forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Minggu, 28 Oktober 2012

MEMAKNAI PESAN SUMPAH PEMUDA DALAM UPACARA BENDERA DI SMA NEGERI 2 KENDAL

Bapak/Ibu dan Anak-anakku yang sekalian, pagi hari ini kita melaksanakan upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-84 tahun. Artinya hampir seabad kita merayakan sebuah ikon sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi awal penyatuan suku bangsa, ras, dan bahasa dalam setiap perjuangan politik kita. 

Kita tahu, rapat tanggal 27-28 Oktober 1928 membahas keputusan politik dari beberapa organisasi dan kelompok yang mengatasnamakan ideologi dan suku yang berbeda untuk bersepakat tentang kesatuan bahasa, tumpah darah, dan tanah air yang bernama Indonesia. Beberapa kelompok organisasi yang tergabung dalam kongres Pemuda Indonesia II tersebut adalah Jong Java, Jong Batak Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatra Bond, Jong Ambon, Jong Sunda, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Bahkan ada perwakilan dari Sarawak yang waktu itu belum terbentuk negara Malaysia, dan juga pejabat Belanda yang bernama Van Der Plass. 

Bapak/Ibu dan Anak-anakku, dalam Sumpah Pemuda dikumandangkan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Lagu kini sangat sesuai dengan semangat jaman dan mentalitas yang berkembang pada suasana rapat maupun politik saat itu, sehingga oleh yang hadir, lagu Indonesia Raya langsung disepakati untuk dijadikan lagu pusaka atau kebangsaan Indonesia.

Ada beberapa pesan yang dapat kita ambil dari peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda dalam konteks masa kini. Pertama, kesediaan perwakilan suku dan daerah untuk bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu Indonesia Merdeka. Masing-masing daerah tidak mengutamakan semangat primordialisme mereka untuk sesuatu yang kaku. Melainkan mereka bersepakat untuk menyamakan visi dan misi dalam rangka mengejar tujuan yang lebih utama, yaitu kemerdekaan Indonesia. Kedua, semangat cinta damai diantara peserta rapat Sumpah Pemuda. Mereka menunjukkan pada generasi sekarang bahwa tujuan jangan sampai mengabaikan cara. Tujuan berpolitik dapat dilakukan dengan kesantunan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat serta adu argumentasi dengan landasan logika sehat dan ilmiah. Ketiga, spirit altruisme atau perasaan rela berkorban yang berkembang pada peserta rapat. Rapat sumpah pemuda yang tidak dihadiri Ir. Soekarno dan Hatta tersebut memberikan ketauladanan pada generasi sekarang tentang pentingnya kebersamaan dan solidaritas atas nama Indonesia, bukan Jawa, Sumatra, Bali, atau Sulawesi.

Bapak/Ibu dan Anak-anakku, Sumpah Pemuda memberikan ketauladan langsung pada diri kita. Generasi muda sekarang dapat mengacu langsung pada semangat pemuda-pemudi Indonesia saat itu. Pemuda adalah tulang punggung negara dan sekaligus agen sebuah perubahan. Tanpa pemuda yang cerdas, kreatif, dan berani, bangsa kita akan tetap berjalan di tempat dan tak akan pernah bisa mengatasi persoalan bangsa yang hingga hari ini masih tetap ada yaitu, lunturnya nasionalisme, rendahnya kualitas pendidikan, serta korupsi yang menggerogoti di semua elemen negeri ini. Oleh karena itu, sejarah Sumpah Pemuda menciptakan harapan-harapan baru untuk generasi muda yang hari ini belajar di sekolah yang bernama SMA Negeri 2 Kendal. Setidaknya, kalian semua bisa mengambil semangat keberanian pemuda masa lalu untuk berani tampil ke depan secara kritis memberi kritik, saran, dan solusi atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Akhirulkalam, mohon maaaf atas apa yang sudah kami sampaikan bila menyinggung perasaan Bapak/Ibu dan Anakku. Sekian.

Baca Selengkapnya Klik disini !

Kamis, 11 Oktober 2012

MAKSIMALISASI PERAN MAHASISWA PPL JURUSAN SEJARAH UNNES DI SMA NEGERI 2 KENDAL Oleh: Dwi Aji Oktavian dan Lukman Prasetyo*

Praktik Pengalaman Lapangan atau disingkat PPL adalah tahapan mahasiswa keguruan untuk mengamalkan semua teori yang telah diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Secara teoretis, mahasiswa keguruan pasti sudah memiliki kemampuan kognitif tentang teori mengajar dan pendidikan, pemahaman materi yang memadai, dan penguasaan media pembelajaran yang cocok dan bersifat canggih. Namun demikian, mahasiswa yang sudah memiliki indeks prestasi tinggi belum tentu memiliki kemampuan mengajar yang terstandarisasi jika mereka tidak diberi kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang diterima selama ini di kampus keguruan tercinta. Agar para mahasiswa tidak mengalamui kseulitan yang berarti dan mampu menyatukan ruang perbedaan antara teori dan praktik, maka mereka harus belajar secara langsung di lapangan, bertemu dengan murid-murid yang sebenarnya, bergaul dengan para guru yang lebih senior, serta bertukar pengalaman dengan paa guru untuk merumuskan strategi apa yang sesuai untuk menghadapi kelas dan murid-murid tertentu di lapangan.

Pengalaman kami, sebagai mahasiswa PPL UNNES jurusan Pendidikan Sejarah yang mendapatkan kesempatan mempraktikan pengajaran sejarah sangatlah menarik. Siswa SMA Negeri 2 Kendal yang memiliki latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan orang tua, ternyata memiliki harapan dan keinginan yang sama tentang pelajaran sejarah yang mereka dapatkan. Sebagai pelajar, mereka selalu ingin mendapatkan cerita, kisah, dan peristiwa-peristiwa

Baca Selengkapnya Klik disini !

Kemah Budaya Tahun 2012 di Gonoharjo Limbangan Kabupaten Kendal

Sebuah kegiatan rekreatif yang bernuansa historis sering dilaksanakan dalam rangka mengembangkan minat pelajar atau pemuda terhadap khasanah budaya lokal mereka. Rasa kebanggaan sebagai anggota masyarakat selayaknya mulai dibangun dengan berbagai cara agar masyarakat mengenal produk budaya dan sejarah masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Kendal dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata perlu menggalakkan pengenalan kebudayaan dan sejarah lokal melalui Kemah Budaya Pelajar dari tanggal 12 s/d 14 Oktober 2012 di tempat wisata Gonoharjo Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. 

Agaknya, semangat panitia penyelenggara diilhami oleh konsepsi Nugroho Notosusanto maupun C. P. Hill tentang kegunaan sejarah. Menurut mereka kegunaan sejarah lebih ditujukan pengembangan dan pewarisan kebudayaan dari masa lalu kepada generasi muda sekarang melalui serangkaian kegiatan edukatif yang mampu memberikan rasa inspirasi, instruktif, dan rekreatif anak muda. Kemah Budaya merupakan produk alternatif yang cerdas manakala mereka mengalami kebosanan ketika harus berkutat pada buku-buku pelajaran sejarah yang hanya berderet angka dan tahun peristiwa semata.

Baca Selengkapnya Klik disini !

Kamis, 04 Oktober 2012

EKSPRESI DAN SIKAP MASYARAKAT SETEMPAT DALAM MENJAGA KELESTARIAN PENINGGALAN-PENINGGALAN SUNAN ABINAWA DI DESA PEKUNCEN KECAMATAN PEGANDON KABUPATEN KENDAL


                      Era globalisasi dan informasi merupakan suatu hal yang harus diterima dengan segala konsekuensinya. Berapapun besarnya pengaruh asing yang masuk ke kebudayaan kita akan membawa pengaruh terhadap perilaku dan sikap bangsa saat ini baik perilaku sosial, politik, maupun ekonomi, serta budaya. Oleh karena itu untuk menangkal budaya asing yang beraliran negatif  masuk ke Indonesia, pemerintah berkewajiban memberikan informasi budaya kepada seluruh masyarakat Indonesia yang dikhususkan bagi generasi muda yang akan memeruskan kebudayaan dan peninggalan bangsa yang beranekaragam ini.
                      Desa pekuncen merupakan salah satu peninggalan Islam di Kabupaten Kendal yang masih terjaga dan dilestarikan. Banyak keterkaitan antara Desa Pekuncen dengan Pangeran Benowo. Beliau sangat berperan dalam penyebaran Islam di Kabupaten Kendal.
                      Konon Sunan Abinawa dimakamkan di Desa Pekuncen yang akan menjadi bahasan kami dalam penulisan karya tulis ini selain keterkaitan antara Pangeran Benowo dan peranannya di Desa Pekuncen khususnya dan di Kabupaten Kendal umumnya. Beberapa makam yang ada di Kabupaten Kendal juga akan sedikit kami ulas.
                      Beberapa makam tersebut mendapatkan perhatian istimewa dari pemerintah. Pemerintah memberikan bantuan dana, perawatan, dan pengawasannya melalui serangkaian program-programnya yang ada dan terjadwal. Masyarakat setempat memberikan apresiasi yang baik pula terhadap upaya pelestarian makam para waliyullah itu, termasuk di dalamnya makam Sunan Abinawa yang terletak di Desa Pekuncen Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. .

Baca Selengkapnya Klik disini !

Jumat, 08 Juli 2011

MENENGOK KISAH HEROIK UMAT ISLAM DI MALANG Oleh: Puji Handayani*

Bagi para pecinta wisata, nama Malang mungkin sudah tidak asing lagi. Kawasan yang terletak di dataran cukup tinggi dari permukaan air laut ini membuat suasana mnejadi sejuk. Malang adalah kota yang berudara sejuk yang terletak 90 km dari selatan kota Surabaya. Selain terkenal sebagai kota wisata juga terkenal sebagai kota bunga dan kota pelajar.

Malang adalah sebuah wilayah peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia sejak abad ke7 M. di kota ini tersimpan bnayak sekali peninggalan sejarah baik pada masa kerajaan Kanjuruhan, Mataram Hindu, Kediri, Singosari, Majapahit hingga pada masa colonial Belanda dan pra-kemerdekaan.

Namun lebih dari itu tahukah anda bahwa Malang pernah menjadi saksi perjuangan kemerdekaan yang dipelopori oleh ulama dan santri. Umat islam bersatu padu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Pada masa pra-kemerdekaan ada dua derakan yang terkenal yaitu Hizbullah dan Sabilillah. Dua gerakan ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan, Hizbullah adalah wadah perjuangan para santri sedangkan Sabilillah adalah wadah perjuangan para kyai, ulama dan mereka yang sudah berusia dewasa.

Masjid Agung Jami’ Malang
Masjid ini merupakan bangunan tua dan bersejarah di kota Malang, usianya mencapai satu abad lebih. Hingga tahun 2008, masjid ini telah mengalami beberapa kali pemugaran. Namun dua menara yang menjadi cirri khas masjid ini masit tetap dipertahankan. Kondisi alam kota Malang yang dingin menajdikan masjid ini didesain khusus oleh pemerinyah Belanda sebagai Kota Peristirahatan.

Masjid Agung Jami’ memiliki tiga bagian. Di tengah sebagai ruangan induk biasanya digunakan oleh jamaah lelaki, sedangkan sebelah kanan diperuntukkan bagi jamaah perempuan, serta disebelah kiri merupakan bangunan khusus bagi pengurus masjid dan pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Pemerintah kota Malang telah berhasil mempertahankan Masjid ini sebagai bangunan bersejarah dan memiliki nilai plus sehingga tetap menghidupkan aspek religious,keunikan arsitektur juga.

Masjid Sabilillah
Di jalan Ahmad Yani Belimbing Malang ada sebuah bnagunan yang megah yang bernma Masjid Sabilillah. Masjid ini memiliki memori perjuangan umat islam. Dinamakan Sabilillah karena masjid ini pernah dijadikan benteng pertahanan dan strategi para syuhada yang berperang melawan angkara murka penjajah. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah monumen sederhana.
Di teras masjid ada sebuah prasasti kecil untuk mengenang perjuangan kemerdekaan yang dipelopori oleh alim ulama. Prasasti itu berbunyi: “Masjid Sabilillah sebagai monument perjuangan kemerdekaan RI 1945 yang dipelopori oleh alim ulama.”

Prasasti itu menegaskan bahwa di Malang menyimpan kisah heroikyang dilakukan oleh umat islam pada masa pra dan pasca kemerdekaan. Kelompok yang melakukan perlawanan itu dipelopori oleh para ulama. Kelompok pejuang berkumpul dalam wadah bernama Lascar Sabilillah. Dan masjid ini merupakan saksi bisu dari kisah heroic kaum syuhada.

Ihwal riwayat pendirian masjid ini adalah keprihatinan dari sekelompok ulama di Malang karena kisah heroic tidak dikenang dan mulai dilupakan bangsa Indonesia. Sebagai bentuk terima kasih atas jasa para syuhada dan upaya mengenang perjuangan mereka, masjid ini didirikan. Selain sebagai rumah ibadah juga sebagai monument perjuangan dimana para ulama yang tergabung dalam barisan Sabilillah pernah berjasa dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.
Sabilillah adalah lascar rakyat yang paling kuat yang pernah hidup di bumi Indonesia. Meskipun disisihkan dalam sejarah dan museum-museum yang ada di negeri ini, masyarakat Malang mengabadikan dalam sebuah bangunan ibadah dan prasasti.

Masjid Hizbullah
Selain masjid Sabilillah, di kota ini juga terdapat masjid Hizbullah yang terletak di jalan masjid Singosari 11 km dari kota Malang. Awalnya masjid tersebut tidak bernama Hizbullah. Sebelum tahun 1966, masjid ini dikenal dengan nama masjid Jami’ Singosari. Namun atas kesepkatan takmir dan untuk mengenang lascar perjuangan santri, pada tahun 1966 masjid ini diberi nama

Masjid Besar Hizbullah.
Pada masa perang fisik melawan penjajah sambil menunggu bergabungnya para pemuda yang sudah terlatih kemiliteran di Cibarusah, lascar Hizbullah dan Sabililah yang telah mendapatkan motivasi dari para kyai diberangkatkan ke Surabaya. Mereka siap menyatakan tempur di Surabaya pada November 1945untuk menghadang sekutu. Lascar Hisbullah dan Sabillillah berkumpul di Singosari dengan bersenjatakan bambu runcing, ketapel dan senjata tajam. Ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, setiap pejuang yang mencintai kemerdekaan Indonesia ikut mengangkat senjata dalam mengusir tentara sekutu. Dari kota Malang tidak sedikit para pejuang yang berani meninggalkan kotanya guna ikut bergabung bersama para pejuang lainnya.

Pada minggu keempat di bulan November, pasukan yang tergabung dalam Hisbullah dan Sabilillah mengalir ke medan pertempuran di Surabaya. Di antara mereka tidak sedikit yang gugur sebagai kusuma bangsa di daerah pertempuran mulai Wonokromo, Waru, Baduran dan lainnya.

Singosari sebagai pusat markas Sabilillah rupanya menjadi benteng kokoh bagi Belanda yang bernafsu untuk memasuki kota Malang. Namun, dalam sebuah pagi buta di tahun 1947, Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor menggempur dengan menembakkan meriam dan mortir hingga Singosari dan Malang hancur berantakan.

Menurut data yang diungkap Majalah al Mujtama’ Malang merupakan pusat kekuatan Hisbullah dan Sabilillah yang digalang untuk bergerak menuju Surabaya yang waktu itu akan diduduki oleh penjajah dan dikenal dengan peristiwa 10 November. Batalyon Hisbullah adalah tentara yang sangat ganas dan ditakuti musuh, karena dalam gerakannya tidak menunggu komando atasan.

*Penulis adalah Mahasiswi semester 2 STAI AL Azhar Gresik Jurusan Pendidikan Agama Islam.

Baca Selengkapnya Klik disini !

Jumat, 10 Juni 2011

KETAHANAN NASIONAL DAN NII Oleh: Titin Listiyani*

Maraknya berita NII sekarang ini mengakibatan para orang tua yang anak-anaknya menjadi mahasiswa di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta mengalami stress berat. Mereka khawatir jika anak mereka menjadi salah satu anggota atau calon anggota Negara Islam Indonesia (NII). Mengapa mereka begitu takut? Jelas sekali model perekrutan NII justru dilakukan pada kampus-kampus besar seperti ITB, UI, UGM, UNDIP, dan UNNES. Artinya, organisasi tanpa bentuk ini bergerak sangat lincah dalam menggaet dan membujuk calon-calon anggota NII. Umumnya mereka yang terbujuk mengalami proses brainwashing dan penggojlokan mental yang akhirnya memunculkan sikap loyalitas dan dedikasi tertinggi pada pimpinan dan organisasi NII.

Baca Selengkapnya Klik disini !

Selasa, 07 Juni 2011

PANCASILA BUKAN MILIK KITA? REFLEKSI HISTORIS KELAHIRAN PANCASILA Oleh: Titin Listiyani*

Setiap orang memandang tanggal 1 Juni merupakan hari lahirnya Pancasila. Hal ini dikarenakan pada tanggal tersebut Ir. Soekarno dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 merumuskan azas-azas yang meliputi nasionalisme, internasionalisme, demokratisasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang kemudian dinamai sendiri dengan istilah Pancasila, di mana sebelumnya “Pancasila” yang lainnya telah dikemukakan oleh Prof. Mr. Soepomo pada tanggal 29 Mei 1945 maupun M. Yamin pada tanggal 31 Mei 1945.

Ir. Soekarno menganggap bahwa ia tidak menemukan atau mencari kelima konsepsi dasar yang akhirnya dijadikan sebagai ideologi negara. Soekarno mengatakan apa yang ditawarkan tersebut merupakan nilai-nilai dasar yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Ia hanya menggali saja dari apa yang sudah ada di Indonesia. Nilai-nilai ketuhanan berasal dari nenek moyang bangsa Indonesia yang sudah mengenal kepercayaan sejak jaman dahulu. Demikian pula nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan kebangsaan sudah mewarnai sejarah kehidupan leluhur bangsa jauh sebelum Indonesia dijajah oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.

Pertanyaannya adalah apakah benar Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya bangsa yang berasal dari nenek moyang? Apakah justru Pancasila lahir dari kondisi bangsa kita yang sedang sakit kala itu dan Soekarno mencoba mencari formulasi ideologi yang cocok untuk mengatasi persoalan bangsa yang dijanjikan kemerdekaannya oleh Jepang?

Nilai-nilai Pancasila yang Ahistoris
Banyak kalangan menilai bahwa merosotnya moral bangsa yang meuwujud dalam bentuk korupsi, tawuran pelajar, kerusakan hutan, perampokan Perbankan, disintegrasi bangsa, NII, hilangnya nasionalisme, dan pornografi sebagai akibat tidak paham dan menegertinya generasi muda terhadap Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai mendasar dan ideologi bangsa yang harus diamalkan dan diterapkan dalam situasi dan kondisi apapun.

Pasca reformasi kita menyaksikan betapa bangsa ini hancur berkeping-keping. Masing-masing daerah, suku, organisasi politik, dan lembaga keagamaan terjangkiti virus primordialisme dan etnosentrisme kaku. Mereka membela daerahnya, agamanya, dan budayanya tanpa menempatkan suku bangsa lain secara proporsional, seimbang, dan adil.

Permasalahan semakin berkembang ketika kita memandang bahwa Pancasila dianggap gagal menjalankan fungsi dan peranannya dalam mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa, sedangkan di sisi lain masyarakatnya sendiri yang menolak menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang mampu mengatasi persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan itu sendiri.

Kita tidak mungkin selalu mengatakan bahwa generasi mudalah yang salah, keblablasan, liberal, dan tidak memahami akar sejarah bangsa sehingga konflik selalu saja terjadi. Namun cobalah untuk melihat dengan jernih tentang keberadaan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sendiri yang sebetulnya sangat berbenturan dengan fakta sejarah itu sendiri. Mengapa? Apa yang dikatakan Soekarno bahwa dirinya menggali nilai-nilai Pancasila dari nenek moyang bangsa Indonesia jelas sangat absurd dan ahistoris. Mungkin nanti akan muncul pertanyaan tentang nenek moyang yang mana? Bukankah bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang dulu dibatasi oleh geopolitik sehingga masing-masing dari mereka tidak bisa bertemu dalam kondisi setara dan saling mengungtungkan?

Menurut JM. Van den Kroef seorang profesor yang mengajar di MichiganUniversity, Nilai-nilai Pancasila justru berasal dari pergumulan intelektual Soekarno sendiri dengan ide-ide barat melalui lalu lintas pendidikan barat. Pendidikan Kolonial telah melahirkan manusia seperti Soekarno untuk memudahkan mengenyam, menelan, dan mengunyah ideologi dan pemikiran filsuf dan ideolog Barat untuk diterapkan di Indonesia. Nilai Ketuhanan yang dikatakan berasal dari leluhur bangsa sendiri jelas tidak mungkin. Hal ini bisa dibuktikan bahwa masa lalu negeri ini justru kental nuansa animisme, dinamisme, polyteisme, Hinduisme dan Budhisme. Sementara itu, konsepsi ketuhanan menurut Soekarno adalah prinsip-prinsip keesaan/tauhid yang notabene berasal dari alam pikiran keislaman. Bacaan-bacaan Soekarno yang terkait dengan persoalan Islam sebagai aqidah dan sistem politik turut mempengaruhi alam pikiran beliau untuk menerapkan konsepsi tersebut sebagai inti dasar negara kita. Belum lagi pergaulan beliau secara intens dengan H.O.S. Cokroaminoto telah membentuk mental dan kerangka berpikir yang sama dan sebangun tentang prinsip ketuhanan dirinya dengan mertuanya tersebut.

Pada sila kedua tentang prinsip kemanusiaan atau internasionalisme, jelas sekali bahwa Soekarno tidak melihat betapa kejamnya para penguasa untuk mengatur rakyatnya. Teori Kosmogoni menjadi fakta bahwa raja adalah penguasa yang mewakili kuasa Tuhan. Ia berhak melakukan apa saja agar kekuasaannya tetap langgeng dan rakyat senantiasa patuh. Prinsip kemanusiaan dan internasionalisme ini pastilah berasal dari pemikir-pemikir humanis pasca revolusi Inggris dan Amerika yang mencapai puncaknya saat terjadi revolusi Perancis. Asas kesamaan, persaudaraan, dan keadilan adalah buah karya filsuf barat saat itu seperti Bacon, John Lock, Montesquie, J.J. Rousseuau, Machiavelli, dan sebagainya. Filsuf-filsuf besar itu menjadi guru bagi Soekarno yang merupakan intelektual muda yang cerdas dan cepat belajar.

Sila ketiga Persatuan Indonesia. Prinsip ini jelas menjadi obsesi Soekarno sendiri ketika melihat bangsa Indonesia sebagai produk negara pascaimperialis yang sebetulnya memiliki banyak perbedaan suku, bangsa, agama, golongan, dan sebagainya. Soekarno ingin perbedaan-perbedaan itu dihilangkan. Apapun perbedaannya, sebisa mungkin direduksi atau disatukan demi tercapainya negara baru yang kuat. Namun realitas historis cenderung menyajikan fakta bahwa nenek moyang kita lebih mengedepankan komunalitas sebagai prinsip kewilayahan yang tak bisa diganggu gugat. Nenek moyang Jawa, Minang, Sunda, Dayak, dan Batak lebih mengedepankan semangat kesukuan mereka ketika membentuk sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Primordialisme kesukuan ini mengalami proses evolusi sehingga membentuk menjadi spirit kebangsaan berkat perilaku kolonialisme yang mengakibatkan kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan yang menjadi komoditas para intelektual seperti Soekarno saat itu untuk menyatukan perbedaan kesukuan masyarakat Indonesia. Secara kebetulan, penjajahan justru merapatkan dan merajutkan benang perbedaan antar suku untuk belajar mengenal satu sama lain sehingga menghasilkan penyatuan yang luar biasa kuat.

Dalam perkembangannya, ketika Pancasila sudah menjadi doktrin negara, perselisihan dan konflik kesukuan senantiasa menghiasi negara. Hal ini berarti secara implisit nenek moyang kita masih tetap mewariskan nilai-nilai komunalitas, primordialisme, dan etnosentrisme yang sejujurnya tak bisa hilang jika negara sebagai pemegang kuasa hukum dan politik tidak bisa memahami akar sosiologis dan kultural kesukuan di Indonesia.

Pada sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan ditemukan fakta nilai-nilai demokrasi yang menjadi roh sila keempat ini bukan berasal dari nenek moyang. Sejarawan Perancis Dennys Lombart dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya memberikan argumen bahwa Pancasila nilai-nilai dasar pancasila adalah tiga hal yaitu: Liberalisme, Islam, dan Tradisionalisme yang merupakan percampuran Cina dan India dalam proses globalisasi awal. Artinya ketika kita melihat nilai demokrasi sila keempat maka terlihat bahwa bukannya nenek moyang kita yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang jujur. Justru nenek moyang kita tidak pernah memberikan ajaran kesetaraan dan kesamaan pada sesama, melainkan feodalisme yang mengakar kuat dalam relasi kekuasaan mutlak dan tak terbantah sehingga menimbulkan pergolakan, protes, dan pemberontakan dari masyarakat dan golongan yang terpinggirkan. Sejarah memperlihatkan bahwa relasi patron-client berasal dari semua lapisan kesukuan di Indonesia yang terutama paling kuat terjadi di Jawa. Bahasa Jawa saja merupakan bukti dan warisan prinsip feodalisme dan relasi patron-client yang meresapi pergaulan di kalangan masyarakat vorstenlanden.

Lombart memperlihatkan bahwa demokrasi jelas sekali berasal dari buku-buku liberalisme dan filsafat barat yang menjadi bacaan Soekarno pada masa Pergerakan Indonesia. Nilai-nilai kesetaraan model barat ini menjadi konkritisasi keinginan dan cita-cita Soekarno muda ketika mengimpikan model keindonesiaan yang modern dan maju. Mengapa Soekarno menganggap nenek moyang kita memiliki spirit demokrasi? Barangkali yang terlihat adalah demokrasi level kerakyatan. Soekarno merasakan bahwa desa merupakan manifestasi demokrasi yang langsung dan bebas. Pilihan lurah pada masa lalu, forum rembug desa, pos kamling, lumbung desa, dan pendopo desa merupakan manifestasi langsung kemerdekaan rakyat desa dalam menentukan arah politik dan ekonomi desanya. Namun Soekarno kurang melihat bahwa pada lapisan atas kekuasaan, yaitu para raja, priyayi, dan bangsawan, justru terjadi arah yang berbalik. Penguasa tertinggi tersebut menjadikan rakyat sebagai komoditas ekonomi dan kekuasaan semata. Mereka harus sendiko dhawuh dan tunduk dengan segala perintah dan hukumannya.

Pada sila terakhir: Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia, Soekarno jelas sedang berimajinasi tentang sebuah bangsa yang ideal. Artinya sila kelima ini merupakan manifestasi dan tujuan sebuah bangsa di mana konsep pemerataan pendapatan dan kesempatan jelas tidak akan pernah ditemukan dalam ruang sejarah nenek moyang kita, kecuali dalam lingkup kewilayahan yang kecil dalam bentuk masyarakat peladang. Soekarno jelas sekali membaca kitab-kitab sosialis dan marxis baik dari Karl Marx sendiri, Gramsci, Lenin, Mao, maupun sosiolog semacam Comte, Weber, Spencer, dan sebagainya, yang akhirnya melahirkan konsepsi Marhaenisme. Jelas sekali, keadilan yang ditawarkan Soekarno bukanlah sebentuk pengulangan asas sama rata seperti yang dilakukan kaum primitif negeri ini di masa lalu, melainkan rasa keadilan yang sudah diteorisasikan model pakar sosialis barat sehingga menghasilkan pemerataan bagi kaum proletar, rakyat, dan kaum terpinggirkan di Indonesia modern.

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Sebagai sebuah mahakarya seseorang, jelas sekali Pancasila memiliki titik kelemahan yang seharusnya memberikan ruang terbuka untuk dikritisi dan dianalis secara ilmiah. Pancasila bukanlah kumpulan nilai-nilai yang terbakukan begitu saja, melainkan membutuhkan sentuhan dan sentilan mengingat kebutuhan jaman menyebabkan nilai-nilai yang mendasarinya terkesan kaku dan sulit dipahami dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada.

Namun demikian, ketika Pancasila sudah dinyatakan sebagai doktrin negara, maka kesempatan untuk membukakan pintu diskusi seakan-seakan sudah tertutup rapat. Peluang untuk mendebatkan kembali kebutuhan politik sudah menjadi impian semu yang tak mungkin tertampung dalam mewujudkan ideologi yang sempurna.

Sebagai landasan idiil jelas sekali Pancasila menjadi pondasi bangsa untuk mendasari arah dan langkah bangsa ini mau dikemanakan. Pancasila menjadi paket visi sebuah bangsa yang di dalamnya termuat tujuan dan siap dibreak-downkan menjadi misi, program, dan kegiatan bangsa setiap periode dan masa.

Periode kepemimpinan Suharto pernah berupaya menginterpretasikan Pancasila menjadi ideologi yang secara tehnis mudah diaplikasikan pada setiap ornamen masyarakat Indonesia. Pancasila dipecah kembali menjadi 38 butir Pancasila yang menjadi sarana pemahaman sila demi sila. Suharto menamakan medium pengindoktrinasian ini sebagai P4 atau Eka Prasetya Pancakarsa yang secara rutin diberikan kepada elemen masyarakat agar tidak terjadi lagi model penafsiran Pancasila yang terlalu lincah sehingga membahayakan negara dan bangsa.

Sebaliknya, pada masa pascareformasi, Pancasila seakan mengalami fosilisasi. Pancasila tak lagi sakti, terbuang, dan terpojokan sebagai ideologi yang tak lagi penting. Seolah terdapat titik kejenuhan masyarakat Indonesia terhadap pancasila yang terlalu mendominasi kehidupan pada periode sebelumnya. Kondisi politik kenegaraan yang berubah, mempengaruhi pula loyalitas masyarakat terhadap Pancasila. Partai-partai politik berlomba untuk mengubah ideologi dan dasar kepartaiannya dengan garis politik keagamaan atau sektarian lainnya yang sesungguhnya jelas membahayakan keutuhan NKRI itu sendiri.

Mengapa bisa terjadi demikian? Sangat mungkin Pancasila tidak dipahami sebagai ideologi yang elastis dan mampu menangkapi perubahan global. Pancasila hanya sebagai ideologi tertutup yang tidak memudahkan bagi pemimpin bangsa untuk menerapkan kebijakan yang mudah dipahami masyarakat terbawah. Upaya mensakralkan Pancasila dianggap mengelabui esensi Pancasila sendiri. Pancasila menjadi kaku, baku, dan tidak memberikan ruang tafsir yang memihak kepentingan terpenting dari kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan pembangunan.

Oleh karena itu, harus ada ketegasan pemerintah untuk mencoba merenungkan esensi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam perspektif ilmiah. Apakah memang benar Pancasila untuk kurang mampu diterapkan pada situasi dan kondisi masyarakat tertentu dikarenakan masyarakat tersebut mempunyai ruang sejarah yang tak mungkin mereka memahami Pancasila sebagai kumpulan nilai budaya dasarnya. Jika terjadi pergerakan dan perubahan nilai pada level kesukuan dan tingkat kebudayaan masyarakat yang berbeda, mengapa justru mereka tidak mempergunakan Pancasila sebagai medium untuk memahami perubahan sosial yang terjadi. Mengapa mereka justru mencari nilai-nilai lain yang lebih absurd sehingga bangsa ini justru tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu.

Faktanya memang pancasila adalah sekumpulan nilai universal yang diaplikasian secara politik sebagai ideologi bangsa. Artinya, Pancasila sejatinya kumpulan konsep nilai universal yang dirangkum sebagai ideologi baru dan identitas nasional sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Meskipun nilai-nilai yang mendasarinya adalah nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual yang ideal dan universal, namun sesungguhnya Pancasila sangat pantas mendasari kemauan politik dari pemerintah dan rakyat Indonesia.

*Mahasiswa PGSD IKIP PGRI Semarang Semester 2.

Baca Selengkapnya Klik disini !