forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Kamis, 19 Februari 2009

MAKAM WALI SEBAGAI MEDAN BUDAYA DAN PEWARISAN NILAI TRADISI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN KENDAL *

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang dan Masalah
Era Globalisasi dan informasi merupakan suatu hal yang harus diterima dengan segala konsekuensinya. Besarnya pengaruh asing yang masuk akan membawa pengaruh terhadap perilaku dan sikap bangsa saat ini baik itu perilaku sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Oleh karena itu untuk menangkal arus negatif budaya asing yang masuk ke Indonesia pemerintah berkewajiban memberikan informasi budaya kepada generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya (Istiyarti, 2007: 2).
Saat ini kebutuhan identifikasi dan pengenalan benda-benda peninggalan sejarah sangat mutlak dibutuhkan bagi masyarakat modern yang memiliki fungsi untuk penambahan informasi publik, pengkajian dan penelitian lebih lanjut, serta pelestarian artefak keperpubakalaan dan benda-benda cagar budaya. Era otonomi daerah saat ini memberikan peluang cukup besar bagi kota kabupaten maupun masyarakat untuk memiliki sarana penunjang pelestarian benda-benda cagar budaya (Muslichin, 2007: 1; dan Joharnoto, 2005: 5-6).
Namun demikian, semua kabupaten yang ada di Jawa Tengah belum tentu memiliki sarana penunjang pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) yang berbentuk museum dan daya dukung pemerintah dalam pengawasan serta perlindungan BCB. Akibatnya beberapa daerah harus kehilangan BCB karena desakan kepentingan ekonomi dan politik.
Sebagai contoh, di Kabupaten Kendal, gedung SMP 1 Kendal yang berdiri sejak tahun 1897 akhirnya harus kehilangan eksistensinya sebagai bangunan bersejarah karena dirobohkan, di atas tanah yang rata itu dibangun lagi pusat pertokoan yang terletak di tengah kota. Tidak hanya itu, gedung Pergerakan Nasional yang terletak di Jalan Pemuda Kendal harus rela untuk dirobohkan dan dijadikan sarang walet. Bahkan bangunan Stasiun Kereta Api pertama di Kota Kendal juga dibiarkan terkatung-katung tanpa ada perawatan sama sekali (Santoso, 2005: 2-7).
Daerah yang kehilangan BCB tentu saja tidak hanya Kabupaten Kendal. Daerah lain pasti mengalami nasib dan permasalahan yang sama. Namun demikian, untuk BCB yang berbentuk makam para waliyullah, pemerintah daerah memberikan uluran tangan dan perhatian yang cukup baik. Beberapa makam yang ada di Kabupaten Kendal mendapatkan perhatian istimewa dari pemerintah. Pemerintah memberikan bantuan dana, perawatan, dan pengawasannya melalui serangkaian program-programnya yang ada dan terjadwal.
Masyarakat setempat memberikan apresiasi yang baik pula terhadap upaya pelestarian makam para waliyullah itu. Masyarakat yang tinggal di lokasi pemakam tersebut ternyata turut memberikan peran optimal bagi pelestarian makam-makam waliyullah. Mereka membersihkan areal pemakaman dari sampah-sampah pengunjung, menjadi guide atau juru kunci bagi yang bertanya apa saja tentang legenda dan sejarah makam, menyediakan areal perpakiran, serta mereka menyediakan fasilitas penginapan bagi yang mau menginap di dekat lokasi pemakaman.
Oleh karena fenomena masyarakat setempat yang turut merasa memiliki adanya BCB ini menarik untuk diteliti. Dari fenomena itu, penulis mempunyai beberapa rumusan masalah yang dapat membantu mengupas persoalan kelestarian BCB dan sekaligus tradisi-tradisi penunjangnya. Rumusan masalah itu adalah sebagai berikut: pertama, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat setempat melestarikan makam sebagai BCB? Kedua, apa keterkaitan tradisi Islam pesisir terhadap keutuhan dan pelestarian makam waliyullah?

2. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
1. Menginformasikan secara obyektif dan menyeluruh tentang makam yang ada di Kabupaten Kendal sebagai medan budaya.
2. Sebagai bahan acuan sesama teman-teman pelajar untuk peduli terhadap benda cagar budaya yang masih ada dan melestarikannya.
3. Agar para teman-teman dapat mengambil pelajaran bahwa benda cagar budaya tersebut benar-benar peninggalan mbah buyut kita yang mengandung unsur sejarah yang tinggi.

b. Manfaat
Sebuah karya tulis ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi pembaca dan dapat memberikan keteladanan bagi kita semua. Atas dasar pemikiran tersebut, penulis mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat :
1. Memberikan informasi kepada generasi muda atau pelajar secara mendetail tentang makam-makam wali yang ada di Kabupaten Kendal
2. Memberikan gambaran kepada generasi muda bahwa sesungguhnya benda cagar budaya itu adalah benda yang sangat unik untuk dilihat dan dikaji.

3. Penegasan Istilah
Ada beberapa istilah yang terdapat dalam tulisan ini yang perlu penulis jelaskan lebih dahulu. Istilah-istilah itu adalah:
a. Makam Wali
Makam adalah tempat perkuburan bagi orang yang meninggal dunia. Jasad manusia yang meninggal dikubur dalam tanah setelah terlebih dahulu dilaksanakan tata upacara berdasar agama dan budayanya masing-masing. Wali adalah sebutan untuk orang suci yang dianggap melampui tataran ilmu agama Islam yang sangat tinggi. Makam para waliyullah berarti tempat pekuburan orang yang suci.
Oleh karena itu biasanya makam para wali ini dikeramatkan. Indikasinya banyak orang yang disamping melakukan ziarah, berdoa, dan mendoakan juga ada yang memohon dan meminta sesuatu pada makam (roh wali) yang sudah meninggal tersebut (Thohir, 1999).
b. Medan Budaya
Medan budaya adalah tempat pertemuan antara masyarakat dengan budayanya. Makam sebagai medan budaya berarti menjadikan makam sebagai tempat atau media masyarakat melakukan aktifitas budayanya yang umumnya berbentuk tradisi atau ritual keagamaan (Syam, 2005).
c. Pewarisan Tradisi
Pewarisan Tradisi adalah penyampaian tradisi dari satu generasi kepada generasi berikutnya (KBBI, 2001). Pewarisan tradisi ini dinamakan juga enkulturasi. Di dalamnya ada nilai-nilai budaya khas yang dikenalkan kepada generasi yang baru tersebut. Nilai-nilai tradisi yang disampaikan itu misalnya tradisi syawalan, khoul, slametan, nyadran dan sebagainya.
d. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekelompok manusia dan budayanya yang mendiami wilayah utara pulau Jawa. Masyarakat pesisir itu memiliki kecenderungan budaya yang agak berbeda dengan masyarakat vorstenlanden dan pedalaman. Ciri khas budaya masyarakat pesisir adalah karakter keislamannya yang kuat.

3. Metode Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu. Selama 5 hari yaitu pada tanggal 10-15 agustus 2008, penulis melakukan penelitian dan pemotretan makam-makam para wali yang ada di pemakaman Protomulyo.

b. Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada faktor apa yang melatarbelakngi masyarakat Kaliwungu memelihara makam waliyullah sebagai benda cagar budaya serta apa relasi dan hubungan antara faktor tradisi Islam pesisir dengan kelestrian makam sebagai BCB.

c. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah beberapa informan yang mengetahui tentang BCB khususnya makam waliyullah yang ada di Desa Proto Kecamatan Kaliwungu. Selain itu penelitian ini menggunakan buku referensi untuk menambah keakuratan data yang penulis buat.


c. Instrumen Penelitian
1) Observasi
Observasi adalah pengamatan. Penulis melakukan aktivitas masyarakat yang sedang melakukan ritual syawalan dan khaul di Kompleks Pemakaman Proto Kaliwungu.
2) Wawancara
Wawancara adalah serangkaian pertanyaan yang diberikan kepada narasumber. Penulis bertanya pada beberapa narasumber tentang bentuk, tahapan, serta makna makam bagi aktivitas ritual mereka.
3) Studi Pustaka
Studi pustaka adalah penggunaan beberapa referensi sebagai sumber data dan pembanding dari permasalahan yang penulis kaji. Beberapa buku di perpustakaan sekolah dan umum penulis pergunakan untuk menambah keakuratan tulisan ini.

B. Makam Wali Sebagai Medan Budaya dan Pewarisan Nilai Tradisi
1. Penyebaran agama Islam di Kabupaten Kendal
Sebelum agama Islam masuk di wilayah Kendal, terlebih dahulu telah terdapat agama Hindu-Buddha. Agama ini telah dipeluk dan menyebar pada masyarakat Kendal ketika pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Melihat keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal yang ada di Kaliwungu memberi gambaran pada kita bahwa di wilayah itu dulu adalah pusat pemerintahan agama Hindu-Buddha. Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu. Nama-nama itu antara lain: Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemangan, Sepuh, dan Kandangan. (Rochani, 2003 : 135)
Penyebaran agama Islam di Kendal di antaranya dilakukan oleh Sunan Katong. Sunan Katong yang masih kerabat dan keturunan Raja Brawijaya V datang di Kendal pada tahun 1513-an dan langsung meng-Islamkan masyarakat Kendal/Kaliwungu serta menata pemerintahannya. (Rochani, 2003 : 139).
Dalam beberapa mitos maupun legenda diceritakan bahwa Sunan Katong pada saat menyebarkan agama Islam mendapat hambatan dari sekelompok masyarakat yang masih memegang ajaran Hindu yang sangat kuat. Kelompok penentang sunan Katong itu dipimpin oleh Pakuwojo. Antara Sunan Katong dan Pakuwojo terlibat baku hantam dan mengakibatkan keduanya meninggal dunia.
Selain Sunan Katong yang menyebarkan agama Islam, ada lagi tokoh lain yang berjasa mengislamkan masyarakat Kaliwungu, yaitu Pangeran Juminah. Pangeran Juminah yang memiliki ilmu tasawuf/ sufi’isme sangat tinggiyang diperoleh oleh dari ibunya, Beliau menyebarkan agama Islam di Kendal, khususnya di Kaliwungu (Istiyarti, 1994: 77).
Dari kedua tokoh itu, Islam kemudian dapat menyebar ke segenap wilayah Kabupaten Kendal sekarang. Wilayah Kendal, Weleri, Pegandon, Boja, dan Sukorejo, penyebaran agama Islam dilakukan oleh para tokoh dan wali yang satu generasi dengan Sunan Katong dan ada juga yang murid-murid Sunan Katong.

2. Para Wali dan Peranannya di Kabupaten Kendal
Pada dasarnya keberadaan makam para wali saja sampai sekarang masih terus dirawat dan disakralkan oleh masyarakat Kendal. Tentu saja hal itu terkait dengan masa lampau para wali tersebut yang mempunyai peran sentral bagi pengembangan Islamisasi di wilayah Kabupaten Kendal.
Sunan Katong saja misalnya, beliau menyebarkan Islam di Kendal bersama sahabatnya dari Demak yaitu Ten Koe Penjian Lien (Tekuk Penjian) Han Bie Yan (Gembyang) tokoh dari China keduanya masih kerabat Demak. Dalam menyiarkan agama Islam di Kendal Sunan Katong cukup sukses, dia juga mampu mengajak Pakuwaja masuk Islam walaupun dengan adu tanding (Rochani, 2003: 177-179).
Seperti halnya Sunan Katong, Kyai Haji Asyari juga menyiarkan agama Islam di Kendal. Ada lagi tokoh Kaliwungu yang dikenal sebagai penyebar Islam pada masa sesudah Sunan Katong yaitu Pangeran Puger, Tumenggung Mandurarejo, KH. Asyari, KH. Mustofa, dan KH. Musyafak. Bahkan Pakuwojo pada dasarnya adalah sosok santri penyebar Islam pula. Ia adalah murid Sunan Katong yang memiliki nama asli Ki Gondokusumo (wawancara KRAT Kartodipuro 19 Agustus 2008).
Demikian pula ada sosok pangeran yang dianggap berperan pula dalam menyebarkan agama Islam, yaitu: Pangeran Juminah. Selain itu Pangeran Juminah dikenal pula dalam dunia politik, budaya, sosial masyarakat pesisir Kendal pada masa itu. Pangeran Juminah sangat berperan dalam dunia pemerintahan yang menjadi cikal bakal Kabupaten Kendal (Rochani, 2005: 3-7).
Di Kota Kendal sendiri, terdapat makam Wali Hadi, Wali Gembyang, dan Wali Jaka. Ketiga tokoh ini ada yang menganggap sezaman dengan Sunan Katong. Peran ketiganya adalah selain sebagai penyebar Islam, mereka juga membuka-alas wilayah hutan yang nantinya siap sebagai pusat pemerintahan Kendal.
Di daerah Pegandon ada tokoh Islam yang sangat terkenal di dunia politik, namanya adalah Sunan Abinawa atau Pangeran Benawa. Melalui tokoh ini agama Islam akhirnya bisa menyebar ke wilayah Kendal bagian selatan.

3. Makam-makam Wali di Kabupaten Kendal
Tinggalan-tinggalan yang diteliti di wilayah Kabupaten Kendal berupa makam, bekas gapura, kadipaten dan sejumlah tinggalan dari masa Kendal lampau. Adapun jenis tinggalan yang berupa makam adalah sebagai berikut :
a. Kompleks Makam Bupati Kaliwungu
Kompleks makam ini terletak di dusun Protokulon Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu, yaitu pada sebuah perbukitan yang memanjang dari utara ke selatan, dengan ketinggian 60 meter dari permukaan air laut.
Secara keseluruhan makam ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu masing-masing disebut gedung lor, gedung tengah, dan gedung kidul.
Kelima makam tersebut masing-masing adalah makam Pangeran Juminah, istrinya, putranya yang bernama Pangeran Lempuyang, dan dua makam abdi pembawa payung Pangeran Juminah, Pangeran Juminah adalah Bupati Kaliwungu I, selain makam tersebut diatas terdapat pula sejumlah makam kerabat Pangeran Juminah.
Seperti halnya gedung lor, di gedung tengah juga terdapat makam-makam tokoh penting yang diletakkan diatas batur. Tokoh utama yang dimakamkan disini adalah Surohadi Menggolo atau Pangeran Seda Ngambat, Bupati Kaliwungu II pada gedung kidul, yaitu pada batas sisi selatan terdapat empat makam yang berderet dari barat ke timur. Salah satunya yaitu makam yang terletak nomor dua dari barat adalah makam Bupati Kaliwungu VI yaitu Somediwiryo dan makam kerabatnya ada disamping-sampingnya (Istiyarti, 1994: 73-74).

b. Makam Kyai Haji Asy’ari
Makam ini terletak disebuah kompleks makam di daerah perbukitan yang sama dengan kompleks makam Bupati Kaliwungu, wilayah ini termasuk dalam dusun Protowetan, Desa Protomulyo, Kecamatan Kaliwungu. Menurut juru kunci, Kyai Haji Asy’ari yang disebut Kyai Guru oleh penduduk setempat adalah seorang utusan Mataram yang menyebarkan agama Islam di daerah ini. Di sebelah utara cungkup makam Kyai Haji Asy’ari terdapat cungkup lain yang berisi makam Pangeran Mandurejo (Indra, 2005: 2-3).
c. Makam Sunan Katong
Sekitar 150 meter di sebelah utara kompleks Kyai Haji Asy’ari terdapat sebuah kompleks makam lain yang dikelilingi tembok, tokoh utama yang dimakamkan di kompleks ini adalah Sunan Katong. Makam yang ada di sisi barat adalah makam Sunan Katong sendiri sedangkan makam istrinya terdapat di sisi timur (Observasi tanggal 11 Agustus 2008).
d. Makam Pakuwaja
Makam ini terletak didalam cungkup yang berada sekitar 150 meter di sebelah timur laut kompleks makam Sunan Katong. Bangunan cungkup dibuat dari kayu dan berdiri diatas batur yang dibuat dari batu karang. Didalam cungkup terdapat dua makam, yaitu makam Pakuwaja dan istrinya yang bernama Nyai Sentar, jirat dan nisan tidak diketahui, karena ditutup dengan berlapis-lapis kain putih. Menurut juru kunci Pakuwaja adalah murid Sunan Katong (Muslichin, 2007: 9-10).
Itulah uraian mengenai sebagian kecil makam wali yang ada di Kabupaten Kendal. Padahal lampiran saya juga menunjukkan beberan foto asli kompleks makam wali yang ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.
Adapula makam yang Wali yang terdapat di Kota Kendal seperti Wali Jaka, Wali Gembyang, dan Wali Hadi. Makam Wali Hadi terletak dibelakang Masjid Jami Kendal, makam Wali Jaka terletak di halaman depan Masjid Jami Kendal, sedangkan makam Wali Gembyang terletak 300 meter depan Masjid Jami Kendal (Belakang Kantor Pengadilan Negeri Kendal).
Selain itu, makam Wali yang sering dikunjungi masyarakat Kendal dan luar Kendal adalah Makam Sunan Abinawa yang terletak di Desa Pekuncen Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.

4. Bentuk Tradisi dan Upaya Pewarisan Nilai Tradisi Islam Pesisir
Makam Waliyullah adalah Salah satu benda atau tempat cagar budaya di Kendal dirasa telah mendapat kepedulian yang cukup dari masyarakat maupun pemerintah daerah Kabupaten Kendal. Salah satu bukti konkritnya adalah seringnya dilakukan pengajian, mujahadah, napak tilas, syawalan, slametan, maupun Khoul Akbar yang dilaksanakan di pelataran kompleks makam wali yang ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Sebagai bukti bahwa masyarakat maupun pemuka agama di Kendal masih sangat menghormati dan menghargai peran para wali yang ada di Kabupaten Kendal di masa lampau adalah diadakannya akan diadakannya “KHOUL AKBAR ASTANA KUNTUL NGLAYANG” yang berlangsung pada tanggal 24 Agustus 2008 di pesarean Pangeran Juminah (wawancara Tomo, Mudzakir, dan Jamil 15 Agustus 2008).
Dinas terkait yang ada di Kabupaten tidak kalah dalam mengenalkan peran para wali tersebut. Pada tanggal 7 Juli 2007 diadakan kemah budaya di pelataran makam wali yang diikuti oleh siswa-siswa SLTA Se-Kabupaten Kendal. Di samping acara tersebut menjadikan BCB khususnya makam para Wali sebagai media pembelajaran sejarah dan budaya, para siswa-siswa juga bisa belajar mengenal lingkungan masyarakat setempat yang terkait pemeliharaan tradisi masyarakat pesisir (Wasino, 2007: 5-8 dan Muslichin, 2007: 3-7).
Dalam acara tersebut, sekolah saya SMAN 2 Kendal juga ikut berpartisipasi dan mengirimkan perwakilan untuk ikut dalam acara tersebut.
Selain itu, ada pula tradisi syawalan, acara ini rutin diadakan setiap tahun pada bulan syawal. Tradisi syawalan menjadi sesuatu yang penting bagi mayoritas pemeluk Islam yang tinggal di kawasan pesisir. Mereka mempunyai tradisi dan ritual yang sangat khas. Syawalan merupakan medium mendoakan arwah para wali yang berjasa bagi pengembangan dan penyiaran agama dan budaya Islam. Konsep syawalan adalah pengembangan pula dari kebiasaan nyadran, wasilah, atau ziarah yang dilakukan oleh masyarakat Islam yang berpaham ahlusunnah wal jamaah.
Pada dasarnya, tradisi ini sudah dilaksanakan puluhan tahun yang lalu dan masyarakat Kendal rupanya dapat menjadi ahli waris yang baik dengan terus melaksanakan tradisi syawalan itu setiap tahun.
Oleh karena begitu meriahnya tradisi ini, masyarakat Kaliwungu menyatakan bahwa tradisi syawalan itu adalah lebarannya orang Kaliwungu. Memang pada kenyataannya, tradisi syawalan itu lebih ramai dari pada waktu lebaran. Pada dasarnya, pengunjung yang datang pada tradisi itu tidak hanya orang-orang di Kota Kendal saja, orang-orang dari luar Kendal juga antusias untuk berkunjung di Kaliwungu. Para pedagang yang datang juga mempunyai anggapan bahwa mereka harus datang pada acara syawalan, meskipun akan rugi karena banyaknya pedagang lain yang berjualan barang dagangan yang sama. Tetapi rugi dagang pada acara syawalan di Kaliwungu akan ditutupi usaha berdagang di daerah lain. Maklum, mereka semua adalah pedagang tiban atau keliling (wawancara Shodik 12 Agustus 2008) .
Tradisi yang hampir mirip dengan syawalan adalah acara khaul para wali atau kyai yang kebetulan di makamkan di kompleks pemakaman tersebut. Acara khaul ini menjadikan generasi muda Islam dikenalkan dengan bentuk enkulturasi atau pewarisan nilai budaya Islam pesisir. Umumnya pengunjung yang datang adalah mereka yang notabene bekas santri pondok pesantren milik Kyai atau wali yang dimakamkan di areal tersebut.
Di samping itu, ada pula individu atau beberapa kelompok masyarakat yang sengaja datang untuk melakukan ziarah kubur. Di tempat pemakaman para wali itu mereka memberikan doa-doa kepada para wali yang sudah berjasa berjuang demi Islam. Namun demikian ada pula yang selain berdoa juga memohon doa keselamatan dari para wali. Hal ini sangat wajar dalam khasanah Islam pesisir yang mana mereka mempunyai konsep kepercayaan apa yang dinamakan sebagai wasilah (wawancara Mudzakir 13 Agustus 2008).
Demikian pula ketika menjelang bulan Ramadhan, masyarakat sekitar maupun dari luar berbondong-bondong untuk datang ke makam. Mereka melakukan nyadran atau nyekar membersihkan areal pemakaman. Hal ini sebenarnya simbolisasi dari kebersihan diri dari pengunjung untuk menyambut bulan suci Ramadhan (wawancara Tomo 12 Agustus 2008).
Adanya ritual-ritual di atas tentu saja memiliki fungsi agama dan budaya. Dari sisi agama, jelas masyarakat islam diwajibkan untuk menghormati orang yang lebih tua, orang tua, leluhur, dan ulama. Tradisi ziarah, nyadran, khaul, dan syawalan merupakan mekanisme penghubung antara orang yang hidup dengan orang yang dicintai dan dihormatinya.
Dari sisi budaya mengandung maksud bahwa tradisi yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun itu tetaplah dilestarikan dan dilaksanakan. Tradisi menjadi medium enkulturasi antara generasi tua dengan generasi mudanya. Generasi muda hanya tahu tradisi syawalan, ziarah, nyadran, dan khaul seperti apa jika mereka diajak untuk hadir pada acara tradisi tersebut.
Dari sisi kelestarian Benda Cagar Budaya (BCB), tentu saja pelaksanaan tradisi yang rutin itu akan membawa upaya masyarakat setempat atau pemerintah daerah untuk menfasilitasi dan memberikan tambahan biaya pembangunan, kebersihan, dan pelengkap lain untuk kepentingan ekonomis.
Berarti pula semakin banyak intensitas ritual yang dilaksanakan pada areal pemakaman Protomulyo, maka semakin besar pula muncul upaya pelestarian BCB dan tradisi yang mengikutinya.
Itulah wujud dari kepedulian masyarakat Kendal terhadap benda cagar budaya yang masih ada di tempat dan terus dirawat serta dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Dalam hal ini saya juga melampirkan foto-foto makam tersebut sebagai bukti bahwa makam-makam tersebut masih ada sampai sekarang dalam keadaan bersih.

C. Penutup
1. Simpulan
Secara garis besar masyarakat pesisir di Kabupaten Kendal sudah cukup peduli terhadap makam-makam wali yang ada di Kaliwungu. Namun yang masih perlu diperhatikan adalah kepedulian terhadap pelestarian benda cagar budaya yang ada di Kendal maupun kota-kota yang lain dalam hal ini peran pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat cukup dibutuhkan. Adanya berbagai tradisi masyarakat Islam pesisir menjadikan Benda Cagar Budaya yang berbentuk makam terjaga kelestariannya.

2. Saran
Semoga dengan tulisan saya ini teman-teman lebih peduli terhadap benda cagar budaya yang ada dengan pertimbangan keunikan dan nilai sejarahnya yang cukup tinggi. Masyarakat luas serta pemerintah juga harus memberikan perhatian lebih terhadap benda cagar budaya agar tidak dibiarkan berserakan dan tidak terawat.
Bila masyarakat maupun pemda tidak memperhatikan tinggalan sejarah ini sangat bahaya karena tangan-tangan jail siap mengancam kelestarian benda tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Hartatik, Endah Sri. 2007. Pemanfaatan Museum, Monumen Perjuangan,
Makam Pahlawan dan Saksi Sejarah sebagai Sumber Sejarah.
Makalah Seminar Peningkatan Pembinaan Kesadaran Sejarah bagi
Generasi Muda Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Propinsi Jawa
Tengah di Kopeng Kabupaten Semarang.

Indira, 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Tidak diterbitkan

Istiyarti. 2007. Identifikasi Permuseuman dan Benda Cagar Budaya di
Wilayah Kab. Semarang. Tidak diterbitkan.

Istiyarti. 1994. Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah.

Muslichin. 2007. Identifikasi Benda Cagar Budaya Di Wilayah Kab. Kendal.
Makalah S2 Unnes. Tidak diterbitkan.

Muslichin. 2007. Kemah Budaya sebagai Model Pembelajaran Multikultur
dan Penanaman Nilai-nilai Sejarah pada Generasi Muda. Makalah
Pendamping Kemah Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Kendal di Protomulyo Kaliwungu 30 s/d 2 desember
2007. Tidak diterbitkan.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
II.Jakarta: Balai pustaka.

Rochani, Hamam A. 2003. Babad Tanah Kendal. Semarang: Inter Media
Paramadina.

Rochani, Hamam A. 2005. Pangeran Juminah. Semarang: Inter Media
Paramadina.

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis.

Sudaryanto, 1994/1995. Menapak jejak Masa Sejarah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Jateng.

Thohir, Mudjahirin. 1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayan Jawa
Pesisiran. Semarang: Penerbit Bendera.

Thohir, Mudjahirin. 2006. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang:
Fasindo.

Wasino, 2007. Penelitian Sejarah di Kalangan Siswa sebagai Model
Pembelajaran Sejarah di Sekolah. Makalah Seminar Nasional (Tidak
Diterbitkan). Unnes: Semarang.

*Naskah nominator LKTI Benda Cagar Budaya tahun 2008. Penulis: Slamet Suryanto, siswa SMA 2 Kendal Program IPS.

Label:

1 Komentar:

Blogger Unknown mengatakan...

mengenai sejarah makam Pangeran Juminah banyak yang salah. mohon pemerintah daerah utk meluruskannya.

23 Mei 2018 pukul 00.50  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda