forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Jumat, 20 Februari 2009

GENDER DAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH*

Meski kita sudah memasuki era globalisasi, pendidikan berwawasan gender kerap luput dari perhatian para guru dalam mendidik siswanya di di sekolah. Pembelajaran berbasis gender dianggap satu wilayah yang kurang jelas dan gelap. Guru dalam pembelajaran kelas tidak pernah memberikan contoh yang konkrit bagaimana dan seperti apa hingga anak didik bisa mengetahui dan mempunyai pandangan sendiri tentang gender. Mengapa bisa demikian?
Masih sering terdengar bahwa meski masyarakat Indonesia yang mempunyi latar pendidikan tinggi terkadang mereka belum memiliki kesadaran gender yang sesuai dengan apa yang diharapkan selama ini. Gender dianggap sesuatu yang mengada-ngada dan bahkan tidak sesuai dengan setting budaya yang masih menganggap segala sesuatu bersifat patriarkhis. Padahal kalau kita mau jujur usaha pemerintah sendiri dalam hal ini sudah begitu maksimal. Pemerintah melalui departemen atau dinas terkait sudah memberikan himbauan tentang betapa perspektif gender dalam kehidupan bermasyarakat yang kondisi sosial budaya Indonesia yang berbeda-beda sangatlah penting.
Salah satu bidang yang dibidik sebagai akar permasalahan mengapa gender kurang begitu menjadi urgensi persoalan selama ini adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan formal adalah pintu masuk utama seorang anak mengenal gender. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, posisi dan peran guru sangatlah penting untuk mensosialisasikan persoalan gender pada siswa sekolah dasar dan menengah. Jika orang tua karena pendidikan yang rendah dianggap gagal memberikan penyampaian pesan gender dalam benak anak-anak mereka, maka guru di dalam pembelajaran kelas dapat memberikan alternatif peran untuk mengenalkan tentang bagaimana dan seperti apa masyarakat terbedakan antara laki-laki dan perempuan secara historis dan kultural yang mempengaruhi peran-peran domestik dan publik mereka. Namun sayangnya peran pokok guru dalam hal ini sering pula tidak optimal karena faktor budaya patriarkhis yang terlalu kuat serta interpretasi agama yang cenderung keliru memposisikan perempuan dalam ranah publik.
Oleh karena itu, agar seorang guru mempunyai titik pijak yang sama untuk menafsirkan persoalan gender tersebut maka di bawah ini ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan:
Pertama, pada prinsipnya pemberian sosialisasi gender dapat dimulai dalam bentuk pelajaran apa saja. Pada pelajaran yang berbau eksakta tentu saja pesan gender harus masuk secara halus, tersamar, dan terselubung melalui simbol-simbol yang tidak mengandung dominasi laki-laki. Pada pelajaran ilmu sosial, gender dapat dimasukkan sebagai materi utuh, sebagian, atau terselubung yang didasarkan atas proporsi dan kebutuhan yang ada.
Kedua, guru harus memasukkan materi gender dalam setiap rencana pendidikan yang ada. Materi gender atau bernuansa gender tetap harus dimasukkan dalam rencana pendidikan sebagai bentuk konsistensi pelaporan tugas secara tertulis.
Ketiga, secara sosial budaya, tata tertib di sekolah maupun tata aturan tak tertulis yang ada di kelas maupun di sekolah diupayakan untuk pembentukan kesadaran siswa akan gender. Terkadang ada beberapa poin dalam tata tertib yang sengaja melanggengkan struktur kelaki-lakian. Peraturan atau norma mengenai pembentukan struktur pengurus kelas, regu piket kelas, serta pembagian tugas sehari-hari di kelas juga sering dilakukan atas persepsi perbedaan laki-laki dan perempuan. Misalnya tugas menyapu kelas adalah perempuan dan laki-laki hanya bertugas menghapus papan tulis. Papan tulis dalam hal ini simbol publik karena peran dan pekerjaannya lebih nampak di depan bapak atau ibu guru yang sedang mengajar, sedangkan menyapu di dilakukan pada saat pagi hari, sebelum bel masuk, sepi, dan menjadi simbol pekerjaan domestik karena tidak terlihat oleh bapak atau ibu guru yang mengajar.
Meski tidak semua sekolah berani dan mencoba melakukan perubahan hal itu karena pertimbangan budaya dan agama (barangkali), namun usaha untuk itu harus ada. Oleh karena itu setiap sekolah harus mencoba mewajibkan para wali kelas untuk melakukan perubahan struktur dan regu kerja. Anak didik perempuan bukan lagi diposisikan sebagai sekretaris dan bendahara yang pernah dikonstruksikan sebagai profesi dan posisi yang pantas bagi perempuan saja, namun cobalah untuk menggantinya menjadi ketua kelas dan jabatan-jabatan struktur kelas yang dulu menjadi monopoli kaum laki-laki.
Keempat, guru harus membedah materi pelajaran yang selama ini bias gender. Materi yang hanya melanggengkan posisi dan dominasi laki-laki atas perempuan bisa direduksi dan dihilangkan sama sekali. Contoh-contoh penggambaran yang terkait materi pelajaran yang memakai simbol laki-laki harus diseimbangkan dengan simbol-simbol keperempuanan. Foto-foto dalam pelajaran sosiologi tidak harus foto kaum laki-laki saja dengan atribut sosialnya. Tokoh-tokoh dalam karangan buku sastra yang dikaji tidak semata laki-laki dengan kuasanya saja. Materi pelajaran sejarah tidak hanya membahas masa lalu yang penuh dengan kekuatan dan kejayaan laki-laki saja atas nama politik, ekonomi, militer, dan agama. Sejarah tentang perempuan dan perjuangannya perlu ditampilkan.
Kelima, Kepala Sekolah mewajibkan setiap guru memasukkan pesan gender dalam pembelajaran mapel di kelas. Peran kepala sekolah sangat penting untuk memberikan paksaan pada bapak atau ibu guru memberikan semangat bergender ria. Kepala sekolah pun dapat memberikan contoh pelaksanaan gender secara konkrit. Misalnya pembentukan kepanitiaan sekolah untuk berbagai kegiatan haruslah menyeimbangkan peran guru laki-laki dan perempuan secara proporsional dan jelas. Ketidakmengertian gender kepala sekolah akan menciptakan budaya bias gender yang dapat merusak pemaknaan gender itu sendiri bagi siswa yang ada dis ekolah tersebut.
Apabila semua pertimbangan dan persyaratan di atas sudah dilakukan bukan berarti persoalan gender akan lebih jelas dan terselesaikan begitu saja. Keberhasilan mengenalkan perilaku sadar gender berhubungan pula dengan latar budaya dan pemahaman keagamaan yang melingkari lembaga persekolahan yang terkait. Oleh karena itu strategi yang sesuai untuk memberikan dan menanamkan nilai-nilai harmonisasi peran laki-laki dan perempuan itu adalah memberikan ruang diskusi yang intensif antara berbagai pihak agar menghasilkan formulasi pengkajian gender yang sesuai dengan harapan bersama.

*Artikel guru ditulis oleh Muslichin.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda