forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Kamis, 19 Februari 2009

NUANSA PEMARGINALAN MASYARAKAT PESISIR DALAM JEJAK–JEJAK PENINGGALAN HINDU-BUDHA DI KABUPATEN KENDAL*

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah
Masalah kepekaan pemerintah daerah dalam melihat keberadaan Benda Cagar Budaya (BCB) terkadang tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya. Banyak terlihat beberapa daerah yang sudah memiliki prasarana dan daya dukung dalam pemeliharaan BCB, namun demikian ada pula beberapa daerah lain yang justru belum memiliki sarana dan prasarana pemelliharaan BCB yang ideal.
Di Kabupaten Kendal sebagai misal. Daerah yang cukup kaya pangan ini ternyata memiliki kandungan BCB dari masa lalu kerajaan Hindu-Buddha. Banyak candi, arca, serta lingga-yoni yang terdapat di kawasan atas kabupaten ini. Akan tetapi pemerintah daerah belum memiliki keseriusan untuk mengatasi bagaimana benda-benda itu bernilai guna tinggi bagi generasi sekarang. Pemerintah daerah belum melakukan pemeliharaan yang optimal. Benda bersejarah itu dibiarkan tergeletak begitu saja hingga banyak bahan materi yang diambil penduduk setempat untuk keperluan pondasi rumah, dapur, atau mistik.
Amat sayang sekali perlakuan pemerintah daerah yang kurang memiliki kepekaan sejarah dan budaya seperti itu. Di sisi lain peninggalan–peninggalan yang berada di Kabupaten Kendal sampai sekarang tak banyak orang yang tahu. Mengingat sulitnya mencari sumber tertulis yang dapat menjelaskan tentang peninggalan Hindu-Budha tersebut. Dalam pengungkapannya pun hanya dapat ditinjau dari sisa – sisa bangunan candi–candi dan arca–arca yang ada.
Berdasarkan penelitian–penelitian yang pernah dilakukan dikawasan kabupaten kendal, tinggalan arkeologinya kebanyakan berupa temuan lepas, ada beberapa yang bersifat monumental, itupun hanya tinggal sisa – sisanya. Dengan kata lain, kawasan kabupaten kendal adalah kawasan marginal pada zaman Hindu–Buddha pada abad VII hingga X Masehi (Tjahjono, 2000: 1).
Sebagai salah satu kawasan pinggiran dari Kerajaan Mataram kuno. Tentu mendapat pengaruh – pengaruh pada kekuasan bercorak Hindu-Budha tersebut. Seperti dalam bentuk peninggalan – peninggalan yang ditemukan, seperti adanya bangunan candi dan diketemukannya arca serta Yoni yang melambang kejayaan kerajaan Hindu-Budha pada saat itu, yaitu Kerajaan Mataram terletak poros Kedu-Prambanan. Untuk itulah perumusan masalah dalam karya ilmiah ini, dirumuskan sebagai berikut:
1. Peninggalan – peninggalan masa Hindu-Buddha apa sajakah yang ada di kawasan Kabupaten Kendal?
2. Mungkinkah bentuk peninggalan Hindu – Buddha di Kabupaten Kendal memiliki kesan dan nuansa peminggiran budaya masyarakat pesisir pada masa itu?
3. Bagaimanakah aspek pengaruh kekuasaan Hindu-Buddha terhadap eksistensi masyarakat pesisir saat itu jika dilihat dari peninggalan yang tersisa?

B. Tujuan Dan Manfaat
1. Tujuan
Dalam penelitian ini, sebagai sasaran jangka pendeknya bertujuan untuk:
a. Mengetahui peninggalan–peninggalan yang ada dikawasan Kabupaten Kendal.
b. Mengetahui bentuk peningalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal
dan nuansa peminggiran budaya masyarakat pesisir.
c. Mengetahui pengaruh peninggalan Hindu-Budha terhadap eksistensi masyarakat pesisir.

2. Manfaat
Dengan adanya karya ilmiah yang telah saya buat, semoga dapat menambah referensi sejarah di dalam dunia pendidikan. Semoga pula para pembaca dapat menambah pengetahuannya tentang peninggalan– peninggalan dan nuansa kehidupan masyarakat pesisir di masa Hindu-Budha di Indonesia khususnya di wilayah Kabupaten Kendal. Oleh karena itu dengan hadirnya tulisan ini para pembaca dapat lebih menjaga peninggalan–peninggalan sejarah dan purbakala di berbagai wilayah manapun tidak hanya di Kabupaten Kendal.

C. Metode Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka metode yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu memakai berbagai buku referensi untuk mendukung terwujudnya karya ilmiah ini. Oleh karena sulitnya untuk mencari data yang komplit dan terperinci dan waktu yang kurang memadai untuk melakukan penelitian sesuai dengan judul yang saya buat, maka penulis melakukan kajian beberapa referensi yang mendukung tulisan ini agar kandungan isinya cukup dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun srjumlah buku yang menjadi referensi telah ada di daftar pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Agama dan Budaya Hindu–Buddha di Kabupaten Kendal
Perkembangan agama Kabupaten Kendal, dimulai dari singgahnya para pemuka agama Hindu-Budha di Jawa Tengah yang akhirnya membangun tempat peribadahan di lereng Dieng. Tempatnya yang tinggi dipercaya dapat memperdekat diri mereka dengan sang dewa. Dalam jangka waktu yang singkat muncullah Kerajaan Mataram kuno yang berporos pada Kedu-Prambanan, di mana mengalami puncak kejayaan pada abad VII sampai dengan X M (Bosch, 1974: 19). Bukti masa kejayaan itu adalah banyaknya bangunan monumental yang dapat dinikmati para wisatawan sekarang seperti: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Dieng, Candi Plaosan, Candi Sewu, dan kompleks Candi Gedung Songo (Tim Penulis, 1993: 7).
Sebagai pusat kekuasaan, kerajaan Mataram Kuno tentu saja mulai mengembangkan budaya dan agamanya ke wiilayah lainnya termasuk kabupaten Kendal. Penyebaran Hindu dan Buddha tidak membuat wilayah kabupaten berkembang dan menjadi satu daerah yang dipertimbangkan posisinya secara politik, ekonomi, dan militer. Masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Kendal dianggap masyarakat yang masih bar-bar dan memiliki corak pemerintahan model pedesaan yang sangat Indonesia sekali (Casparis, 1986: 11-13).
Pemimpin yang mendiami wilayah Kabupaten Kendal bukanlah figur pemimpin yang setara dan sebanding dengan penguasa yang tinggal di Poros Kedu-Prambanan. Mereka adalah pemimpin lokal yang mempunyai wewenang politik sangat kecil bagi eksistensi kerajaan Mataram Hindu. Mereka adalah para Rakai yang berkuasa secara adat dan bukan sebagai pegawai raja (Rangkuti, 1994: 10).
Para penguasa kerajaan Mataram Kuno menganggap kawasan para rakai itu hanyalah sumber pangan yang menunjang perekonomian inti masyarakat Kedu-Prambanan. Oleh karena dukungan dari kawasan inti termasuk dari penguasa lokal Kabupaten Kendal, maka mereka mempunyai daya kemampuan untuk membangun tempat-tempat ibadah yang megah dan besar. Sebaliknya, bagi daerah terpinggirkan tersebut hanya menjadi pelengkap penderita saja. Daerah utara seperti Kendal tidak mampu membangun Candi-Candi besar karena kurangnya lobi politik, ekonomi, dan agama. Menurut Payntor (Tjahjono, 2000: 5), beberapa benda seni yang terdapat kawasan selatan Kendal lebih bercorak sederhana dan berkualitas rendah.

B. Posisi Geografis Kabupaten Kendal
Wilayah Kabupaten Kendal luasnya adalah 1.002,23488 Km yang dibagi dalam 19 wilayah kecamatan dan 235 wilayah desa/kelurahan. Batas-batas wilayah Kabupaten Kendal meliputi sebelah utara laut Jawa, sebelah timur Kotamadya daerah tingkat II Semarang, sebelah selatan Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, dan Kabupaten daerah tingkat II Temanggung, serta sebelah barat Kabupaten Daerah Tingkat II Batang
Dari 19 wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Kendal yang memilliki tinggalan arkeologis antara lain di Kecamatan Boja, Limbangan, Pegandon, Sukorejo, dan Weleri.

C. Peninggalan–Peninggalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal
Dari studi pustaka yang saya lakukan, dapat diketahui beberapa peninggalan–peninggalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal , seperti yang diutarakan Baskoro Daru Tjahjono ( 2000:10-12), Indra (2005: 3-5), dan Muslichin (5-6) sebagai berikut:
1. Kecamatan Boja
Desa Karang Manggis, Dukuh Siroto: dihalaman rumah bapak Maryadi ditemukan Yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi artefak tersebut kurang terawat, polos tanpa hiasan. Situs ini berada pada ketinggian 405 m dari permulaan laut, dilereng barat laut gunung ungaran.
Desa Campurrejo, Dukuh Kenteng: di kebun bambu milik bapak Supari terdapat sebauh Yoni dan peripih lengkap dengan tutupnya. Benda – benda tersebut terbuat dari bahan batu andesit. Situs ini diberi keliling berupa tembok, namun kondisinya tidak terlalu terawat. Yoni bentuknya sederhana tanpa hiasan, teknik pekerjaannya pun kasar, cerat sebagian patah. Peripih mempunyai 17 lubang, satu lubang diantaranya di tengah. Situs ini terletak pad ketinggian 290m dari permukaan laut, dileteng barat laut gunung Ungaran.

2. Kecamatan Limbangan
Desa Gonoharjo, Dukuh Nglimut: Di kebun milik ibu Urip Suisman ditemukan sisa – sisa bangunan candi, diantaranya terdapat sebuah Yoni, kemuncak, struktur batu candi, balok – balo batu candi, antefik, dan peripih. Kondisi Yoni relatif bagus dan utuh, diatas cerat terdapat hiasan kura – kura dan naga sedang diatasnya terdapat hiasan kala. Situs ini terletak pada ketinggian 660 m dari permukaan laut, di lereng barat laut gunung Ungaran.
Desa Gonoharjo, Dukuh Segono: ditengah persawahan ditemukan sisa – sisa tinggalan arkeologis yang berupa fragmen arca ganesya, fragmen arca agastya fragmen siwa, fragmen kemuncak, dan lingga semu. Kondisi situs tidak terawat dan rusak. Benda – benda tersebut terbuat dari bahan batu andesit. Teknik pekerjaan kasar dengan hiasan sangat sederhana. Situs ini terletak pada ketinggian 600 dari permukaan laut, di lereng barat laut gunung Ungaran.

3. Kecamatan Pegandon:
Desa Winong, Dukuh Krajan: Di pekuburan umum desa Winong ditemuka sebaran fragmen bata kuno berukurang besar. Menurut informasi penduduk disitus ini pernah ditemukansebuah fragmen arca agastya. Arca tersebut kemudian disimpan di museum Ronggowarsito semarang. Sisa – sisa bata tersebut sebagian dipergunakan sebagai umpak cungkup. Situs ini berada pada ketinggian 40 m dari permukaan laut.

4. Kecamatan Sukorejo:
Desa Sukorejo, Dukuh Kauman: Disebuah sungai kecil yaitu sungai beruk ditemukan sebuah fragmen arca nandi tersebut dari batu andesit. Arca tersebut tidak terawat dan digunakn sebagai alas berdiri orang yang mandi di pancuran. Arca tersebut bagian kepalanya hilang. Teknik pemahatannya kasar. Lokasi arca tersebut berada pada ketinggian 550 m dari permukaan laut.
Desa Purwosari, Dukuh Kenteng Sari: di sekitar halaman rumah bapak Kromoratman terdapat balok – balok dan sisa saluran air dari bahan andesit. Sisa - sisa tinggalan arkeologis tersebut sebagian besara digunakn oleh penduduk setempat untuk pondasi rumah, tangga naik ke pintu rumah, lantai rumah, talut dan lain – lain. Menurut informasi penduduk sekitar, di dekat rumah bapak Kromoratman tersebut pernah di temukan jaladwara, makara, dan arca agastya. Benda – benda tersebut sekarang tersimpan di museum Ronggowarsito semarang. Lokasi tersebut berada pada ketinggian 1180 m dari permukaan laut. Di lereng bawah gunung Perahu.

5. Kecamatan Weleri:
Desa Panarukan, Dukuh Karangtengah: Dipekarangan milik bapak Musafek ditemukan sebuah Yoni terbuat dari batu andesit. Yoni separuh bagian terpendam tanah. Kondisinya tidak terawat, cepat patah, penampang atas pecah. Teknik pengerjaan kasar dan tidak berhias. Situs ini berda pada ketinggian 60m dari permukaan laut, berjarak kurang lebih 7 km dari garis pantai.

D. Bentuk Peninggalan Hindu-Budha dan Nuansa Peminggiran Budaya Masyarakat Pesisir
Dari studi pustaka yang saya lakukan, dapat diketemukan bahwa bentuk peninggalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal berupa candi, yoni, dan fragmen arca seperti: arca Ganesya, arca agastya dan arca siwa. Tetapi disayangkan, Kabupaten Kendal yang merupakan kawasan yang luas menunjukkan bahwa persebaran tinggalan arkeologinya tidak terlalu padat dan tidak merata seperti yang dikatakan Baskoro Daru Tjahjono ( 2000: 26-27). Kabupaten Kendal yang terbagi dalam 17 kecamatan, hanya ada 5 kecamatan yang memiliki tinggalan arkeologi, yaitu kecamatan Boja, Limbangan, Pegandon, Sukorejo dan Weleri. Hal itu terkait dengan latar historis di mana wilayah Kabupaten Kendal mengalami peminggiran pada masa kerajaan Mataram antara abad VII s.d X Masehi. Bukti pernyataan itu didasarkan pada sedikitnya peninggalan yang berada pada kawasan Kabupaten Kendal yang notabene adalah daerah pesisir. Bukti lainnya adalah adanya kemungkinan kebijakan pemerintah pada masa itu yang pusat pemerintahannya berada pada poros Kedu-Prambanan. Maka yang paling banyak tinggalan sejarah dan arkeologisnya adalah pada kawasan tersebut. Candi Borobudur, Prambanan, Kalasan, Dieng, dan Kompleks Candi gedung Songo memberikan tengara bahwa kawasan pinggiran seperti Kendal hanyalah sekrup pendukung bagi perekonomian dan perpolitikan Kerajaan Mataram Kuno.
Adanya patung Ganesha dan lingga-yoni di kawasan Kendal bagian atas merupakan suatu bukti bahwa Kendal dipinggirkan secara sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kendal tidak memiliki satu bentuk Candi yang cukup besar menjadi tambahan bukti tentang kemarginalan wilayah ini dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno.

E. Peninggalan Hindu-Budha dan Peminggiran Bagi Eksistensi Masyarakat pesisir
Ditemukannya berbagai macam tinggalan sejarah dikawasan Kabupaten Kendal, mengungkapkan berbagai hal yang terjadi pada sistem politik masa kerajaan kuno. Upaya peminggiran Kendal menjadi satu bukti konkrit di mana Kerajaan Mataram Kuno bersifat melanjutkan pola kekuasaan dan pemerintahan jauh sebelum masuknya agama Hindu-Buddha di Jawa Tengah (Sedyawati, 1986: 35). Pusat kerajaan yang berada pada poros Kedu-Prambanan membuat wilayah Kabupaten Kendal yang merupakan daerah pesisir mengalami pemarginalan. Tinggalan sejarah yang sedikit di wilayah Kabupaten Kendal dari pada yang berada di daerah tinggi dan poros Kedu-Prambanan, mengasumsikan bahwa kawasan pesisir pada masa tersebut seperti tak dianggap penting bagi pemerintahan terdahulu.
Dengan diketemukannya tinggalan sejarah itu juga berarti menggambarkan keadaan masyarakat pesisir jaman dahulu yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Masyarakat Kendal mempunyai posisi yang lebih rendah dibandingkan masyarakat inti yang terletak di Poros Kedu-Prambanan. Pencitraan seperti itu ironisnya kembali terjadi ketika pusat kerajaan Mataram Islam ada di kawasan Surakarta yang membagi wilayah menjadi Kutagara, Negara Agung, Pasisiran, dan Mancanegari.
Namun demikian, perubahan struktur kemasyarakaat yang cepat di era selanjuutnya memberikan banyak perubahan bagi perkembangan masyarakat pesisir khususnya Kendal ini. Kabupaten Kendal mulai diakui eksistensi dan keberadaan ketika Tumenggung Bahurekso mendapat kepercayaan dari Sultan Agung untuk memimpin ekspedisi perlawanan terhadap Benteng Batavia tahun 1628 M (Wasino, 2006: 5-6).


BAB III

PENUTUP


A. Simpulan
Sejarah perkembangan agama dan budaya Hindu-Buddha di Kabupaten Kendal telah ada pada abad VII s.d X Masehi yaitu pada saat adanya kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah. Ciri utama adanya pengaruh budaya Hindu-Budha di Kabupaten Kendal ditunjukan oleh diketemukannya tinggalan sejarah yang berupa bangunan – bangunan suci seperti candi, arca, yoni dan sebagainya. Tinggalan sejarah yang kebanyakan berada pada daerah tinggi seperti di Kecamatan Boja dan Limbangan mengungkapkan bahwa telah terjadi pemarginalan terhadap wilayah pesisir yaitu Kabupaten Kendal. Wilayah Kabupaten Kendal yang memang terdapat pada daerah pesisir telah diasumsikan sebagai wilayah yang kurang penting bagi pemerintahan pada saat itu.
Namun, dengan adanya tinggalan sejarah tersebut dapat menggambarkan eksistensi masyarakat pesisir yang dianggap kurang penting pada saat itu kepada masyarakat sekarang. Bukti arkeologis itu juga menggambarkan kehidupan masyarakat pesisir jaman dahulu yang jauh dari pusat pemerintahan yaitu pada poros Kedu-Prambanan.


B. Saran
Penelitian yang berkaitan dengan kawasan marginal ( pinggiran ) masih jarang dilakukan. Pada umumnya penelitian terfokus pada kawasan pusat-pusat budaya. Oleh karena itu seharusnya penelitian yang berkaitan dengan kawasan atau budaya marginal masih perlu dikaji lebih dalam dan lebih dilakukan di berbagai kawasan yang dianggap marginal. Dalam penelitian yang dilakukan dapat ditemukan berbagai peninggalan yang telah rusak, tidak terawat dan bahkan sebagai pondasi rumah pada jaman sekarang. Oleh karena itu dapat disarankan perlunya penyuluhan bagi masyarakat disekitar situs untuk ikut menjaga kelestarian situs tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Data Pokok untuk Pembangunan daerah Tingkat II Kendal, Kantor BAPPEDA Kabupaten daerah Tingkat II Kendal.

Bosch, F. D. K. 1974. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Indra. 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Makalah
Lokakarya Permuseuman Kabupaten Kendal 15-17 Juni 2005.
Tidak diterbitkan.

Istiyarti dkk. 1995. Menapak Jejak Masa Sejarah (Hindu, Buddha dan
Islam). Semarang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa
Tengah Depdikbud Jateng.

Muslichin. 2007. Identifikasi Benda Cagar Budaya di Wilayah Kabupaten
Kendal. Makalah Mata Kuliah Perspektif Sejarah Pascasarjana
Unnes. Tidak diterbitkan.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia I.
Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka.

Rochani, Ahmad Hamam. 2003. Babad Tanah Kendal. Kendal:
Intermedia Paramadina.

Suhartati, Sri. 1993. Petunjuk Singkat Objek Wisata Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Suhartati, Sri. 1994. Petunjuk singkat Objek Wisata Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Tjahjono, Baskoro Daru. 2000. Laporan Penelitian Arkeologi Budaya Marginal Masa Klasik di Jawa Tengah Bagian Barat Laut. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Wasino. 2006. Membaca Ulang Momentum Peristiwa Sejarah. Makalah
Seminar Hari Jadi Kabupaten Kendal 2006. Tidak diterbitkan.



*Naskah finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Benda Cagar Budaya Se-Jawa Tengah tahun 2008 Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. Penulis: Nastiti Robbani, pelajar SMA 2 Kendal Program IPA.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda