forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Kamis, 28 Mei 2009

TENTANG LOMBA BENDA CAGAR BUDAYA*

Dua jam yang lalu baru saja kami selesai mendiskusikan sebuah tema perbincangan yang agak aneh bagi guru sejarah. Kami yang antara lain terdiri dari Tuti Handayani, Siti Nikmatilatif, dan saya berbicara dari hati ke hati tentang bagaimana agar dalam rangka menghadapi event tahunan resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah berupaya untuk saling mengeluarkan uneg, keluh, dan ilmu masing-masing agar anak-anak SMA yang ada di kabupaten Kendal ini dapat unjuk gigi di forum bergengsi itu.

Keanehan kami ini berangkat dari background mengajar kami yang berbeda, terutama posisi dan status Siti Nikmatillatif selaku guru sejarah SMA Boja Kendal sedangkan saya dan Tuti Handayani adalah guru SMA 2 Kendal. Dalam sebuah lomba, harusnya kami berdiri di atas garis demarkasi masing-masing di mana saya harus melindungi kepentingan anak didik saya sendiri untuk memenangkan lomba itu dan bu Siti Nikmatilatif juga berdiri pada arah yang berlawanan sebagai musuh untuk bersaing dalam event itu.

Namun, kami tidak seperti itu. Kecintaan atas kabupaten Kendal menjadi pondasi kami untuk berbincang tentang apa yang terbaik bagi wilayah ini. Dengan kata lain, kami bersepakat untuk tidak memegang primordialisme yang sempit untuk menyombongkan sekolah kami masing-masing. Kami sepakat untuk saling berdiskusi memutuskan tema, judul, sudut pandang, format, sampai dengan masalah referensi agar tulisan anak didik kami lebih bisa menggigit dan kemedol pada event prestise tersebut.

Selama ini, setiap lomba apa saja yang digelar pada level Jawa Tengah seringkali peserta lomba yang berasal dari kabupaten Kendal harus menerima pil kekalahan sebagai juara harapan, nominator, bahkan peserta partisipan saja. Mengapa mereka mengalami kekalahan seperti itu yang harusnya tidak menjadi nasib yang harus diterimanya?

Begitu pula yang dialami peserta lomba yang terkait dengan bidang kesejarahan, kepurbakalaan, dan legenda daerah. Hampir semua peserta yang berasal dari kabupaten Kendal pulang gigit jari tanpa mendapatkan apa yang menjadi obsesinya yaitu juara! Atas dasar itulah untuk menghadapi lomba BCB kali ini kami sepakat untuk bertempur lewat diskusi yang santun antar pembimbing agar bisa menemukan titik-titik tertentu yang bisa kami gali dan telusuri untuk dikembangkan menjadi tema tulisan bagi anak-anak kami. Ibarat orang sedang falling in love, kami saling memberi dan menerima. Kami menjauhkan sifat egoisme dan keakuan yang tak patut dipertonjolkan. Lalu, kami sepakat dengan tema yang berseberangan agar tidak terjadi overlapping kajian sehingga malah nanti muncul judul ganda yang tidak mungkin dimenangkan oleh dewan juri.

Dalam pertemuan yang tidak difasilitasi MGMP itu kami juga menganalisis tema-tema yang akan dilirik juri. Kami melihat kembali pada event yang sama pada tahun sebelumnya di mana dewan jurinya adalah Drs. Eko Punto H., M.Hum (UNDIP), mbak Ucik (UNNES), dan Prof. Dr. Wasino, M.Hum. (UNNES), maka kami menganalisis bahwa tema-tema yang terkait dengan persoalan arsitektur masa klasik Hindu-Buddha itulah yang akan menjadi finalis-finalis seperti halnya yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Lalu, kami menengok BCB apa saja yang terkait dengan aspek peninggalan Hindu-Buddha yang ada di Kabupaten Kendal ini. Selama empat jam akhirnya kami menemukan sebuah jawaban. Melalui referensi yang tersisa, kami menemukan bahwa ada BCB yang patut dijadikan tema lomba. Pertama, kami akan mengangkat aspek politik Hindu-Buddha seperti yang tercermin dalam situs Candi Argokusumo Limbangan. Kedua, kami juga setuju untuk mengotak-atik aspek pendidikan/pitutur yang tergores lewat relief bangunan bekas candi di kabupaten Kendal ini. Ketiga, kami akan mengangkat persoalan tehnik arsitektur bangunan kuno Hindu-Buddha yang berserakan di Limbangan, Boja, Sukorejo, Winong, dan Weleri. Kelima, kami juga menyiapkan cadangan judul tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap Benda Cagar Budaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Dan terakhir, kami menyiapkan cadangan kedua yaitu tentang peran museum bagi pembentukan kesadaran sejarah dan masa lalu masyarakat di Kabupaten Kendal ini. Namun agaknya yang terakhir ini memiliki kendala yang cukup berat di mana wilayah kabupaten Kendal belum memiliki satu museum pun.

Sebuah pertemuan tanpa snack dan minuman pada akhirnya menghasilkan sebuah kesapakatan yang cukup berarti. Kami bertiga menelurkan hasil yang sederhana namun sebenarnya menyimpan magma yang luar biasa. Kami berharap dengan dedikasi guru-guru sejarah yang tetap ikhlas dan santun mengajar ini mempunyai andil cukup bermakna bagi peningkatan prestasi anak didik di bidang lomba kepenulisan. Namun usaha ini harus juga terkait dengan anak-anak peserta lomba BCB itu sendiri. Jika mereka mau berusaha keras, tanpa lelah, dan melakukannya berdarah-darah pasti kemenangan yang memperindah nama baik Kendal ini akan tercapai.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda