forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Selasa, 19 Mei 2009

UPACARA BENDERA SEBAGAI EKSPRESI SIMBOLIK KESADARAN NASIONALISME DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN PADA GENERASI MUDA (SEBUAH REFLEKSI TANPA SIMPULAN)*

Anak-anakku sekalian, kehadiran saya, tak lain dan tak bukan adalah berupaya membawa kesegaran bagi keberadaan kesadaran nilai-nilai kepahlawanan yang akhir-akhir ini sudah mulai luntur dan pudar. Mengapa? Mengapa saya bisa mengatakan bahwa generasi saat ini sudah mengalami disorientasi historis dan tak lagi mengingat semangat juang pahlawan yang sudah lama gugur di medan pertempuran? Indikatornya apa-apa anak-anakku? Apakah saya sebagai sosok guru pada kalian ini terlalu meruda-paksa sebuah keadaan? Ataukah saya hanya asal bicara saja?

Barangkali kejutan seperti ini perlu sampaikan lebih dahulu. Banyak kita lihat anak muda seusia kalian lebih memilih tidak mengikuti upacara bendera jika mereka diberi pilihan diadakan upacara atau tidak pada hari itu. Ada lagi anak-anak muda yang mengatakan bahwa upacara bendera adalah bentuk fasisme/militeristik yang harus dijauhkan dari muka bumi ini. Teman kamu yang lain mengatakan bahwa upacara bikin pusing kepala dan berkeringat. Mereka tidak lagi menganggap bahwa upacara bagian dari upaya pelestarian tradisi yang efektif bagi penanaman nilai kebangsaan terutama nasionalisme negeri ini.

Banyak sekali kejadian anak-anak sekolah ngumpet di kamar mandi, di belakang pagar sekolah, atau ngrumpi di pojok pasar agar mereka tidak mengikuti pelaksanaan upacara bendera. Mereka menganggap upacara bendera adalah buang-buang waktu saja. Mereka memandang bahwa upacara itu tidak mengandung nilai pelajaran apapun. Anak-anak seperti itu kita jumpai di sekolah mana saja. Pokoknya, ada banyak alasan bagi mereka untuk mencoba kabur dari upacara.

Anak-anakku, ketika teman kamu yang lain mengikuti upacara bendera mereka melakukannya hanya sekedar formalitas baku dan semu. Mereka secara fisik berbaris rapi ala prajurit yang siap bertempur. Namun demikian, apakah dengan sendirinya pandangan, pikiran, dan hati mereka ikhlas betul mengikuti tahapan demi tahapan dalam upacara bendera? Ini yang perlu dipertanyakan? Banyak sekali siswa yang dengan pakaian seragam lengkap melakukan upacara tetapi tidak memahami apapun juga. Mereka hanya berkeringat dan kelelahan. Padahal jika kita mau meresapi makna apa di balik simbol-simbol upacara itu tentunya banyak sekali manfaat yang mampu mendorong kita menghormati nilai juang kepahlawanan bangsa ini.

Bapak/ibu yang saya muliakan dan anak-anakku yang saya cintai. Negeri Paman Sam yang sangat maju dan terkenal itu ternyata memiliki pola dan sistem pendidikan yang sangat pedulli dengan nilai-nilai na-sionalismenya. Kita mungkin tidak pernah membayangkan jika Amerika yang kapitalis itu mempunyai arah dan tujuan jelas di dalam sistem pendidikannya dalam rangka mencetak dan menciptakan generasi muda yang unggul di bidangnya masing-masing tanpa harus kehilangan warna kebangsaannya. Kita telah dikecoh dengan tayangan Hollywoodnya yang mengacaukan alam pikiran kita, dan justru ironisnya menjadi kiblat bagi anak muda kita yang hidupnya tanpa aturan, anarkhis, dan vandalis.

Setiap pagi, di dalam kelas, mereka melakukan ritual menghormati bendera yang dipimpin oleh ketua kelas masing-masing dengan guru yang ada di depannya. Kemudian dilanjutkan dengan lagu kebangsaan negerinya. Mereka begitu khidmat, takjub dan tenang. Dalam sekejab suasana sunyi tercipta. Seolah nuansanya kembali pada masa di mana rakyat Amerika bertempur dan menaikkan benderanya di sebuah perbukitan sebagai ekspresi dan upaya mempertahankan kemerde-kaannya ketika melawan tentara Inggris.

Anak-anakku, mengapa Amerika bisa seperti itu sedang kita tidak? Bapak dan ibu guru di sekolah di negeri yang penuh kedamaian ini ternyata sangat sulit mengarahkan dan mendidik anak bangsa dengan semangat dan spirit kebangsaannya. Upacara bendera setiap hari senin sebagai ekspresi simbolik kesadaran berbangsa tidak pernah mampu memberikan suntikan semangat kebangsaaan yang kita harapkan. Seharusnya kita mulai menyadari bahwa setiap inchi demi inchi bendera yang kita naikkan ke permukaan tiang bendera membutuhkan korban yang tak terhitung besarnya. Berapa jumlah generasi dahulu yang menjadi tumbal bagi kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita impikan yang harusnya tercermin dalam balutan pengibaran bendera itu. Harus ada semacam penyetubuhan sikap dan hati kita secara sigap menyapa bendera yang dinaikkan secara perlahan namun membawa memori kita ke masa silam.
Hadirin yang kami muliakan. Bung karno sendiri mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bagaimana kita bisa menghargai pahlawan jika ternyata dalam setiap upacara itu kita tidak mendapatkan apapun juga. Bung Karno benar, bangsa yang menghargai pahlawan itu akan menjadi bangsa besar. Dan justru itu tidak kita temukan pada anak bangsa kita. Anak-anak kita menganggap satu jam berada di halaman sekolah itu sebagai bentuk formalitas yang melelahkan. Bahkan hal ini diprovokasi oleh beberapa guru yang malah tidak memberikan contoh yang baik pada kita pada saat pelaksanaan upacara. Oknum guru itu lebih memilih duduk mengerjakan tugas dan persiapan mengajarnya daripada berpanas-panas ria bersama siswanya.

Bapak dan Ibu sekalian, Bangsa Jepang yang sekarang menguasai teknologi dan perekonomian dunia, dulunya juga sebuah bangsa yang kurang dikenal oleh bangsa lain. Namun berkat keuletan dan disiplin bushido dan ketertundukkan yang ikhlas terhadap kaisarnya mampu memberikan bukti bahwa kesadaran menjunjung budaya dan sejarahnya menjadikan mereka mampu pula mengangkat derajat dan martabat bangsanya hingga sejajar dengan bangsa lain. Bahkan, di beberapa bidang Jepang lebih unggul dibanding dengan bangsa lain. Mengapa kita tidak meniru bangsa Jepang?

Hebatnya, meskipun sudah sedemikian majunya, sistem pendidikan Jepang tetap tidak menghilangkan penanaman nilai budaya dan kepahlawanan melalui mata pelajaran sejarah dan keseniannya. Sejarah Jepang dibuka lebar-lebar bagi anak bangsa di negerinya itu agar mereka tahu bagaimana susah-payahnya sebuah negeri matahari itu terbentuk. Setiap pagi di sekolahnya mereka masih tetap melakukan seikerei, taiso, dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaannya yaitu kimigayo. Mereka pun tanpa malu jika diwajibkan mengkonsumsi bacaan Mushashi yang halamannya sampai 25.000 lembar, di mana bacaan ini dianggap kitab suci baru yang di dalamnya memiliki kandungan moral, etika, sejarah, dan budaya Jepang.

Bapak dan Ibu yang hadir pada saat ini. Upacara bendera pada hakikatnya merupakan aplikasi dan penerapan sejauhmana nilai-nilai kepahlawanan yang diberikan pada pelajaran sejarah selama ini diberikan. Sepanjang nilai-nilai itu mampu diberikan dengan baik dengan model dan strategi apa saja maka hasilnya akan baik juga. Kita memang perlu mempertanyakan efektifitas penanaman nilai kepahlawanan melalui pelajaran sejarah. Ironisnya, pelajaran sejarah justru dianggap sebuah mapel yang membosankan. Para siswa merasa jenuh jika harus menghafal angka sementara angkanya sendiri tidak bisa ketemu dengan rumus. Mereka bosan menghafal tokoh dan pelaku sejarah. Mereka harus bertemu dengan prasasti-prasati dan masa lalu yang wajib dihafal dan dihafal. Tak pernah terpikirkan pada kita untuk merubah sistem pengajaran sejarah dengan model belajar yang menarik dan menikmatkan siswa.

Ketika seorang siswa ditanya pelajaran apa yang tidak kamu sukai? Mereka pasti akan menjawab pelajaran sejarah. Alasan-alasan di atas tadi merupakan jawabannya. Anak-anak kita tidak pernah kita bangunkan kesadarannya melalui bentuk pengajaran sejarah yang mampu memahami apa yang terjadi pada masa lalu di negeri kita ini.

Hadirin yang kami hormati, Cicero dan Herodotus pernah mengatakan bahwa sejarah mengajarkan masa lalu pada generasi sekarang agar kita bisa menemukan jawaban tentang apa yang terjadi saat ini dan sekaligus merancang apa yang mungkin terjadi pada masa depan di sebuah negeri. Roeslan Abdulgani sendiri pun pernah mengatakan bahwa sejarah mengajarkan cara pandang tiga dimensi. Mempelajari sejarah berarti mengajak kita untuk berziarah pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Namun sayangnya, bangsa kita amat jarang untuk mencoba memahami apa yang terjadi pada negeri kita ini. Korupsi, kemalasan, dan kemerosotan akhlak menjadi satu indikator kebejatan masyarakat kita yang tidak pernah mencoba mengenal bangsanya sendiri. Kita hanya berani mengkambinghitamkan pemerintah kolonial Belanda selaku penjajah yang telah menciptakan mental inlander dan kebusukan korupsi ketika VOC masih berjaya waktu itu. Kita malah menjadikan sejarah sebagai sumber legitimasi untuk melakukan kesalahan yang sama dan pernah dilakukan oleh generasi terdahulu. Koentjaraningrat sendiri pernah mengatakan bahwa negeri ini telah menciptakan suatu mentalitas yang mampu mendorong masyarakatnya (justru) mundur ke belakang. Kita tidak pernah akan menjadi bangsa yang maju, malah mundur karena mentalitas menerabasnya yang sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya, sudah terserap pada sebagian pembuat kebijakan.

Apakah lalu dengan demikian kita masih perlu menyalahkan anak-anak kita sendiri sementara generasi di atas kita memberikan contoh dan ketauladan yang begitu gamblang dipertontonkan.

Rekan-rekan semua, ada kalanya kita perlu merenungi apa yang telah terjadi pada negeri kita di mana sebetulnya adalah sebuah penyakit kronis yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kesadaran berbangsa dan bernegara di negeri ini. Penyimpangan perilaku di atas sebetulnya didorong oleh kepentingan pribadi saja. Mereka tidak pernah menyadari bahwa yang dilakukan adalah menodai semangat kepahlawan yang menitikberatkan pada sifat-sifat altruistik yang wajar. Tak pernah-kah mereka mencoba meniru pengorbanan the founding fathers itu?

Siswa dan anak-anak kita ini perlu diwarisi sikap kepahlawanan sejati. Pahlawan yang tidak hanya tertancap pada benak anak-anak kita tentang heroisme yang kaku dan kurang bisa dipahami bagi konteks anak muda sekarang. Oleh karena itu, ada kalanya selain kesalahan penyampaian dan mekanisme konkrit pengawasan sejauhmana nilai kesadaran kepahlawanan terlihat tersebut sebaiknya kita perlu mempersamakan persepsi tentang kebangsaan itu sendiri, antara generasi tua dengan anak-anak muda itu sendiri.

Sering anak-anak kita menghafal pengertian nasionalisme yang berasal dari orang-orang besar seperti Hans Kohn, Louis Sneyder, Otto Bauer, dan Ernest Renan. Mereka mencoba untuk menancapkan pada benak dan pikiran mereka tentang paham-paham kebangsaan itu. Hasilnya mereka hafal betul siapa dan apa yang dikatakannya. Namun, ketika mereka melihat konteks kehidupan negeri Indonesia ini, begitu sulitnya untuk memahami persoalan politik yang akhirnya mengobrak-ngabrik akar pemahaman mereka terhadap konsepsi nasionalisme itu sendiri. Satu persatu wilayah di Indonesia seakan mencoba untuk keluar dari NKRI. Perlahan mereka menuntut pelaksanaan referendum atau jajak pendapat di setiap wilayahnya masinh-masing. Timor-Timur hempas, Aceh bergolak, Papua kelam, Maluku hitam, serta Sipadan dan Ligitan akhirnya menjadi persoalan serius yang perlu dipikirkan kembali tentang apa yang terjadi di negeri ini. Konflik atas nama etnis tercipta antara Aceh dengan Jawa, Pribumi dengan Cina, dan Dayak dengan Madura. Hati kita menangis tanpa tahu apa yang harus kita lakukan untuk mencegah itu. Kita malu bahwa kita punya negeri seperti itu. Sampai-sampai Taufik Ismail penyair angkatan 66 perlu membuat puisi yang berjudul Aku Malu Jadi Orang Indonesia.

Hadirin yang terhormat, tidakkah kita salah jika mencoba mempraktikkan sekumpulan definisi tentang nasionalisme di atas. Sebuah bangsa tercipta karena kesadaran berbangsa. Mereka memiliki hasrat, perasaan senasib dan sepenanggungan. Mereka sebagai sebuah etnis yang semula berbeda akhirnya dipersatukan melalui semangat mengatasi penjajahan. Perasaan ini akhirnya membuat sebuah bangsa tercipta dan mandiri. Namun, ada pertanyaan besar yang menggangu pikiran kita: apakah setelah musuh bersama itu terhapus lalu kita akan diam saja tanpa bisa berbuat apa saja untuk eksistensi kemerdekaan negeri ini?

Bapak dan Ibu, kerap kita menyalahkan anak-anak kita akan hilangnya kesadaran berbangsa seperti halnya di awal pidato ini. Ada suatu persoalan besar yang mungkin melanda persepsi kebangsaan pada anak didik kita. Generasi tua seringkali merasa bahwa negeri ini berdiri karena jasa mereka. Di satu sisi, memang itu fakta yang harus kita junjung tinggi kebenarannya. Namun, apakah dengan demikian mereka sah-sah saja mengatur dan menentukan merah-putihnya negeri ini? Saya kira kita harus berani memandang secara obyektif. Dalam hal ini harus ada sebuah titik temu untuk memperbincangkan arah dan masa depan negeri ini melalui persepsi nasionalisme. Artinya harus ada titik pijakan untuk melangkah dan menentukan seperti apa negeri ini dibangun. Sebuah negeri yang indah ini tidak semata berisi kenangan semata. Namun negeri ini membutuhkan berbagai perekat yang mampu menjadi elemen yang menyatukan perbedaan-perbedaan bangsa ini. Kita harus mampu menciptakan sebuah monumen-monumen yang bisa mengingatkan akan bentuk perjuangan, kebersatuan, kebergunaan, dan prestasi-prestasi yang perlu kita tuju dalam mengisi masa pembangunan. Pembangunan yang kita laksanakan pada dasarnya merupakan perekat juga yang akan membersatukan kita menuju cita-cita bangsa. Agaknya konsepsi ini mirip dengan apa yang pernah dikatakan oleh Benedict Anderson tentang nasionalisme imajiner atau kesadaran kebangsaan yang mencoba untuk dibayangkan.

Bapak dan Ibu, kita kembali pada pokok persoalan awal tentang rendahnya partisipasi dan kesadaran anak didik ketika melakukan sebuah ritual yang bernama upacara bendera. Apa yang sampaikan di atas sangat terkait dengan kondisi dan pandangan anak didik terhadap upacara bendera. Upacara bendera menjadi sesuatu yang muskil dan harapan semu mana kala akar masalah akan rendah anak didik itu tidak ditelusuri dengan baik. Kondisi global dan nasional dari perpolitikan bangsa di negeri nan indah ini ternyata mempengaruhi bagaimana mereka harus menyikapi upacara bendera.

Anak-anakku sekalian, upacara bendera bukanlah semata sebuah ritual yang dilahirkan oleh pemerintah militer Dai Nippon. Memang, Jepang memberikan sendi-sendi militeristik di negeri ini. Jepang memiliterkan semua aspek kehidupan. Namun, esensi dan nilai terpenting dari upacara itu adalah eksrepsi simbolik manusia sekarang terhadap masa lalu perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Upacara bendera adalah jembatan manusia sekarang untuk mengunjungi kenangan-kenangan yang pernah ada pada negeri kita yang sedang mengada.

Akhirnya, apa yang sudah saya sampaikan ini adalah perkataan yang tak luput dari kesalahan. Saya selaku wakil guru sejarah mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya jika ada pengajaran dan penyampaian materi sejarah oleh para guru yang ternyata meleset dari fakta dan kejujuran sejarah itu sendiri. Dan, sekali lagi maaf bahwasanya saya tidak mampu memberikan penutup pada pertemuan yang sangat berarti ini karena saya yakin apa yang saya sampaikan ini tentunya kesimpulannya ada pada hati kita masing-masing. Biarlah apa yang saya sampaikan ini memberikan pemaknaan yang berbeda-beda di hati saudara, bapak/ibu, dan anak-anakku sekalian. Bagi saya pribadi, perbedaan adalah sebuah sunatullah, dan sekaligus berkah yang pasti dapat memberikan inspirasi bagi kemajemukan dan kemajuan negeri ini.
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. Tulisan ini berasal dari naskah pemenang Ke-2 Lomba Pidato Kepahlawanan Kemah Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal di Protomulyo Kaliwungu 30 November s/d 3 Desember 2007.

2 Komentar:

Blogger Bintangblog mengatakan...

pidato yang sangat bagus...

18 Oktober 2009 pukul 06.28  
Blogger FORUM GURU SEJARAH mengatakan...

Terima kasih. Dulu naskah ini secara tidak sengaja terbaca Prof. Dr. Agus Salim, M.Si (almarhum), guru besar FIS Unnes, yang mengatakan hal yang sama seperti pujian saudara. Beliau memuji bahwa tulisan ini sebagai naskah pidato upacara bendera hari senin sangat sesuai dengan rasa dan pikirannya. Sayang beliau sudah tiada...

8 Februari 2010 pukul 23.17  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda