forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Rabu, 20 Mei 2009

ETIKA ORANG KALANG: PERSPEKTIF ANTROPOLOGIS*

Ketika remaja ada satu pengalaman berkesan yang telah memberikan inspirasi bagi saya untuk menulis tentang orang Kalang. Pernah suatu kali saya menyusuri desa demi desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Gemuh pada malam hari sehabis makan di warung makan Truko yang cukup terkenal. Ketika itu saya duduk di dalam mobil carry keluaran 1985 bak terbuka sambil menatap lalu lalang orang-orang dan sawah-sawah yang masih banyak ilalangnya dan dihinggapi suasana kegelapan karena masih mininya penerangan listrik. Namun, betapa agak terkejutnya saya ketika terpampang di depan mata banyaknya rumah yang cukup megah berdiri di sepanjang jalan antara Joho, Lumansari, Gebang, dan Krompakan. Rumah-rumah itu dibangun dengan pola arsitektur yang cukup modern, permanen, ada yang bertingkat, berhalaman luas, dan beberapa memiliki pagar yang cukup tinggi. Dengan situasi dan kondisi yang ada di tahun 1990-an itulah membuat saya yang melintasi rumah demi rumah tersebut menjadi terkagum-kagum dan bertanya-tanya: siapa pemilik rumah itu dan apa profesi pekerjaannya hingga bisa menjadi kaya seperti itu?

Pertanyaan yang melintasi di kepala saya itu tak lekas mendapatkan jawabannya. Lama pertanyaan itu mengendap tanpa harus berupaya untuk mendapatkan jawaban secepatnya. Ketika saya kuliah di fakultas sastra UNDIP pun, jawaban itu tak menanti untuk dikejar dan dikemukakan. Maklum saya mengambil spesialisasi sejarah Indonesia yang banyak berurusan dengan arsip kuno dan kemasa-laluan sebuah peristiwa. Kalaupun saya menyentuh kajian antropologi pun itu hanya sebatas kulitnya saja, dan berputar-putar pada hafalan teori-teori evolusi budaya, akulturasi, asimilasi, dan persoalan keprimitifan suatu masyarakat tanpa diimbangi dengan tugas yang menggigit dan menantang daya intelektualitas mahasiswa sejarah. Pokoknya segala sesuatu kajian disiplin baik sosiologi, psikologi, dan antropologi lebih pada pengenalan materi umum sebagai pelengkap analisa pada mahasiswa sejarah.

Lepas dari soal itu, sayup-sayup mulai sering sebenarnya saya mendengar bahwa pemilik dan penghuni rumah-rumah mewah di sepanjang jalan Gemuh itu adalah para juragan tembakau yang berhasil. Sayup-sayup lagi saya mendengar bahwa para juragan tembakau itu adalah orang-orang yang memiliki subetnis Jawa yang sama. Mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai wong Kalang.

Seiring perubahan waktu sedikit demi sedikit pertanyaan-pertanyaan yang terlontar itu segera mendapatkan jawabannya. Tentu saja saya belum langsung bisa menggabungkan fragmen-fragmen yang terpisah itu menjadi relasi sebab-akibat yang bisa ditarik menjadi formulasi jawaban yang saya cari selama ini. Secara tidak sengaja saya menemukan buku yang ditulis oleh Max Weber yang berjudul Protestant Ethic and Spirit Capitalism yang sudah sangat terkenal itu. Lewat buku terjemahaannya saya berusaha memahaminya dengan membacanya secara tuntas. Dari buku itu saya menyimpulkan bahwa agama Kristen Protestan yang berkembang di Eropa saat itu berperan besar dalam membawa perubahan sosial ekonomi masyarakat Eropa. Dengan etika yang lahir dan termaktub dalam ajaran protestan maka orang Eropa dapat menggali kesuksesan. Konsep kesederhanan, zuhud, dan asketik yang lahir dari penganut Protestan yang taat membawa kesejahteraan ekonomi dan pengumpulan materi yang mantap yang sesuai dengan prinsip dan etika agamanya.

Beberapa waktu kemudian, saya menemukan buku yang senada yang ditulis oleh Robert M. Bellah tentang Religi Tokugawa. Buku yang meneliti latar belakang agama Shinto sebagai pemicu perkembangan perekonomian dan kemajuan bangsa Jepang ini sangat menarik. Jika Max Weber menganggap bahwa etika Protestanlah yang membawa semangat pengumpulan modal orang-orang Eropa, maka Robert M. Bellah melirik bahwa etika Shinto yang diyakini membawa kemajuan bagi bangsa Jepang saat ini. Hampir dalam waktu bersamaan saya menemukan buku Mitsuo Nakamura yang berjudul tentang The Crescent Arise over The Banyan Tree: A Study Muhammadiyah Movement in A Central Javanese Town yang intinya buku itu meneliti tentang peranan etika Islam bagi pemantapan dan pemunculan gerakan Muhammadiyah yang disponsori oleh pengusaha-pengusaha muslim yang kaya. Mitsuo juga mengkritisi bahwa motivasi orang Islam mengumpulkan kekayaan materi adalah pengamalan dari keyakinan mereka terhadap syariat Islam terutama pasal tentang zakat dan pergi Haji. Kedua pasal ini yang membangkitkan semangat dan jiwa kewirausahaan orang-orang muslim untuk mengejar kekayaan materi.

Dari ketiga buku itu saya jadi termenung, apakah mungkin orang-orang Kalang yang kaya raya di sepanjang jalan Gemuh itu memiliki sistem etika yang mampu melahirkan kemauan dan kemampuan orang Kalang untuk memupuk modal sebesar-besarnya? Ataukah ada hal lain yang turut berperan dalam melapangkan jalan bagi mereka untuk mengejar kekayaan materi dan duniawai?

Seakan begitu mudah menghubungkan teori-teori besar yang digawangi oleh maestro sosiologi agama seperti Max Weber, Robert M. Bellah, dan Mitsuo Nakamura itu dalam situasi dan kondisi orang Kalang yang sedang saya bidik. Namun realitas di lapangan begitu sulit untuk mendalami apa sebenarnya yang menjadi hakikat orang-orang Kalang begitu giat bekerja dan memperkaya diri mereka. Teori-teori besar itu harus dikembangkan dan disesuaikan dengan konteks realitas antropologis yang berbeda. Penerapan inti teori yang sama tetapi jika menganalisisnya menggeneralisasikan saja nantinya akan timbul bias yang mengecewakan.

Dengan cukup hati-hati dan menguras daya tenaga yang cukup meletihkan, saya mencoba menggali informasi dari beberapa literatur yang ada di Perpustakaan Pusat Jakarta. Saya menemukan tentang sejarah orang Kalang yang ditulis oleh ahli-ahli yang berbeda-beda disiplin dan khasanah keilmuannya. Ahli-ahli seperti Altona, E. Keetjen, Gericke Roorda, Veth, Crawfurd, van Rigg, A.B. Meyer, Ten Kate sampai Thomas Raffles berbicara tentang orang Kalang dengan warna intelektualitas mereka. Dalam hal ini belum ada satu pun yang memberikan jawaban yang konkrit mengenai bagaimana sistem etika orang Kalang sehingga mampu memberikan kemauan kerja keras yang cukup tinggi. Untungnya, di saat kelelahan yang teramat sangat itu, saya menemukan buku Dennys Lombart yang didalamnya berbicara tentang keberadaan etika Kalang meskipun sangat tipis ulasan dan kajiannya. Dari salah satu artikel yang berada dalam Nusa Jawa Silang Budaya itu Lombart memotret bagaimana prestasi ekonomi orang Kalang pada masa penjajahan di Kota Gede Yogyakarta. Ditambah lagi, pada saat–saat kejenuhan datang saya menemukan buku Sulardjo Pontjosoetirto yang berjudul Orang-Orang Golongan Kalang yang cukup lengkap memotret orang Kalang dari sudut pandang historis dan antropologis.

Penjelajahan literatur saya rasa sudah lebih dari cukup. Kemudian saya memberanikan diri menemui orang-orang Kalang yang perawakan fisik dan penampilan sosialnya tidak ada bedanya dengan orang Jawa. Saya menemui beberapa orang Kalang yang ada di Desa Poncorejo, Pucangrejo. Krompakan, Lumansari, Botomulyo (Saribaru), Montongsari, Sendang Dawuhan, dan Getas Ombo. Merekalah yang saya rasa mengetahui hal-ikhwal tentang orang Kalang. Para informan kunci inilah yang mempunyai wawasan mendalam tentang etika Kalang dan ritual-ritual Kalang yang sangat unik bagi mata dan telinga orang Jawa pada umumnya.

Dalam studi lapangan yang teramat panjang saya menemukan sebuah kunci jawaban dari persoalan yang menggejolak saat saya remaja tersebut. Pertama, kerja keras dan kemauan orang Kalang untuk mengumpulkan materi berpusat pada sistem ritual mere-ka yang mau tidak mau mengharuskan mereka untuk memiliki materi yang serba cukup. Ritual yang memakan biaya besar dan wajib dilakukan orang Kalang itu menciptakan semangat dan motivasi untuk mengejar harta yang sebesar-besarnya. Orang Kalang diwajibkan untuk melaksanakan ritual Kalang Obong berkali-kali ketika menyangkut kematian orang tua, kakek-nenek, sanak saudara, dan kerabat yang dimilikinya. Satu kali ritual Mitongdino bisa menghabiskan biaya tiga juta sedangkan satu kali ritual Kalang Obong Mendhak bisa menghabiskan biaya standar delapan juta. Tidak hanya berhenti di situ saja, ritual Kalang lainnya siap dilakoni oleh mereka yang identik dengan Kalang Kamplong. Ritual selasa wage dan Jumat wage setahun tiga kali yang disebut gegalungan gegumbregan juga harus dilaksanakan secara serentak dan bersama-sama. Satu kali ritual setidaknya menghabiskan biaya tiga ratus ribu. Mau tidak mau sebagai orang Kalang mereka harus selalu menyediakan keperluan biaya tersebut dengan sebaik-baiknya. Adanya kebutuhan pembiayaan itu maka membuat orang-orang Kalang selalu bekerja sekuat tenaga untuk membiayai kebutuhan dan keperluannya.

Kedua, adanya sistem kepercayaan bahwa ritual Kalang Obong yang dilaksanakan sebaik-baiknya berarti dapat menggantikan kedudukan rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan ibadah Haji. Artinya sebagai orang Kalang yang beragama Islam mereka tidak diwajibkan pergi menunaikan ibadah haji jika mereka mampu melaksanakan ritual Kalang dengan sebaik-baiknya. Pada situasi sebelum tahun 1990-an anggapan dan keyakinan seperti ini masih berkembang begitu subur pada masyarakat Kalang, sehingga praktis kelebihan keuangan mereka hanya dialokasikan pada ritual Kalang yang biayanya masih di bawah biaya kewajiban menunaikan ibadah haji. Otomatis sisa biaya dan ongkos ritual diinvestasikan dalam bentuk usaha perdagangan, pertanian, dan transaksi-transaksi lainnya, meski ada pula yang digunakan untuk pembangunan rumah.

Ketiga, solidaritas orang Kalang yang kuat melahirkan kemajuan dan perkembangan ekonomi yang merata di antara orang-orang Kalang. Orang Kalang sangat memperdulikan sesamanya. Di antara mereka tercipta solidaritas sosial yang sangat tinggi. Dalam ritual Kalang yang dilakukan di sebuah desa, pasti akan dihadiri oleh sesama orang Kalang yang berasal dari desa-desa yang berjauhan. Adanya ruang bertegur sapa diantara anggota kelompoknya inilah yang melahirkan pengenalan dan intensitas solidaritas yang semakin mendalam. Akhirnya solidaritas yang kental itu melahirkan pengumpulan modal untuk membuat kontrak perjanjian usaha yang baru dan terus-menerus.

Keempat, pola perkawinan orang Kalang yang endogami melahirkan penyatuan kekuatan ekonomi yang teramat besar. Sesama orang Kalang adalah saudara yang diperkuat oleh solidaritas ekonomi melalui lembaga perkawinan yang menghubungkan keluarga Kalang yang berjauhan dalam suasana keluarga yang terus dibangun keutuhannya. Apa yang terjadi oleh satu keluarga Kalang akan cepat ditanggapi oleh keluarga Kalang lainnya yang ada di desa-desa sekitarnya.

Beberapa kesimpulan itulah yang memberikan jawaban atas apa yang terngiang dalam pikiran saya sewaktu masih duduk di bangku SMA. Saya tak menyangka bahwa posisi dan kedudukan orang Kalang yang dulu semasa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dilecehkan dan dipinggirkan ternyata pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an mampu memimpin perekonomian di Kabupaten Kendal melalui sektor pertanian tembakau. Etika Kalang yang terbentuk melalui prinsip-prinsip ritual yang harus dilakoninya telah membawa motivasi dan etos kerja yang sangat tinggi. Sampai sekarang mereka memberikan penanaman nilai pada anak-anak mereka tentang bagaimana sebuah pekerjaan itu harus segera dilaksanakan ketika menginjak usia tertentu. Pekerjaan di sektor swasta lebih diminati karena lebih mampu mendorong optimalisasi dalam bekerja daripada hanya menerima gaji setiap bulannya tanpa berpeluh dengan keringat dan kerja keras.¤

*Penulis: Muslichin, guru SMA 2 Kendal.

4 Komentar:

Blogger EllyZ mengatakan...

Ass.ww. Pak Muhlisin ada data mengenai sebaran orang Kalang di Kendal? Thanks

13 Agustus 2010 pukul 19.42  
Blogger FORUM GURU SEJARAH mengatakan...

kebetulan ada. silahkan saja berkunjung ke sekolah kami: SMA 2 Kendal jalan kelurahan Jetis Kota Kendal. Ada beberapa buku hasil kupasan dari peneliti Belanda sejak se-abad yang lalu, ada juga tulisan dari tesis teman-teman, skripsi, dan laporan penelitian dari balai arkeologi Jogja.

2 September 2010 pukul 13.15  
Blogger dyah nurwiyati mengatakan...

askum ....
pak mus ada foto-foto yang berhubungan dengan upacara atau ritual orang kalang nggak ??????
mksh ...

12 Maret 2011 pukul 03.55  
Blogger FIBRI IMAN SANTOSA mengatakan...

saya baru tahu tentang orang kalang ketika semester awal kuliah di jember dulu, waktu membaca buku teman saya yang jurusan pendidikan sejarah, tapi saya gak selesai bacanya.

23 Agustus 2011 pukul 16.20  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda