model mengajar sejarah, serta persoalan sertifikasi dan jenjang kepangkatan. Namun demikian, MGMP sejarah ini menjadi medium yang vakum dari berbagai kegiatan ilmiah yang diinginkan anggota-anggotanya. Selama dua tahun lebih forum musyawarah memperbincangkan banyak hal ini absen dari kegiatan yang diharapkan bersama. Hal ini jelas mengecewakan anggota-anggota MGMP Sejarah. Mereka menganggap dengan vakumnya organisasi ini berarti peluang untuk membicarakan kesulitan-kesulitan mengajar pupus juga dari harapan. Akibatnya, ketika ada persoalan yang dialami anggotanya mereka tidak tahu lagi harus lari ke mana. Mereka seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Lalu, apa yang harus dilakukan masalah seperti ini? Apakah tidak ada upaya untuk melakukan revitalisasi dan penyegaran kembali keadaan MGMP yang mengalami kevakuman cukup lama?
Namun, sebelum ada upaya untuk melaksanakan revitalisasi apalagi reorganisasi, alangkah bijaknya mengetahui terlebih dahulu alasan-alasannya mengapa terjadi masifikasi organisasi yang diibaratkan mati segan hidup tak mau.

Alasan utama yang menyebabkan MGMP Sejarah ini mengalami dekadensi adalah kesibukan-kesibukan yang dialami pengurus MGMPnya. Ketua MGMP Sejarah yang dipegang Drs. Tjiptoro, M.Pd ini mempunyai kesibukan luar biasa sebagai wakil kepala urusan kurikulum di SMA Rowosari. Sebagai orang no. 2 di sekolah tersebut beliau harus mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan kemauannya untuk membawa kemajuan di SMA yang baru berdiri tersebut. Hal ini agak berbeda ketika beliau masih menjabat sebagai waka di SMA 1 Sukorejo di mana di sekolah tersebut para gurunya memiliki pengalaman yang luas dan mendalam sekali sebanding dengan apa yang sudah dimiliki oleh Drs. Tjiptoro, M.Pd tersebut. Di samping itu, beban kesibukan beliau bertambah ketika bulan-bulan lalu disibukkan dengan kemauan kerasnya untuk menyelesaikan sstudi S-2 nya secara tepat dan lancar. Aktivitas beliau bertambah pada bidang sosial di lingkungan sekitar rumah sebagai pengurus P2KP yang tentunya banyak menguras tenaga dan waktu.

Demikian pula pada sekretarisnya yang dipegang oleh Drs. Purwanto. Usianya yang masih muda tidak sebanding beban pekerjaan yang banyak di SMA Pegandon. Beliau memiliki pekerjaan tambahan sebagai salah satu Waka di SMA tersebut. Hal senada hampir mirip dengan posisi bendahara MGMP yang dipegang oleh Tuti handayani, S.Pd. Sebagai wakil kepala Sarpras jelas beliau tidak bisa lagi mempunyai waktu untuk memikirkan MGMP ini. Seluruh waktu habis untuk memikirkan sarana dan prasarana yang ada di SMA 2 Kendal.

Dengan kesibukan para pengurus MGMP tersebut jelas memupus hambatan anggota MGMP lain yang berharap banyak untuk tetap bertemu sebulan sekali, bersilaturahmi, dan bercanda seputar problematika guru sejarah yang semakin banyak. Ketidakadaan kesempatan bertemunya para pengurus teras MGMP Sejarah ini membuat posisi MGMP Sejarah menggantung tidak jelas. Ketika persoalan mendera datang, para guru sejarah tidak mendapatkan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalannya.

Oleh karena itu harus ada upaya bersama untuk menghidupkan kembali fungsi dan peran MGMP yang selama ini vakum dan mandeg. Reorganisasi bukanlah solusi yang paling tepat, mengingat potensi dari para pengurus itu yang masih tetap istimewa, berpengalaman, dan workaholic. Mempertahankan mereka dalam kepengurusan MGMP Sejarah lebih mulia dan tepat. Sepak terjang selama ini perlu diapresiasi dengan sebaik-baiknya. Jasa-jasa maupun program-programnya semasa kepngurusan MGMP sangat baik, dilanjutkan dan perlu ditingkatkan.
Namun demikian, dari deretan guru sejarah yang berusia di bawah 30 tahun baik yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta perlu dilibatkan dalam kepengurusan MGMP mengingat energi mereka yang sangat besar, kreatif, dan masih belum dibebani berbagai jabatan tambahan di sekolah masing-masing. Mereka inilah yang diharapkan menjadi penyeimbang ketika pengurus lama karena kesibukannya kehilangan energi dan semangat pembaharuan. Guru-guru muda seperti Risyanto, S.Pd dari Pondok Modern Slamet, Nikmatul S.Pd dari SMA Boja, Nurhikmah, SS dari SMA Gemuh, dan guru lainnya dari SMA 1 Sukorejo, SMA 1 Weleri dapat dilibatkan dalam kepengurusan secara bersamaan dengan pengurus lama.

Jika adanya sinergi antara pengurus lama dengan tambahan pengurus baru ini tercapai pasti kegiatan MGMP yang lebih dua tahun ini vakum akan kembali menggeliat dan terlaksana kembali. Pengurus lama akan memberikan tambahan pengetahuan, wawasan, dan pengalaman pada pengurus yang muda, sementara pengurus yang muda memberikan suport, dukungan moril, dan motivasi pada pengurus lama untuk tetap eksis dalam melaksanakan program-program kegiatan MGMP sejarah yang terlelap sementara waktu ini.

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.

Baca Selengkapnya Klik disini !

MENGOPTIMALKAN MGMP SEJARAH

MGMP merupakan wadah resmi bagi guru bidang studi tertentu untuk mengkomunikasikan berbagai hal seputar dunia pendidikan. Namun demikian, ada kalanya MGMP menjadi wadah yang berfungsi seputar tempat berkumpul para guru untuk sekedar makan-makan, ngobrol, dan curhat. MGMP bukan lagi forum ilmiah melainkan ruang cerita bagi bapak-ibu guru bercakap-cakap tentang kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan keintelektualitas mereka. Kalau sudah seperti ini apa yang harus kita lakukan?


Bukan rahasia umum lagi, jika semua wadah resmi yang dibangun pemerintah pada perkembangan berikutnya tidak mempunyai fungsi seperti yang kita harapkan bersama. Hal ini terjadi karena kurangnya kontuinitas dan kedisplinan baik pengurus maupun anggotanya untuk memelihara apa yang sudah dimilikinya.

Baca Selengkapnya Klik disini !

Jumat, 24 April 2009

WORKSHOP PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS SKILLS DAN ENTREPRENEURSHIP



Awal Juni ini Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro menyelenggarakan seminar nasional bertemakan Pengembangan Kurikulum Berbasis Skills dan Entrepreneurship. Bagi guru-guru sejarah yang tertarik dan berdomisili di Kabupaten Kendal dapat menghubungi ketua MGMP Sejarah untuk mendaftar diri.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

AKTIVITAS TAMBAHAN MGMP SEJARAH



Sudah saatnya MGMP Sejarah Kabupaten Kendal Mengembangkan diri. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperluas jangkauan dan kinerja MGMP Sejarah. Di samping Dinas Pendidikan juga telah memberikan fasilitas pembekalan bagi guru sejarah yang mengikuti penataran, pelatihan, workhsop, dan seminar baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional, MGMP sejarah Kendal dapat pula mengembangkan kegiatan dalam bentuk kepanitiaan kegiatan yang terkait dengan masalah kependidikan, kepenulisan, dan sosial lainnya. Konkritnya, alangkah baiknya jika MGMP sejarah mulai membuat kegiatan yang mampu meningkatkan aktivitas para anggotanya. Konkritnya lagi, ada satu media massa yang mempunyai nama memberikan lampu hijau pada MGMP sejarah untuk membuat kepanitian dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. bentuk kegiatannya adalah membuat panitia lomba menulis artikel untuk guru tentang pendidikan dengan tema bebas.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

Testing mas......

mas muslikhun selamat sore

mohon doa restu ya.... untuk kami sekeluarga..... makasih atas support nya... dari bossnya guru sejarah

Baca Selengkapnya Klik disini !

Selasa, 14 April 2009

EKSPLORASI SEJARAH LOKAL SEBUAH UPAYA PENANAMAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING*

Pendahuluan
Dewasa ini, mata pelajaran sejarah sering dianggap sebuah mata pelajaran yang kurang disukai oleh peserta didik. Indikasi kurang tertariknya peserta didik terhadap mapel ini dapat dilihat pada banyaknya peserta didik yang jenuh dan bosan ketika mengikuti kegiatan belajar sejarah di sekolah. Umumnya kebencian mereka terletak pada materi ajar sejarah yang terkait dengan hafalan angka-angka tanggal, tahun, nama peristiwa, nama tempat, artefak, dan tokoh yang bagi peserta didik sangat tidak menarik dan menjemukan.

Ada lagi yang menganggap bahwa letak kejemuan mereka lebih pada figur guru yang kurang profesional dalam mengajar sejarah. Banyak guru menyampaikan materi secara texbook, tanpa variasi, monoton, kurang humor, dan tetap menggunakan metode ceramah yang membosankan. Banyak guru yang belum mempergunakan fasilitas media mengajar. Mereka tidak mempergunakan peta, foto, replika candi, artefak, fosil, sampai tidak mengoptimalkan fungsi teknologi pembelajaran yang berbasis internet atau multi media. Di tambah lagi, guru sejarah sering memberikan soal dan pertanyaan yang sulit-sulit.

Di sisi lain ada kemungkinan ketidaktertarikan peserta didik pada mapel sejarah lebih pada tema-tema sejarah nasional yang kurang menyentuh rasa kedaerahan mereka, sehingga rasa keterlibatan dan emosionalnya tidak terbentuk secara alamiah. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengembalikan rasa keberminatan peserta didik terhadap pelajaran sejarah adalah menciptakan pola pembelajaran sejarah yang terkait dengan situasi lingkungannya. Kegiatan pembelajaran sejarah lokal perlu dijadikan medium untuk mengembangkan rasa kepedulian dan ketertarikan akan ranah kedaerahan mereka, untuk selanjutnya menggali lebih mendalam lagi tentang apa yang pernah ada dalam lintasan masa lalu di daerahnya.

Untuk itu, tulisan ini ingin mengangkat persoalan bagaimana sebenarnya kegiatan eksplorasi sejarah lokal tersebut dapat menjadi suatu sumber dan bahan ajar yang menarik di sekolah, dan tulisan juga ingin mengupas lebih jauh bagaimana pembelajaran sejarah lokal yang berbasis CTL tersebut dipergunakan untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa tanpa nuansa primordialisme dan etnosentrisme yang ditakutkan selama ini.

Sejarah Lokal
Sebelum lebih jauh membahas tentang pembelajaran sejarah berbasis CTL, terlebih dahulu akan dibahas secara singkat tentang pengertian sejarah lokal. Menurut Taufik Abdullah sejarah lokal adalah suatu peristiwa yang terjadi di tingkat lokal yang batasannya dibuat atas kesepakatan atau perjanjian oleh penulis sejarah. Batasan lokal ini menyangkut aspek geografis yang berupa tempat tinggal suku bangsa, suatu kota, atau desa (Abdullah, 1982). Ahli lain mengatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang sejarah yang bersifat geografis yang mendasarkan kepada unit kecil seperti daerah, kampung, komunitas atau kelompok masyarakat tertentu (Abdullah, 1994: 52). suatu peristiwa yang terjadi di daerah yang merupakan imbas atau latar terjadinya peristiwa nasional.
Sebaliknya, Wasino (2009: 2) mengatakan bahwa sejarah lokal adalah sejarah yang posisinya kewilayahannya di bawah sejarah nasional. Sejarah baru muncul setelah adanya kesadaran adanya sejarah nasional. Namun demikian bukan berarti semua sejarah lokal harus memiliki keterkaitan dengan sejarah nasional. Sejarah lokal bisa mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki keterkaitan dengan sejarah nasional dan peristiwa-peristiwa khas lokal yang tidak berhubungan dengan peristiwa yang lebih luas seperti nasional, regional, atau internasional.
Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang kajian mengenai masa lalu dari suatu kelompok atau masyarakat yang mendiami unit wilayah yang terbatas.

Pembelajaran Sejarah
Membicarakan upaya penanaman nilai-nilai kepahlawanan melalui model eskplorasi atau penggalian sejarah lokal dengan pendekatan CTL akan lebih sistematis bila menyinggung terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsep pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk melangsungkan persiapan, pelaksanaan, dan pencapaian hasil belajar yang menyangkut bidang studi sejarah. Dalam konteks pembelajaran konvensional mapel sejarah seringkali diberikan pada anak didik dalam bentuk ceramah. Banyak orang akhirnya menganggap bahwa karakteristik sejarah memang materi yang penuh dengan hafalan saja.
Pandangan ini jelas keliru. Dalam KTSP sudah diberikan keleluasaan pada guru untuk memberikan materi yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Guru dapat memberikan tambahan materi berdasarkan apa yang sesuai dengan konteks lingkungan sekolah masing-masing. Namun demikian apa yang diharapkan pemerintah melalui kurikulum terbaru tersebut belum mampu diterjemahkan dengan baik oleh para guru yang ada di lapangan.

Guru sejarah harusnya mampu menggiring anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam setiap kegiatan belajar. Guru sejarah hendaknya menggunakan metode CTL (contextual teaching Learning) dalam mengarahkan hakikat sebuah peristiwa masa lalu. Anak didik dapat diajak untuk menemukan sesuatu secara mandiri dengan cara menyelidiki dan menggali sendiri informasi yang menyangkut peristiwa masa lalu tersebut (Wasino, 2007: 1-2).

Dalam CTL yang terkait konstruktivisme ini, guru tidak dengan sendirinya memindahkan pengetahuan kepada anak didik dalam bentuk yang serba sempurna. Anak didik harus membangun suatu pengetahuan berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil usaha peserta didik itu sendiri. Hal ini terkait dengan aktivitas mental anak didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Pikiran anak didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungannya sendiri. Realita yang dihadapi anak didik adalah realita yang mereka bina sendiri. Untuk itu, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Jika pengetahuan baru sudah mampu diserap dan dijadikan pegangan mereka, baru guru dapat memberikan informasi pengetahuan yang melimpah (Utomo, 2007: 4)

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. Dengan konteks ini diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik (Depdiknas, 2002: 1).
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme, inquiry, bertanya, masyarakat belajar, modeling, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL ini jika telah menerapkan tujuh pilar ini secara simultan dalam kegiatan pembelajaran (Trianto, 2007: 105-114).

Oleh karena itu, ada beberapa prinsip yang perlu dipahami dalam CTL. Pertama, membuat hubungan yang bermakna antara sekolah dan konteks kehidupan nyata. Kedua, melakukan pekerjaan yang signifikan. Ketiga, pembelajaran mandiri yang membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok. Keempat, bekerjasama untuk membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, serta membantu mereka untuk mengerti bagaimana berkomunikasi dengan yang lain (Wasino, 2007: 1-2).

Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Lokal
Pada dasarnya pembelajaran sejarah lokal agak berbeda dengan sejarah lokal itu sendiri. Sejarah lokal berarti proses kegiatan belajar di lingkungan pendidikan formal yang sasarannya adalah keberhasilan proses itu sendiri dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam kurikulum. Sebaliknya, pembelajaran sejarah lokal adalah kegiatan dalam rangka pencapaian pengetahuan tentang peristiwa sejarah yang dijadikan sasaran studi dengan mengutamakan proses belajar yang punya sasaran-sasaran khusus yang jelas (Suharso, 2009: 6-7). Bahkan menurut Doudi, pengajaran sejarah lokal mampu menerobos batas antara dunia sosiologis-psikologis ketika peserta didik secara langsung mengenal dan menghayati lingkungan masyarakatnya di mana mereka bagian dari komunitas lingkungannya (1967: 7-8).

Dalam pengajaran sejarah lokal peserta didik akan mendapatkan contoh-contoh dan pengalaman-pengalaman dari berbagai tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya. Pendeknya, mereka akan lebih mudah menangkap konsep waktu atau perkembangan yang menjadi kunci penghubungan masa lampau, masa kini, dan masa mendatang.

Jika melihat kurikulum KTSP, model pembelajaran sejarah lokal ini sangat terkait dengan semangat di dalamnya. Berdasarkan beberapa pilar CTL, maka jelas bahwa pembelajaran sejarah sangat relevan dengan teori-teori yang ada seperti teori J. Bruner tentang konsep pendekatan proses. Sesuai dengan sifat materi dan sumber sejarah lokal, maka peserta didik akan menjadi lebih peka terhadap lingkungan sosial dan budayanya. Peserta didik lebih pula terdorong mengembangkan ketrampilan khusus seperti mengobservasi, wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi dan mengidentifikasi konsep, serta melakukan generalisasi, yang mana semuanya ini mendorong bagi berkembangnya proses belajar yang bersifat inquiry (Suharso, 2009: 9 dan Widodo, 2009: 4-6).

Di samping kelebihan dan beberapa hal mendasar yang terkait dengan pembelajaran sejarah lokal, ada pula kelemahan-kelemahan yang terlihat ketika pengajar melaksanakan program pembelajaran sejarah lokal. Kelemahan-kelemahan itu adalah: pertama, sulitnya sumber dan bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai sasaran studi sejarah lokal. Setiap daerah mempunyai tingkat kesukaran yang berbeda mengingat kejadian-kejadian apa yang pernah terjadi di daerahnya juga tidak sama. Kabupaten Semarang jelas akan memberikan banyak informasi, bahan, dan sumber sejarah dibandingkan Kabupaten Kendal mengingat keterlibatan manusia di di wilayahnya yang lebih intensif pada peristiwa-peristiwa masa lampau. Kedua, keterlambatan peserta didik menyelesaikan tugas penulisan laporan karena dibatasi kurikulum dan silabus. Seringkali pengajar harus mengalami kerepotan karena peserta didik tidak mengumpulkan tugas tepat pada waktunya. Kurikulum yang memberikan alokasi waktu yang terbatas tidak bisa memberikan peluang bagi peserta didik untuk berlama-lama. Di sisi lain peserta didik ingin memberikan laporan penulisan yang ideal dan berkualitas. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran sejarah lokal menuntut pada pengajar untuk memiliki kedisiplinan dalam mengorganisasi kegiatannya seperti proses perencanaan, penentuan topik, persiapan, pelaksanaan kegiatan, dan penyusunan laporan hasil kegiatan. Hal ini berarti menuntut kemampuan dan kerja keras baik dari pengajar maupun peserta didik.

Bentuk dan Model Kegiatan Pembelajaran Sejarah Lokal
Sebagai kegiatan pembelajaran yang menarik, seorang pengajar dapat memilih model mana dari eksplorasi sejarah lokal yang dapat digunakan. Seperti diketahui bahwa pengembangan metode pengajaran sejarah lokal ini mempunyai beberapa alternatif pilihan.

Pertama, tipe penyajian informasi sejarah lokal dari pengajar kepada peserta didik tanpa mengharuskan peserta didik berada di lapangan. Model dan tipe ini masih konvensional seperti metode pembelajaran sejarah lainnya yang mungkin membuat peserta didik tetap merasa jenuh dan bosan.

Kedua, pengajar dapat membuat model penjelajahan lingkungan sekitar. Tipe ini dapat diterapkan pada peserta didik baik yang masih di sekolah dasar maupun sekolah menengah atas, walau dengan intensitas kedalaman materi dan riset yang berbeda.

Ketiga, pengajar dapat menerapkan model lawatan sejarah sebagai upaya mengeksplorasi kekayaan sejarah lokal dan budaya yang dimilikinya. Menurut Susanto Zuhdi lawatan sejarah adalah suatu program penjelajahan masa lalu melalui kunjungan ke tempat-tempat bersejarah. Tempat bersejarah tersebut dapat berupa makam tokoh, tempat pengasingan, komunitas masyarakat, dan juga pusat-pusat kegiatan ekonomi (Lestariningsih, 2007: 3). Selain itu, pengajar dapat memanfaatkan museum daerah terdekat sebagai sasaran lawatan sejarah. Di dalam museum jelas sekali terdapat berbagai artefak peninggalan masa Hindu-Buddha dan beberapa diorama penyajian peristiwa bersejarah masa prasejarah maupun Indonesia modern (Hartatik, 2007: 9).

Keempat, pengajar dapat memilih model wisata sejarah sebagai sarana mengunjungi situs bersejarah. Model ini mirip sekali dengan lawatan sejarah. Pada model wisata sejarah, peserta didik menikmati obyek sejarah layaknya mereka sebagai turis dan berkesan rekreatif. Nuansa penikmatan terhadap panorama keindahan alam lebih ditonjolkan daripada unsur studinya (Nurjanto, 2007: 5).

Kelima, pengajar dapat memilih model studi sejarah murni. Artinya, seorang pengajar memberi beban penugasan penelitian sejarah murni kepada peserta didik dengan pembatasan-pembatasan yang sudah diprogramkan sebaik-baiknya. Namun sebelumnya agar tidak terjadi kebingungan peserta didik dan pemborosan waktu, sebaiknya pengajar memberikan dahulu tentang materi riset dan dasar-dasar penelitian sejarah (Widodo, 2009: 4-8).

Keenam, pengajar memilih model kemah budaya untuk mengeksplorasi tema-tema sejarah lokal. Kemah budaya adalah sebuah kegiatan bersama-sama yang dilaksanakan di sebuah tempat bersejarah dengan cara peserta didik diajak untuk hidup dan tinggal bersama masyarakat setempat (Muslichin, 2007: 8).

Model kemah budaya ini menjawab paradigma bahwa sejarah tidak hanya berkaitan dengan masa lalu saja. Kemah budaya justru mampu mengingatkan apa yang dapat kita hindarkan dan mana yang dapat kita pupuk terus sebagai sumber motivasi membangun kebersamaan. Dalam konteks sejarah, kebersamaan justru prioritas dibangun melalui komitmen dan tindakan nyata, seperti halnya dahulu ketika bangsa kita mengusir penjajah (Nurjanto, 2007: 5 & Lestariningsih, 2007: 3).

Kemah budaya merupakan alternatif pembelajaran yang menarik dan tidak membosankan. Kemah budaya adalah upaya menjadikan sejarah sebagai kata kerja. Sejarah sebagai praktik tentu akan lebih menyenangkan bagi siswa untuk belajar apalagi diimbangi dengan berwisata. Guru dapat mengajak anak didik mengunjungi situs dan monumen sejarah (Zuhdi, 2007: 4).

Penanaman Nilai-Nilai Kepahlawanan dalam Pembelajaran Sejarah Lokal
Pengajaran sejarah mempunyai beberapa fungsi yang sangat berperan dalam proses transformasi pengetahuan kemasyarakatan yang pernah ada di masa lampau. Di samping itu, pengajaran sejarah memiliki fungsi yang terkait dengan peristiwa masa kekinian. Pengajaran sejarah memberikan muatan-muatan pendidikan budi pekerti (edukatif), menumbuhkan semangat patriotisme dan nasionalisme, dan memberikan kesadaran reflektif bagi anak bangsa akan masa lalunya.

Dengan sendirinya, pembelajaran sejarah lokal berarti menyadarkan pada peserta didik bahwa mereka mempunyai masa lalu sendiri. Mereka memiliki suatu kebanggaan bahwa jauh sebelum mereka dilahirkan ada beberapa tokoh yang berperan dalam membentuk keadaan yang terkait dengan masa sekarang. Kesadaran kontunuitas dan lokalitas ini dapat menjadi bekal pada peserta didik untuk menunjukkan identitas historis, sosial, dan budayanya. Semakin jauh peserta didik terlibat dalam eksplorasi sejarah lokal berarti semakin tinggi pula jati diri dan kebanggan akan masa lalu kelompok, daerah, dan kebudayaannya.

Kesadaran terhadap masa lalu daerahnya ini jangan sampai merusak kultur dan budaya yang sudah positif di masyarakat. Artinya jangan sampai peserta didik mempunyai kebanggaan berlebihan sehingga aspek primordial kesukuan dan kedaerahannya lebih ditonjolkan. Hal ini justru akan merusak semangat persatuan dan kebersamaan yang saat ini sudah tercapai dengan baik.

Semakin muncul kesadaran terhadap identitas pelaku sejarah dan peristiwa sejarah harusnya peserta didik tidak terjebak pada spirit primordial yang negatif. Justru dengan menyelami semangat juang sang tokoh, maka peserta didik dapat memahami bagaimana rasa merdeka pelaku sejarah dalam mempertahankan wilayah atau negerinya melawan unsur-unsur kebudayaan dan pemerintahan asing yang menindas.

Dengan sejarah lokal yang diajarkan dalam kelas maupun luar kelas, berarti peserta didik mengenal secara langsung bagaimana pribadi dan biografi hidup sang pelaku sejarah. Mereka dapat menanyakan sisi kehidupan sang pelaku sejarah. Dengan tehnik tanya jawab yang baik peserta didik dapat mengenali dan mentauladani jiwa-jiwa kepemimpinan sang pelaku sejarah secara arif dan bijak. Bagaimana mereka mengorbankan apa saja demi tegaknya sebuah kemerdekaan inilah yang perlu diapresiasi oleh peserta didik dalam pembelajaran sejarah lokal.
Pembelajaran sejarah lokal memberikan peluang lebih aktif bagi peserta didik untuk menggali informasi secara mandiri terhadap sasaran yang sudah direncanakan. Melalui informasi juru kunci, pamong budaya, dan petugas kebudayaan peserta didik menjadi lebih mengenali karakter sosial dari pelaku sejarah. Bagaimana pelaku sejarah memperjuangkan nilai-nilai ideologi yang mulia dan sesuai dengan konteks kebersamaan dalam hidup masa itu akan memberi inspirasi bagi peserta didik untuk mengamalkan hal yang sama pada kehidupan masa sekarang.

Pembelajaran sejarah lokal juga memberikan banyak informasi tentang kebudayaan apa yang berkembang di wilayahnya pada masa lalu. Melalui relief, patung, dan artefak peninggalan Hindu-Buddha yang tersisa peserta didik dapat melihat bagaimana posisi geografis dan peran sosial ekonomi-politik daerahnya pada waktu itu. Apakah wilayahnya mempunyai peran sosial yang cukup penting ataukah daerahnya menjadi kawasan peripherial saja dari struktur kekuasaan Hindu-Buddha yang berporos Kedu-Bagelen. Kesadaran historis ini dapat menghasilkan semangat untuk melakukan perubahan dalam perspektif yang positif pada masa sekarang. Ketika peserta didik melihat bahwa wilayahnya (lingkungannya) tidak mempunyai peran yang signifikan bagi pemerintahan pusat saat itu, mereka terinspirasi untuk melakukan perubahan. Dari beberapa peserta didik muncul daya upaya untuk merubah keadaan dengan menawarkan kekayaan-sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya sehingga eksistensi masyarakat dan daerahnya dapat diakui daerah-daerah lain. Berarti pula muncul kepercayaan diri peserta didik ketika mereka merefleksikan diri dari apa yang terdapat pada kekayaan historisnya.

Dengan pembelajaran sejarah lokal berarti peserta didik dapat mengambil hikmah gaya kepemimpinan pelaku sejarah yang dapat diterapkan oleh peserta didik pada saat mereka menempati posisi dan profesi pekerjaan masing-masing. Semangat pelaku sejarah yang mengutamakan musyawarah mufakat dalam memutuskan sesuatu hal memberikan dorongan bagi peserta didik dalam memutuskan suatu kebijakan kelak ketika mereka sudah bekerja. Semangat gotong royong memberikan inspirasi nyata bagi peserta didik untuk mendorong etos kerja dan produktivitas kerja ketika peserta didik sudah menempati posisi dalam pekerjaan dan perusahaan. Semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bersama jelas dapat diterapkan pada iklim dunia kerja tanpa membeda-bedakan latar sosial dan budaya agar perusahaan dapat mencapai prestasi kerja yang tinggi.

Penutup
Banyak sekali keunggulan dan kelebihan yang dapat diperoleh dari model kegiatan pembelajaran sejarah lokal. Keberhasilan pembelajaran sejarah lokal dapat didasarkan pada pilihan dari model pembelajaran sejarah lokal itu sendiri yang cukup beragam. Namun demikian, pembelajaran sejarah lokal membutuhkan kesiapan pengorganisasian yang cukup matang dari pengajar sehingga program yang bertujuan dan berdaya guna baik itu tidak sia-sia saja.

Di samping itu, pembelajaran sejarah lokal memenuhi kriteria pembelajaran berbasis CTL yang menjadi roh dari kurikulum KTSP. Kurikulum ini memberikan peluang baik bagi pengajar maupun peserta didik untuk aktif berkolaborasi mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan melalui unsur-unsur lokalitas yang terdapat di lingkungannya dengan pendekatan teori belajar konstruktivisme dan inquiry.

Oleh karena itu dengan mengenali aspek kesejarahan dari peristiwa lokal maka peserta didik memiliki kebanggaan pada wilayahnya sendiri tanpa harus kehilangan semangat menghormati kebudayaan dan sejarah miliki masyarakat lain. Dengan mendalami pelaku sejarah dan peristiwa sejarah yang lahir dari daerahnya sendiri berarti mereka mempunyai pembanding terhadap keberadaan sejarah nasional. Bahkan sejarah lokal daerahnya dapat memperkaya keberadaan sejarah nasional tanpa ada niatan untuk merusak tatanan sejarah nasional yang sudah terdokumentasikan dengan baik.ยค


DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Abdul Rahman Haji Abdullah. 1994. Pengantar Ilmu Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Abdullah, Taufik. 1982. Sejarah Lokal, Kesadaran Sejarah dan Integrasi Nasional. Makalah Seminar Sejarah Lokal Tahun 1982.

Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Hartatik, Endah Sri, 2007. Pemanfaatan Museum, Monumen Perjuangan, Makam Pahlawan dan Saksi Sejarah sebagai Sumber Sejarah. Makalah Seminar Peningkatan Pembinaan Kesadaran Sejarah bagi Generasi Muda Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Propinsi Jawa Tengah di Kopeng Kabupaten Semarang.

Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2007. Lawatan Sejarah sebagai Program Strategis dalam Mening
katkan Kesadaran Sejarah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Semarang: Unnes.

Muslichin, 2007. Kemah Budaya sebagai Model Pembelajaran Multikultur dan Penanaman Nilai-nilai Sejarah pada Generasi Muda. Makalah Pendamping dalam Sarasehan Kemah Budaya Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal di Protomulyo Kaliwungu 30 s/d 2 desember
2007.

Nurjanto, 2007. Wisata Sejarah sebagai Salah Satu Upaya Menelusuri Perjalanan Sejarah Bangsa. Makalah Peningkatan Pembinaan Kesadaran Sejarah bagi Generasi Muda. Subdin Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah.

Suharso, R. 2009. Bila Sejarah Lokal Masuk Kelas Sejarah. Makalah Sarasehan Koordinasi dan Curah Pendapat Penguatan Sejarah Lokal untuk Meningkatkan Wawasan Kebangsaan Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga. Patra Jasa
Semarang, 24 Maret 2009.

Utomo, Cahyo Budi. 2007. Lawatan Sejarah sebagai Model Pembelajaran Sejarah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Semarang: Unnes.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Wasino, 2007. Penelitian Sejarah di Kalangan Siswa sebagai Model Pembelajaran Sejarah di Sekolah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Semarang: Unnes.

Wasino. 2009. Pokok-Pokok Pikiran untuk Penulisan Sejarah Lokal. Makalah Sarasehan Koordinasi dan Curah Pendapat Penguatan Sejarah Lokal untuk Meningkatkan Wawasan Kebangsaan Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kebudayaan, Pariwisata,Pemuda dan Olah Raga. Patra Jasa Semarang, 24 Maret 2009.

Widodo, Sutejo K. 2009. Metode Penulisan Buku Sejarah untuk Menunjang Pendidikan Guna Meningkatkan Wawasan Kebangsaan. Makalah Sarasehan Koordinasi dan Curah Pendapat Pe-
nguatan Sejarah Lokal untuk Meningkatkan Wawasan Kebangsaan Deputi Menko Kesra Bi-
dang Koordinasi Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga. Patra Jasa Semarang, 24
Maret 2009.

Zuhdi, Susanto. 2007. Lawatan Sejarah sebuah Tawaran Metode Efektif untuk Pembelajaran Sejarah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Semarang: Unnes.


*Penulis: Enny Boedi Utami, Guru Sejarah SMA 1 Kendal. Naskah ini disajikan dalam Lawatan Sejarah Regional Departemen Sejarah dan Kepurbakalaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Yogyakarta.


Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !