forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Kamis, 28 Mei 2009

ORANG KALANG DI PESISIR JAWA: PERSPEKTIF HISTORIS*

Pada dasarnya membicarakan orang Kalang dan kebudayaannya tidak boleh terlepas dari aspek historis yang membentuk keberadaan mereka pada hari ini. Mengapa? Orang Kalang yang menempati pulau Jawa ini terkait sekali dengan sejarah masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha yang usianya sungguh sangat tua. Keberadaan mereka bersamaan dengan lahirnya mitos Ajisaka dan perdagangan perbudakan masa itu yang memang bukti historisnya cukup kuat. Meskipun sejarawan belum memiliki kesepakatan mengenai dari mana asal-usul orang Kalang sebenarnya mengingat hampir di seluruh pulau Jawa keberadaan mereka ada, juga di pulau Lombok dan Bali, para sejarawan yakin bahwa mereka adalah suku bangsa pendatang yang memiliki keunikan profesi yang berbeda dengan etnis Jawa. Orang Kalang identik dengan pekerjaan pertukangan. Hal ini berbeda dengan orang Jawa yang justru mementingkan aspek pertanian agrarisnya.

Menurut Bryne (1951:680) dahulu orang Kalang adalah kelompok masyarakat yang mempunyai profesi sebagai penebang kayu dan juru angkut di setiap proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Majapahit. Posisinya yang tidak beranjak dari kelas bawah masyarakat Jawa di masa lalu sangat identik dengan Candala yaitu sekelompok ras paria pada saat perdagangan Hindu di India. Crawfurd menambahkan bahwa Kalang adalah nama sebuah komunitas penduduk asli yang tingkatannya berada di bawah orang Jawa (1852: 65). Dalam Javaansch Nederhuitsch Woordenboek dikatakan bahwa Kalang adalah nama sebuah etnis di Jawa yang dulu hidup di sekitar hutan, dan mereka diduga mempunyai asal keturunan yang hina (1847: 206).


Hampir sama dengan pengertian di atas, Rigg (1862: 190) mengatakan bahwa Kalang adalah sejenis paria yang ada di Jawa, yang barangkali sedikit banyaknya hanya diketemukan dan terdapat di distrik Sunda. Meskipun demikian Rigg belum dapat menjawab mengapa persebarannya di Jawa Tengah cukup banyak (Pigeaud, 1967: Jilid IV). Kemungkinan besar Rigg hanya memandang banyaknya istilah yang mirip kalang yang ada di tanah Sunda seperti: kalang-kabut, balang, kabalang, kaalang, dan alang-alangan.


Dalam kamus Javaansch derduitsch Woordenboek (Gericke Roorda, 1847: 206), Kalang dianggap sebagai kelompok manusia yang hidup dan mati di Surakarta, di mana orang Jawa mempunyai anggapan yang berbau takhayul bahwa mereka adalah anak hasil perkawinan antara seorang perempuan dengan seekor anjing. Oleh karena itu, kalang diartikan sebagai kejaba, yaitu sesuatu yang yang ditempatkan di luar, atau sesuatu yang dipisahkan dari yang lainnya. Penjelasan lebih lanjut dikatakan bahwa orang kalang adalah sekelompok orang di masa lalu yang kehidupannya sengaja dipisahkan keberadaannya oleh kelompok lain. Pada masa itu orang Kalang tidak diperbolehkan berada di lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya. Statusnya sebagai kelompok di luar kasta membuat mereka mengelompokkan diri dan hidup di luar komunitas masyarakat umum. Hal ini agaknya sesuai pula dengan pendapat T. Altona yang menjelaskan bahwa Kalang berasal dari kata kepalang yang berarti tertutup, orang-orang yang berada di luar karena ditutup dari dalam. Kalang juga mungkin saja berasal dari kata alang-alang yaitu semacam binatang yang hidupnya mengembara (Altona, 1923: 515).

Penjelasan Kalang dari T. Altona tersebut semakin memperjelas status sosial kelompok Kalang. Posisinya yang termarginalisasi oleh sistem sosial budaya saat itu, membuat orang Kalang harus hidup tersisih dan menjauh dari kehidupan umum. Sistem kasta yang dipergunakan oleh penguasa masa kerajaan-kerajaan kuno membuat mereka tidak diperbolehkan bergaul dan berkomunikasi dengan kasta-kasta di atasnya. Pada akhirnya mereka mengembara dari satu tempat ke tempat yang lainnya, mencari tempat untuk mendapatkan makanan secukupnya. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini mirip dengan kehidupan manusia purba. Orang Kalang mengandalkan ketersediaan sumber daya alam untuk mencukupi kebutuhan hidup kelompoknya. Jika makanan yang ada dilingkungannya diperkirakan sudah habis dan wilayah tempat tinggal orang Kalang sudah dirambah oleh masyarakat umum, mereka akan mencari wilayah baru yang jauh dari pemukiman masyarakat umum.

Pandangan tentang posisi orang Kalang yang tersisih tersebut karena orang Kalang tidak dimasukkan dalam kriteria kasta dipertegas oleh E. Ketjen. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pada masa kerajaan Hindu orang Kalang tidak termasuk dalam 4 (empat) kasta yang ada. Keberadaaannya lebih mirip dengan kasta paria yang posisinya berada di luar catur kasta yaitu brahmana, satriya, waisya, dan sudra. Sudra sebagai kasta terendah dalam sistem kasta masih diakui hak-hak dan kedudukannya di masyarakat, tetapi Kalang dianggap kelompok hina-dina yang karena alasan penyakit, sosial, dan pelanggaran adat yang pernah dilakukannya mereka terlempar eksistensi diri mereka sebagai manusia normal (Pontjosoetirto, 1971: 36).


Pandangan E. Ketjen tersebut didukung pula oleh pendapat Dr. H. Ten Kate maupun van Rigg yang memposisikan orang Kalang sebagai kelompok Paria pada zaman Hindu. Kedudukan yang rendah tersebut kemungkinan besar karena mereka dianggap berasal dari gelombang kedatangan kelompok manusia yang berasal dari Kedah, Kelang, dan Pegu pada tahun 800 masehi (Veth, 1907: 93-104). Bahkan menurut Veth maupun A.B. Meyer mereka mempunyai kesamaan fisik dengan suku negrito di Filipina yang mempunyai kulit hitam dan berambut keriting. Ketjen melanjutkan jika orang Kalang merupakan pendatang di Jawa mereka pun sama dengan suku Semang di Malaka pedalaman, penduduk kepulauan Nicobar di Andaman, dan suku-suku asli Indo-Cina dan Papua. Orang Kalang merupakan bagian dari suatu ras yang menyebar di semenanjung Malaka, dan bersama-sama dengan orang Melayu, India, dan Cina mereka menyebar ke berbagai daerah di wilayah Nusantara. Sebagian dari mereka terdampar dan menetap di sepanjang wilayah pesisir pantai utara Jawa (Ketjen, 1883: 185).


Pandangan Ketjen itu serupa dengan pendapat A. B. Meyer. Dalam tulisannya yang berjudul Die Kalangs Auf Java, Meyer mengatakan (1877: 4) Kalang adalah sekelompok manusia yang kehidupannya terpisah dan menyendiri. Kalang dianggap suku tertentu yang masih mempunyai garis keturunan dengan orang negrito, semang dan sebagainya. Kehidupannya yang serba pasrah, berserah diri, dan bijak membuat mereka disebut sebagai Kalang Sejati. Pada awalnya mereka ada di Solo dan Bagelen serta karesidenan yang lainnya. Mereka ada di suatu tempat yang disebut Kalangan. Pekerjaannya di Surakarta adalah membuat cambuk, dan di tempat lain ada yang menjadi pandai besi. Sekarang, keberadaannya menyebar ke semua penduduk, bercampur dan membaur, dan sangat sulit untuk melihat kembali karakter yang ganjil kepadanya.


Menurut Dennys Lombart, Kalang merupakan masyarakat pinggir dan setengah nomad yang hidup di hutan seperti Lubdhaka. Sejak zaman Sultan Agung, mereka terpaksa merubah gaya hidup dan mencari nafkah di tempat pemukiman. Beberapa kota di Jawa masih terdapat kampung-kampung yang bernama Pekalangan. Di daerah itu mereka berprofesi sebagai tukang kayu, pedati, penebang kayu dan pengrajin kayu (Lombart, 1999: 44). Mereka mempunyai ciri khas suatu kelompok yang otonom, mengandalkan perkawinan endogami dan meskipun secara formal mereka tetap melakukan upacara tersendiri seperti pembakaran gambaran orang mati (Lombart, 1999: 144).

Pada dasarnya beberapa identifikasi yang dibuat para ahli tersebut di atas sudah memperjelas tentang siapa sebenarnya orang Kalang. Karakter sosial dan budayanya yang terbentuk mempertegas posisi orang Kalang dalam setiap dinamika perubahan zaman. Namun demikian, pandangan Meyer, Lombart, Bryne, Rigg, Roorda, dan Altona belum menyentuh sedikitpun tentang keberadaan orang Kalang di Kendal. Pandangan tentang keberadaan orang Kalang di Kendal itu mulai disinggung oleh T. S. Raffles. Dalam bukunya yang berjudul History of Java, Raffles (1978: 327-328) mengatakan:
…… it may not be inappropriate to introduce in this place a short digression, containing an account of some of the costumes peculiar to the people termed kalang, and to the inhabitans of the Tengger mountains. The former are said to have been at one time numerous in parts of Java, leading a wandering life, practicing religious rites different from those of the great body of the people, and avoiding intercourse with them; but most of them are now reduced to subjection, are become stationary in their residence, and have embraced the Mahometan faith. A few villages in which their particular customs are still preserved, occur in the provinces of Kendal, Kaliwungu, and Demak, and although the tradition of the country regarding their descent from an unnatural connection between a princes of Medang Kamulan and a chief who had been transformated into a dog, would mark them out as a strange race, they have claims to be considered as the actual descendants of the aborigines of the island. They represented as having a high veneration for a red dog, one of which is generally kept by each family, and which they will, on no account, allow to be struck or ill used by any one. When a young man asks a girl in marriage he must prove his descent from their peculiar stock. A present of rice and cotton-yarn, among other articles, must be offered by him, and carried to the intended in like manner, be received by an elderly relation of the girl: from this moment until the marriage is duly solemnized, nothing whatever is allowed to be taken out of either hut….

Pendapat Raffles tersebut sangat mirip dengan data yang dikemukakan oleh Roorda. Roorda (dalam Meyer, 1877: 4) mengatakan bahwa Kalang adalah nama sebuah suku yang ada di Jawa, yang dulu hidupnya tidak menentu atau nomaden, namun sekarang masih tetap setia mempertahankan tradisi yang penuh keganjilan di daerah dataran rendah Kendal, Kaliwungu, dan Demak.

Data tentang keberadaan orang Kalang di Kendal tercatat pula dalam tulisan baik Ketjen, Zwaart, maupun P. J. Veth. Ketjen menuliskan bahwa pada waktu diadakan pembagian kerajaan Mataram jumlah orang Kalang yang tinggal di Jawa cukup besar. Dalam akte pembagian kerajaan tahun 1755, masing-masing kerajaan mendapatkan bagian 3000 cacah orang Kalang. Jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan selama tahun 1761 di seluruh Jawa (termasuk Kendal) adalah sebagai berikut: dari Pasuruan sebesar 42,24 ringgit, Bangil 45 ringgit, Surabaya 141,12 ringgit, Pati 325 ringgit, Jepara 50 ringgit, Semarang 998,56 ringgit, Pekalongan 500 ringgit, dan Kendal 298,36 ringgit.

Menurut P.J. Veth, jumlah pajak yang demikian itu agak sebanding dengan jumlah penduduk Kalang yang ada di wilayah kekuasaan kompeni, di mana total keseluruhan ada lebih dari 2000 keluarga. Secara rinci distribusi orang Kalang sebagai berikut. Di daerah Surabaya terdapat 250 keluarga, Pasuruan 50 keluarga, Pati 250 keluarga, Demak 1000 keluarga, Kendal 250 keluarga, Pekalongan 800 keluarga, dan Tegal 180 keluarga (Zwaart, 1939: 258).

Demikianlah catatan historis tentang keberadaan orang Kalang di pesisir Jawa. Aktifitas budaya yang dilakukan secara intensif pada hari ini ternyata memiliki latar historis yang panjang. Tradisi Kalang Obong, Gegalungan Gegumbregan, dan sesaji-saji lain pada hari dan event tertentu memiliki keterkaitan sejarah asal-usul, leluhur, dan perlakuan penguasa setempat pada diri mereka. Orang Kalang yang menempati pesisir Jawa mempunyai profesi yang mendukung proyek pembangunan kerajaan-kerajaan klasik masa itu. Kepandaian, kerajinan, dan keuletan mereka di bidang pertukangan menjadi primadona tersendiri bagi penguasa saat itu. Dibandingkan dengan masyarakat Jawa, mereka memiliki etos kerja dan semangat kerja yang tinggi. Meskipun mereka secara sosial dilecehkan dengan julukan yang buruk, orang Kalang membuktikan siapa mereka dan untuk apa mereka mendarma-baktikan kehidupannya. 

*Penulis: Muslichin, Guru Sejarah SMA 2 Kendal.

Label:

1 Komentar:

Blogger Unknown mengatakan...

Sangat mencerahkan ulasannya pak.

30 April 2013 pukul 07.40  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda