forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Jumat, 20 Februari 2009

GENDER DAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH*

Meski kita sudah memasuki era globalisasi, pendidikan berwawasan gender kerap luput dari perhatian para guru dalam mendidik siswanya di di sekolah. Pembelajaran berbasis gender dianggap satu wilayah yang kurang jelas dan gelap. Guru dalam pembelajaran kelas tidak pernah memberikan contoh yang konkrit bagaimana dan seperti apa hingga anak didik bisa mengetahui dan mempunyai pandangan sendiri tentang gender. Mengapa bisa demikian?
Masih sering terdengar bahwa meski masyarakat Indonesia yang mempunyi latar pendidikan tinggi terkadang mereka belum memiliki kesadaran gender yang sesuai dengan apa yang diharapkan selama ini. Gender dianggap sesuatu yang mengada-ngada dan bahkan tidak sesuai dengan setting budaya yang masih menganggap segala sesuatu bersifat patriarkhis. Padahal kalau kita mau jujur usaha pemerintah sendiri dalam hal ini sudah begitu maksimal. Pemerintah melalui departemen atau dinas terkait sudah memberikan himbauan tentang betapa perspektif gender dalam kehidupan bermasyarakat yang kondisi sosial budaya Indonesia yang berbeda-beda sangatlah penting.
Salah satu bidang yang dibidik sebagai akar permasalahan mengapa gender kurang begitu menjadi urgensi persoalan selama ini adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan formal adalah pintu masuk utama seorang anak mengenal gender. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, posisi dan peran guru sangatlah penting untuk mensosialisasikan persoalan gender pada siswa sekolah dasar dan menengah. Jika orang tua karena pendidikan yang rendah dianggap gagal memberikan penyampaian pesan gender dalam benak anak-anak mereka, maka guru di dalam pembelajaran kelas dapat memberikan alternatif peran untuk mengenalkan tentang bagaimana dan seperti apa masyarakat terbedakan antara laki-laki dan perempuan secara historis dan kultural yang mempengaruhi peran-peran domestik dan publik mereka. Namun sayangnya peran pokok guru dalam hal ini sering pula tidak optimal karena faktor budaya patriarkhis yang terlalu kuat serta interpretasi agama yang cenderung keliru memposisikan perempuan dalam ranah publik.
Oleh karena itu, agar seorang guru mempunyai titik pijak yang sama untuk menafsirkan persoalan gender tersebut maka di bawah ini ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan:
Pertama, pada prinsipnya pemberian sosialisasi gender dapat dimulai dalam bentuk pelajaran apa saja. Pada pelajaran yang berbau eksakta tentu saja pesan gender harus masuk secara halus, tersamar, dan terselubung melalui simbol-simbol yang tidak mengandung dominasi laki-laki. Pada pelajaran ilmu sosial, gender dapat dimasukkan sebagai materi utuh, sebagian, atau terselubung yang didasarkan atas proporsi dan kebutuhan yang ada.
Kedua, guru harus memasukkan materi gender dalam setiap rencana pendidikan yang ada. Materi gender atau bernuansa gender tetap harus dimasukkan dalam rencana pendidikan sebagai bentuk konsistensi pelaporan tugas secara tertulis.
Ketiga, secara sosial budaya, tata tertib di sekolah maupun tata aturan tak tertulis yang ada di kelas maupun di sekolah diupayakan untuk pembentukan kesadaran siswa akan gender. Terkadang ada beberapa poin dalam tata tertib yang sengaja melanggengkan struktur kelaki-lakian. Peraturan atau norma mengenai pembentukan struktur pengurus kelas, regu piket kelas, serta pembagian tugas sehari-hari di kelas juga sering dilakukan atas persepsi perbedaan laki-laki dan perempuan. Misalnya tugas menyapu kelas adalah perempuan dan laki-laki hanya bertugas menghapus papan tulis. Papan tulis dalam hal ini simbol publik karena peran dan pekerjaannya lebih nampak di depan bapak atau ibu guru yang sedang mengajar, sedangkan menyapu di dilakukan pada saat pagi hari, sebelum bel masuk, sepi, dan menjadi simbol pekerjaan domestik karena tidak terlihat oleh bapak atau ibu guru yang mengajar.
Meski tidak semua sekolah berani dan mencoba melakukan perubahan hal itu karena pertimbangan budaya dan agama (barangkali), namun usaha untuk itu harus ada. Oleh karena itu setiap sekolah harus mencoba mewajibkan para wali kelas untuk melakukan perubahan struktur dan regu kerja. Anak didik perempuan bukan lagi diposisikan sebagai sekretaris dan bendahara yang pernah dikonstruksikan sebagai profesi dan posisi yang pantas bagi perempuan saja, namun cobalah untuk menggantinya menjadi ketua kelas dan jabatan-jabatan struktur kelas yang dulu menjadi monopoli kaum laki-laki.
Keempat, guru harus membedah materi pelajaran yang selama ini bias gender. Materi yang hanya melanggengkan posisi dan dominasi laki-laki atas perempuan bisa direduksi dan dihilangkan sama sekali. Contoh-contoh penggambaran yang terkait materi pelajaran yang memakai simbol laki-laki harus diseimbangkan dengan simbol-simbol keperempuanan. Foto-foto dalam pelajaran sosiologi tidak harus foto kaum laki-laki saja dengan atribut sosialnya. Tokoh-tokoh dalam karangan buku sastra yang dikaji tidak semata laki-laki dengan kuasanya saja. Materi pelajaran sejarah tidak hanya membahas masa lalu yang penuh dengan kekuatan dan kejayaan laki-laki saja atas nama politik, ekonomi, militer, dan agama. Sejarah tentang perempuan dan perjuangannya perlu ditampilkan.
Kelima, Kepala Sekolah mewajibkan setiap guru memasukkan pesan gender dalam pembelajaran mapel di kelas. Peran kepala sekolah sangat penting untuk memberikan paksaan pada bapak atau ibu guru memberikan semangat bergender ria. Kepala sekolah pun dapat memberikan contoh pelaksanaan gender secara konkrit. Misalnya pembentukan kepanitiaan sekolah untuk berbagai kegiatan haruslah menyeimbangkan peran guru laki-laki dan perempuan secara proporsional dan jelas. Ketidakmengertian gender kepala sekolah akan menciptakan budaya bias gender yang dapat merusak pemaknaan gender itu sendiri bagi siswa yang ada dis ekolah tersebut.
Apabila semua pertimbangan dan persyaratan di atas sudah dilakukan bukan berarti persoalan gender akan lebih jelas dan terselesaikan begitu saja. Keberhasilan mengenalkan perilaku sadar gender berhubungan pula dengan latar budaya dan pemahaman keagamaan yang melingkari lembaga persekolahan yang terkait. Oleh karena itu strategi yang sesuai untuk memberikan dan menanamkan nilai-nilai harmonisasi peran laki-laki dan perempuan itu adalah memberikan ruang diskusi yang intensif antara berbagai pihak agar menghasilkan formulasi pengkajian gender yang sesuai dengan harapan bersama.

*Artikel guru ditulis oleh Muslichin.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

Kamis, 19 Februari 2009

MAKAM WALI SEBAGAI MEDAN BUDAYA DAN PEWARISAN NILAI TRADISI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN KENDAL *

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang dan Masalah
Era Globalisasi dan informasi merupakan suatu hal yang harus diterima dengan segala konsekuensinya. Besarnya pengaruh asing yang masuk akan membawa pengaruh terhadap perilaku dan sikap bangsa saat ini baik itu perilaku sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Oleh karena itu untuk menangkal arus negatif budaya asing yang masuk ke Indonesia pemerintah berkewajiban memberikan informasi budaya kepada generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya (Istiyarti, 2007: 2).
Saat ini kebutuhan identifikasi dan pengenalan benda-benda peninggalan sejarah sangat mutlak dibutuhkan bagi masyarakat modern yang memiliki fungsi untuk penambahan informasi publik, pengkajian dan penelitian lebih lanjut, serta pelestarian artefak keperpubakalaan dan benda-benda cagar budaya. Era otonomi daerah saat ini memberikan peluang cukup besar bagi kota kabupaten maupun masyarakat untuk memiliki sarana penunjang pelestarian benda-benda cagar budaya (Muslichin, 2007: 1; dan Joharnoto, 2005: 5-6).
Namun demikian, semua kabupaten yang ada di Jawa Tengah belum tentu memiliki sarana penunjang pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) yang berbentuk museum dan daya dukung pemerintah dalam pengawasan serta perlindungan BCB. Akibatnya beberapa daerah harus kehilangan BCB karena desakan kepentingan ekonomi dan politik.
Sebagai contoh, di Kabupaten Kendal, gedung SMP 1 Kendal yang berdiri sejak tahun 1897 akhirnya harus kehilangan eksistensinya sebagai bangunan bersejarah karena dirobohkan, di atas tanah yang rata itu dibangun lagi pusat pertokoan yang terletak di tengah kota. Tidak hanya itu, gedung Pergerakan Nasional yang terletak di Jalan Pemuda Kendal harus rela untuk dirobohkan dan dijadikan sarang walet. Bahkan bangunan Stasiun Kereta Api pertama di Kota Kendal juga dibiarkan terkatung-katung tanpa ada perawatan sama sekali (Santoso, 2005: 2-7).
Daerah yang kehilangan BCB tentu saja tidak hanya Kabupaten Kendal. Daerah lain pasti mengalami nasib dan permasalahan yang sama. Namun demikian, untuk BCB yang berbentuk makam para waliyullah, pemerintah daerah memberikan uluran tangan dan perhatian yang cukup baik. Beberapa makam yang ada di Kabupaten Kendal mendapatkan perhatian istimewa dari pemerintah. Pemerintah memberikan bantuan dana, perawatan, dan pengawasannya melalui serangkaian program-programnya yang ada dan terjadwal.
Masyarakat setempat memberikan apresiasi yang baik pula terhadap upaya pelestarian makam para waliyullah itu. Masyarakat yang tinggal di lokasi pemakam tersebut ternyata turut memberikan peran optimal bagi pelestarian makam-makam waliyullah. Mereka membersihkan areal pemakaman dari sampah-sampah pengunjung, menjadi guide atau juru kunci bagi yang bertanya apa saja tentang legenda dan sejarah makam, menyediakan areal perpakiran, serta mereka menyediakan fasilitas penginapan bagi yang mau menginap di dekat lokasi pemakaman.
Oleh karena fenomena masyarakat setempat yang turut merasa memiliki adanya BCB ini menarik untuk diteliti. Dari fenomena itu, penulis mempunyai beberapa rumusan masalah yang dapat membantu mengupas persoalan kelestarian BCB dan sekaligus tradisi-tradisi penunjangnya. Rumusan masalah itu adalah sebagai berikut: pertama, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat setempat melestarikan makam sebagai BCB? Kedua, apa keterkaitan tradisi Islam pesisir terhadap keutuhan dan pelestarian makam waliyullah?

2. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
1. Menginformasikan secara obyektif dan menyeluruh tentang makam yang ada di Kabupaten Kendal sebagai medan budaya.
2. Sebagai bahan acuan sesama teman-teman pelajar untuk peduli terhadap benda cagar budaya yang masih ada dan melestarikannya.
3. Agar para teman-teman dapat mengambil pelajaran bahwa benda cagar budaya tersebut benar-benar peninggalan mbah buyut kita yang mengandung unsur sejarah yang tinggi.

b. Manfaat
Sebuah karya tulis ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi pembaca dan dapat memberikan keteladanan bagi kita semua. Atas dasar pemikiran tersebut, penulis mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat :
1. Memberikan informasi kepada generasi muda atau pelajar secara mendetail tentang makam-makam wali yang ada di Kabupaten Kendal
2. Memberikan gambaran kepada generasi muda bahwa sesungguhnya benda cagar budaya itu adalah benda yang sangat unik untuk dilihat dan dikaji.

3. Penegasan Istilah
Ada beberapa istilah yang terdapat dalam tulisan ini yang perlu penulis jelaskan lebih dahulu. Istilah-istilah itu adalah:
a. Makam Wali
Makam adalah tempat perkuburan bagi orang yang meninggal dunia. Jasad manusia yang meninggal dikubur dalam tanah setelah terlebih dahulu dilaksanakan tata upacara berdasar agama dan budayanya masing-masing. Wali adalah sebutan untuk orang suci yang dianggap melampui tataran ilmu agama Islam yang sangat tinggi. Makam para waliyullah berarti tempat pekuburan orang yang suci.
Oleh karena itu biasanya makam para wali ini dikeramatkan. Indikasinya banyak orang yang disamping melakukan ziarah, berdoa, dan mendoakan juga ada yang memohon dan meminta sesuatu pada makam (roh wali) yang sudah meninggal tersebut (Thohir, 1999).
b. Medan Budaya
Medan budaya adalah tempat pertemuan antara masyarakat dengan budayanya. Makam sebagai medan budaya berarti menjadikan makam sebagai tempat atau media masyarakat melakukan aktifitas budayanya yang umumnya berbentuk tradisi atau ritual keagamaan (Syam, 2005).
c. Pewarisan Tradisi
Pewarisan Tradisi adalah penyampaian tradisi dari satu generasi kepada generasi berikutnya (KBBI, 2001). Pewarisan tradisi ini dinamakan juga enkulturasi. Di dalamnya ada nilai-nilai budaya khas yang dikenalkan kepada generasi yang baru tersebut. Nilai-nilai tradisi yang disampaikan itu misalnya tradisi syawalan, khoul, slametan, nyadran dan sebagainya.
d. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekelompok manusia dan budayanya yang mendiami wilayah utara pulau Jawa. Masyarakat pesisir itu memiliki kecenderungan budaya yang agak berbeda dengan masyarakat vorstenlanden dan pedalaman. Ciri khas budaya masyarakat pesisir adalah karakter keislamannya yang kuat.

3. Metode Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu. Selama 5 hari yaitu pada tanggal 10-15 agustus 2008, penulis melakukan penelitian dan pemotretan makam-makam para wali yang ada di pemakaman Protomulyo.

b. Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada faktor apa yang melatarbelakngi masyarakat Kaliwungu memelihara makam waliyullah sebagai benda cagar budaya serta apa relasi dan hubungan antara faktor tradisi Islam pesisir dengan kelestrian makam sebagai BCB.

c. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah beberapa informan yang mengetahui tentang BCB khususnya makam waliyullah yang ada di Desa Proto Kecamatan Kaliwungu. Selain itu penelitian ini menggunakan buku referensi untuk menambah keakuratan data yang penulis buat.


c. Instrumen Penelitian
1) Observasi
Observasi adalah pengamatan. Penulis melakukan aktivitas masyarakat yang sedang melakukan ritual syawalan dan khaul di Kompleks Pemakaman Proto Kaliwungu.
2) Wawancara
Wawancara adalah serangkaian pertanyaan yang diberikan kepada narasumber. Penulis bertanya pada beberapa narasumber tentang bentuk, tahapan, serta makna makam bagi aktivitas ritual mereka.
3) Studi Pustaka
Studi pustaka adalah penggunaan beberapa referensi sebagai sumber data dan pembanding dari permasalahan yang penulis kaji. Beberapa buku di perpustakaan sekolah dan umum penulis pergunakan untuk menambah keakuratan tulisan ini.

B. Makam Wali Sebagai Medan Budaya dan Pewarisan Nilai Tradisi
1. Penyebaran agama Islam di Kabupaten Kendal
Sebelum agama Islam masuk di wilayah Kendal, terlebih dahulu telah terdapat agama Hindu-Buddha. Agama ini telah dipeluk dan menyebar pada masyarakat Kendal ketika pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Melihat keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal yang ada di Kaliwungu memberi gambaran pada kita bahwa di wilayah itu dulu adalah pusat pemerintahan agama Hindu-Buddha. Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu. Nama-nama itu antara lain: Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemangan, Sepuh, dan Kandangan. (Rochani, 2003 : 135)
Penyebaran agama Islam di Kendal di antaranya dilakukan oleh Sunan Katong. Sunan Katong yang masih kerabat dan keturunan Raja Brawijaya V datang di Kendal pada tahun 1513-an dan langsung meng-Islamkan masyarakat Kendal/Kaliwungu serta menata pemerintahannya. (Rochani, 2003 : 139).
Dalam beberapa mitos maupun legenda diceritakan bahwa Sunan Katong pada saat menyebarkan agama Islam mendapat hambatan dari sekelompok masyarakat yang masih memegang ajaran Hindu yang sangat kuat. Kelompok penentang sunan Katong itu dipimpin oleh Pakuwojo. Antara Sunan Katong dan Pakuwojo terlibat baku hantam dan mengakibatkan keduanya meninggal dunia.
Selain Sunan Katong yang menyebarkan agama Islam, ada lagi tokoh lain yang berjasa mengislamkan masyarakat Kaliwungu, yaitu Pangeran Juminah. Pangeran Juminah yang memiliki ilmu tasawuf/ sufi’isme sangat tinggiyang diperoleh oleh dari ibunya, Beliau menyebarkan agama Islam di Kendal, khususnya di Kaliwungu (Istiyarti, 1994: 77).
Dari kedua tokoh itu, Islam kemudian dapat menyebar ke segenap wilayah Kabupaten Kendal sekarang. Wilayah Kendal, Weleri, Pegandon, Boja, dan Sukorejo, penyebaran agama Islam dilakukan oleh para tokoh dan wali yang satu generasi dengan Sunan Katong dan ada juga yang murid-murid Sunan Katong.

2. Para Wali dan Peranannya di Kabupaten Kendal
Pada dasarnya keberadaan makam para wali saja sampai sekarang masih terus dirawat dan disakralkan oleh masyarakat Kendal. Tentu saja hal itu terkait dengan masa lampau para wali tersebut yang mempunyai peran sentral bagi pengembangan Islamisasi di wilayah Kabupaten Kendal.
Sunan Katong saja misalnya, beliau menyebarkan Islam di Kendal bersama sahabatnya dari Demak yaitu Ten Koe Penjian Lien (Tekuk Penjian) Han Bie Yan (Gembyang) tokoh dari China keduanya masih kerabat Demak. Dalam menyiarkan agama Islam di Kendal Sunan Katong cukup sukses, dia juga mampu mengajak Pakuwaja masuk Islam walaupun dengan adu tanding (Rochani, 2003: 177-179).
Seperti halnya Sunan Katong, Kyai Haji Asyari juga menyiarkan agama Islam di Kendal. Ada lagi tokoh Kaliwungu yang dikenal sebagai penyebar Islam pada masa sesudah Sunan Katong yaitu Pangeran Puger, Tumenggung Mandurarejo, KH. Asyari, KH. Mustofa, dan KH. Musyafak. Bahkan Pakuwojo pada dasarnya adalah sosok santri penyebar Islam pula. Ia adalah murid Sunan Katong yang memiliki nama asli Ki Gondokusumo (wawancara KRAT Kartodipuro 19 Agustus 2008).
Demikian pula ada sosok pangeran yang dianggap berperan pula dalam menyebarkan agama Islam, yaitu: Pangeran Juminah. Selain itu Pangeran Juminah dikenal pula dalam dunia politik, budaya, sosial masyarakat pesisir Kendal pada masa itu. Pangeran Juminah sangat berperan dalam dunia pemerintahan yang menjadi cikal bakal Kabupaten Kendal (Rochani, 2005: 3-7).
Di Kota Kendal sendiri, terdapat makam Wali Hadi, Wali Gembyang, dan Wali Jaka. Ketiga tokoh ini ada yang menganggap sezaman dengan Sunan Katong. Peran ketiganya adalah selain sebagai penyebar Islam, mereka juga membuka-alas wilayah hutan yang nantinya siap sebagai pusat pemerintahan Kendal.
Di daerah Pegandon ada tokoh Islam yang sangat terkenal di dunia politik, namanya adalah Sunan Abinawa atau Pangeran Benawa. Melalui tokoh ini agama Islam akhirnya bisa menyebar ke wilayah Kendal bagian selatan.

3. Makam-makam Wali di Kabupaten Kendal
Tinggalan-tinggalan yang diteliti di wilayah Kabupaten Kendal berupa makam, bekas gapura, kadipaten dan sejumlah tinggalan dari masa Kendal lampau. Adapun jenis tinggalan yang berupa makam adalah sebagai berikut :
a. Kompleks Makam Bupati Kaliwungu
Kompleks makam ini terletak di dusun Protokulon Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu, yaitu pada sebuah perbukitan yang memanjang dari utara ke selatan, dengan ketinggian 60 meter dari permukaan air laut.
Secara keseluruhan makam ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu masing-masing disebut gedung lor, gedung tengah, dan gedung kidul.
Kelima makam tersebut masing-masing adalah makam Pangeran Juminah, istrinya, putranya yang bernama Pangeran Lempuyang, dan dua makam abdi pembawa payung Pangeran Juminah, Pangeran Juminah adalah Bupati Kaliwungu I, selain makam tersebut diatas terdapat pula sejumlah makam kerabat Pangeran Juminah.
Seperti halnya gedung lor, di gedung tengah juga terdapat makam-makam tokoh penting yang diletakkan diatas batur. Tokoh utama yang dimakamkan disini adalah Surohadi Menggolo atau Pangeran Seda Ngambat, Bupati Kaliwungu II pada gedung kidul, yaitu pada batas sisi selatan terdapat empat makam yang berderet dari barat ke timur. Salah satunya yaitu makam yang terletak nomor dua dari barat adalah makam Bupati Kaliwungu VI yaitu Somediwiryo dan makam kerabatnya ada disamping-sampingnya (Istiyarti, 1994: 73-74).

b. Makam Kyai Haji Asy’ari
Makam ini terletak disebuah kompleks makam di daerah perbukitan yang sama dengan kompleks makam Bupati Kaliwungu, wilayah ini termasuk dalam dusun Protowetan, Desa Protomulyo, Kecamatan Kaliwungu. Menurut juru kunci, Kyai Haji Asy’ari yang disebut Kyai Guru oleh penduduk setempat adalah seorang utusan Mataram yang menyebarkan agama Islam di daerah ini. Di sebelah utara cungkup makam Kyai Haji Asy’ari terdapat cungkup lain yang berisi makam Pangeran Mandurejo (Indra, 2005: 2-3).
c. Makam Sunan Katong
Sekitar 150 meter di sebelah utara kompleks Kyai Haji Asy’ari terdapat sebuah kompleks makam lain yang dikelilingi tembok, tokoh utama yang dimakamkan di kompleks ini adalah Sunan Katong. Makam yang ada di sisi barat adalah makam Sunan Katong sendiri sedangkan makam istrinya terdapat di sisi timur (Observasi tanggal 11 Agustus 2008).
d. Makam Pakuwaja
Makam ini terletak didalam cungkup yang berada sekitar 150 meter di sebelah timur laut kompleks makam Sunan Katong. Bangunan cungkup dibuat dari kayu dan berdiri diatas batur yang dibuat dari batu karang. Didalam cungkup terdapat dua makam, yaitu makam Pakuwaja dan istrinya yang bernama Nyai Sentar, jirat dan nisan tidak diketahui, karena ditutup dengan berlapis-lapis kain putih. Menurut juru kunci Pakuwaja adalah murid Sunan Katong (Muslichin, 2007: 9-10).
Itulah uraian mengenai sebagian kecil makam wali yang ada di Kabupaten Kendal. Padahal lampiran saya juga menunjukkan beberan foto asli kompleks makam wali yang ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.
Adapula makam yang Wali yang terdapat di Kota Kendal seperti Wali Jaka, Wali Gembyang, dan Wali Hadi. Makam Wali Hadi terletak dibelakang Masjid Jami Kendal, makam Wali Jaka terletak di halaman depan Masjid Jami Kendal, sedangkan makam Wali Gembyang terletak 300 meter depan Masjid Jami Kendal (Belakang Kantor Pengadilan Negeri Kendal).
Selain itu, makam Wali yang sering dikunjungi masyarakat Kendal dan luar Kendal adalah Makam Sunan Abinawa yang terletak di Desa Pekuncen Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.

4. Bentuk Tradisi dan Upaya Pewarisan Nilai Tradisi Islam Pesisir
Makam Waliyullah adalah Salah satu benda atau tempat cagar budaya di Kendal dirasa telah mendapat kepedulian yang cukup dari masyarakat maupun pemerintah daerah Kabupaten Kendal. Salah satu bukti konkritnya adalah seringnya dilakukan pengajian, mujahadah, napak tilas, syawalan, slametan, maupun Khoul Akbar yang dilaksanakan di pelataran kompleks makam wali yang ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Sebagai bukti bahwa masyarakat maupun pemuka agama di Kendal masih sangat menghormati dan menghargai peran para wali yang ada di Kabupaten Kendal di masa lampau adalah diadakannya akan diadakannya “KHOUL AKBAR ASTANA KUNTUL NGLAYANG” yang berlangsung pada tanggal 24 Agustus 2008 di pesarean Pangeran Juminah (wawancara Tomo, Mudzakir, dan Jamil 15 Agustus 2008).
Dinas terkait yang ada di Kabupaten tidak kalah dalam mengenalkan peran para wali tersebut. Pada tanggal 7 Juli 2007 diadakan kemah budaya di pelataran makam wali yang diikuti oleh siswa-siswa SLTA Se-Kabupaten Kendal. Di samping acara tersebut menjadikan BCB khususnya makam para Wali sebagai media pembelajaran sejarah dan budaya, para siswa-siswa juga bisa belajar mengenal lingkungan masyarakat setempat yang terkait pemeliharaan tradisi masyarakat pesisir (Wasino, 2007: 5-8 dan Muslichin, 2007: 3-7).
Dalam acara tersebut, sekolah saya SMAN 2 Kendal juga ikut berpartisipasi dan mengirimkan perwakilan untuk ikut dalam acara tersebut.
Selain itu, ada pula tradisi syawalan, acara ini rutin diadakan setiap tahun pada bulan syawal. Tradisi syawalan menjadi sesuatu yang penting bagi mayoritas pemeluk Islam yang tinggal di kawasan pesisir. Mereka mempunyai tradisi dan ritual yang sangat khas. Syawalan merupakan medium mendoakan arwah para wali yang berjasa bagi pengembangan dan penyiaran agama dan budaya Islam. Konsep syawalan adalah pengembangan pula dari kebiasaan nyadran, wasilah, atau ziarah yang dilakukan oleh masyarakat Islam yang berpaham ahlusunnah wal jamaah.
Pada dasarnya, tradisi ini sudah dilaksanakan puluhan tahun yang lalu dan masyarakat Kendal rupanya dapat menjadi ahli waris yang baik dengan terus melaksanakan tradisi syawalan itu setiap tahun.
Oleh karena begitu meriahnya tradisi ini, masyarakat Kaliwungu menyatakan bahwa tradisi syawalan itu adalah lebarannya orang Kaliwungu. Memang pada kenyataannya, tradisi syawalan itu lebih ramai dari pada waktu lebaran. Pada dasarnya, pengunjung yang datang pada tradisi itu tidak hanya orang-orang di Kota Kendal saja, orang-orang dari luar Kendal juga antusias untuk berkunjung di Kaliwungu. Para pedagang yang datang juga mempunyai anggapan bahwa mereka harus datang pada acara syawalan, meskipun akan rugi karena banyaknya pedagang lain yang berjualan barang dagangan yang sama. Tetapi rugi dagang pada acara syawalan di Kaliwungu akan ditutupi usaha berdagang di daerah lain. Maklum, mereka semua adalah pedagang tiban atau keliling (wawancara Shodik 12 Agustus 2008) .
Tradisi yang hampir mirip dengan syawalan adalah acara khaul para wali atau kyai yang kebetulan di makamkan di kompleks pemakaman tersebut. Acara khaul ini menjadikan generasi muda Islam dikenalkan dengan bentuk enkulturasi atau pewarisan nilai budaya Islam pesisir. Umumnya pengunjung yang datang adalah mereka yang notabene bekas santri pondok pesantren milik Kyai atau wali yang dimakamkan di areal tersebut.
Di samping itu, ada pula individu atau beberapa kelompok masyarakat yang sengaja datang untuk melakukan ziarah kubur. Di tempat pemakaman para wali itu mereka memberikan doa-doa kepada para wali yang sudah berjasa berjuang demi Islam. Namun demikian ada pula yang selain berdoa juga memohon doa keselamatan dari para wali. Hal ini sangat wajar dalam khasanah Islam pesisir yang mana mereka mempunyai konsep kepercayaan apa yang dinamakan sebagai wasilah (wawancara Mudzakir 13 Agustus 2008).
Demikian pula ketika menjelang bulan Ramadhan, masyarakat sekitar maupun dari luar berbondong-bondong untuk datang ke makam. Mereka melakukan nyadran atau nyekar membersihkan areal pemakaman. Hal ini sebenarnya simbolisasi dari kebersihan diri dari pengunjung untuk menyambut bulan suci Ramadhan (wawancara Tomo 12 Agustus 2008).
Adanya ritual-ritual di atas tentu saja memiliki fungsi agama dan budaya. Dari sisi agama, jelas masyarakat islam diwajibkan untuk menghormati orang yang lebih tua, orang tua, leluhur, dan ulama. Tradisi ziarah, nyadran, khaul, dan syawalan merupakan mekanisme penghubung antara orang yang hidup dengan orang yang dicintai dan dihormatinya.
Dari sisi budaya mengandung maksud bahwa tradisi yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun itu tetaplah dilestarikan dan dilaksanakan. Tradisi menjadi medium enkulturasi antara generasi tua dengan generasi mudanya. Generasi muda hanya tahu tradisi syawalan, ziarah, nyadran, dan khaul seperti apa jika mereka diajak untuk hadir pada acara tradisi tersebut.
Dari sisi kelestarian Benda Cagar Budaya (BCB), tentu saja pelaksanaan tradisi yang rutin itu akan membawa upaya masyarakat setempat atau pemerintah daerah untuk menfasilitasi dan memberikan tambahan biaya pembangunan, kebersihan, dan pelengkap lain untuk kepentingan ekonomis.
Berarti pula semakin banyak intensitas ritual yang dilaksanakan pada areal pemakaman Protomulyo, maka semakin besar pula muncul upaya pelestarian BCB dan tradisi yang mengikutinya.
Itulah wujud dari kepedulian masyarakat Kendal terhadap benda cagar budaya yang masih ada di tempat dan terus dirawat serta dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Dalam hal ini saya juga melampirkan foto-foto makam tersebut sebagai bukti bahwa makam-makam tersebut masih ada sampai sekarang dalam keadaan bersih.

C. Penutup
1. Simpulan
Secara garis besar masyarakat pesisir di Kabupaten Kendal sudah cukup peduli terhadap makam-makam wali yang ada di Kaliwungu. Namun yang masih perlu diperhatikan adalah kepedulian terhadap pelestarian benda cagar budaya yang ada di Kendal maupun kota-kota yang lain dalam hal ini peran pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat cukup dibutuhkan. Adanya berbagai tradisi masyarakat Islam pesisir menjadikan Benda Cagar Budaya yang berbentuk makam terjaga kelestariannya.

2. Saran
Semoga dengan tulisan saya ini teman-teman lebih peduli terhadap benda cagar budaya yang ada dengan pertimbangan keunikan dan nilai sejarahnya yang cukup tinggi. Masyarakat luas serta pemerintah juga harus memberikan perhatian lebih terhadap benda cagar budaya agar tidak dibiarkan berserakan dan tidak terawat.
Bila masyarakat maupun pemda tidak memperhatikan tinggalan sejarah ini sangat bahaya karena tangan-tangan jail siap mengancam kelestarian benda tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Hartatik, Endah Sri. 2007. Pemanfaatan Museum, Monumen Perjuangan,
Makam Pahlawan dan Saksi Sejarah sebagai Sumber Sejarah.
Makalah Seminar Peningkatan Pembinaan Kesadaran Sejarah bagi
Generasi Muda Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Propinsi Jawa
Tengah di Kopeng Kabupaten Semarang.

Indira, 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Tidak diterbitkan

Istiyarti. 2007. Identifikasi Permuseuman dan Benda Cagar Budaya di
Wilayah Kab. Semarang. Tidak diterbitkan.

Istiyarti. 1994. Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah.

Muslichin. 2007. Identifikasi Benda Cagar Budaya Di Wilayah Kab. Kendal.
Makalah S2 Unnes. Tidak diterbitkan.

Muslichin. 2007. Kemah Budaya sebagai Model Pembelajaran Multikultur
dan Penanaman Nilai-nilai Sejarah pada Generasi Muda. Makalah
Pendamping Kemah Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Kendal di Protomulyo Kaliwungu 30 s/d 2 desember
2007. Tidak diterbitkan.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
II.Jakarta: Balai pustaka.

Rochani, Hamam A. 2003. Babad Tanah Kendal. Semarang: Inter Media
Paramadina.

Rochani, Hamam A. 2005. Pangeran Juminah. Semarang: Inter Media
Paramadina.

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis.

Sudaryanto, 1994/1995. Menapak jejak Masa Sejarah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Jateng.

Thohir, Mudjahirin. 1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayan Jawa
Pesisiran. Semarang: Penerbit Bendera.

Thohir, Mudjahirin. 2006. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang:
Fasindo.

Wasino, 2007. Penelitian Sejarah di Kalangan Siswa sebagai Model
Pembelajaran Sejarah di Sekolah. Makalah Seminar Nasional (Tidak
Diterbitkan). Unnes: Semarang.

*Naskah nominator LKTI Benda Cagar Budaya tahun 2008. Penulis: Slamet Suryanto, siswa SMA 2 Kendal Program IPS.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

NUANSA PEMARGINALAN MASYARAKAT PESISIR DALAM JEJAK–JEJAK PENINGGALAN HINDU-BUDHA DI KABUPATEN KENDAL*

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah
Masalah kepekaan pemerintah daerah dalam melihat keberadaan Benda Cagar Budaya (BCB) terkadang tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya. Banyak terlihat beberapa daerah yang sudah memiliki prasarana dan daya dukung dalam pemeliharaan BCB, namun demikian ada pula beberapa daerah lain yang justru belum memiliki sarana dan prasarana pemelliharaan BCB yang ideal.
Di Kabupaten Kendal sebagai misal. Daerah yang cukup kaya pangan ini ternyata memiliki kandungan BCB dari masa lalu kerajaan Hindu-Buddha. Banyak candi, arca, serta lingga-yoni yang terdapat di kawasan atas kabupaten ini. Akan tetapi pemerintah daerah belum memiliki keseriusan untuk mengatasi bagaimana benda-benda itu bernilai guna tinggi bagi generasi sekarang. Pemerintah daerah belum melakukan pemeliharaan yang optimal. Benda bersejarah itu dibiarkan tergeletak begitu saja hingga banyak bahan materi yang diambil penduduk setempat untuk keperluan pondasi rumah, dapur, atau mistik.
Amat sayang sekali perlakuan pemerintah daerah yang kurang memiliki kepekaan sejarah dan budaya seperti itu. Di sisi lain peninggalan–peninggalan yang berada di Kabupaten Kendal sampai sekarang tak banyak orang yang tahu. Mengingat sulitnya mencari sumber tertulis yang dapat menjelaskan tentang peninggalan Hindu-Budha tersebut. Dalam pengungkapannya pun hanya dapat ditinjau dari sisa – sisa bangunan candi–candi dan arca–arca yang ada.
Berdasarkan penelitian–penelitian yang pernah dilakukan dikawasan kabupaten kendal, tinggalan arkeologinya kebanyakan berupa temuan lepas, ada beberapa yang bersifat monumental, itupun hanya tinggal sisa – sisanya. Dengan kata lain, kawasan kabupaten kendal adalah kawasan marginal pada zaman Hindu–Buddha pada abad VII hingga X Masehi (Tjahjono, 2000: 1).
Sebagai salah satu kawasan pinggiran dari Kerajaan Mataram kuno. Tentu mendapat pengaruh – pengaruh pada kekuasan bercorak Hindu-Budha tersebut. Seperti dalam bentuk peninggalan – peninggalan yang ditemukan, seperti adanya bangunan candi dan diketemukannya arca serta Yoni yang melambang kejayaan kerajaan Hindu-Budha pada saat itu, yaitu Kerajaan Mataram terletak poros Kedu-Prambanan. Untuk itulah perumusan masalah dalam karya ilmiah ini, dirumuskan sebagai berikut:
1. Peninggalan – peninggalan masa Hindu-Buddha apa sajakah yang ada di kawasan Kabupaten Kendal?
2. Mungkinkah bentuk peninggalan Hindu – Buddha di Kabupaten Kendal memiliki kesan dan nuansa peminggiran budaya masyarakat pesisir pada masa itu?
3. Bagaimanakah aspek pengaruh kekuasaan Hindu-Buddha terhadap eksistensi masyarakat pesisir saat itu jika dilihat dari peninggalan yang tersisa?

B. Tujuan Dan Manfaat
1. Tujuan
Dalam penelitian ini, sebagai sasaran jangka pendeknya bertujuan untuk:
a. Mengetahui peninggalan–peninggalan yang ada dikawasan Kabupaten Kendal.
b. Mengetahui bentuk peningalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal
dan nuansa peminggiran budaya masyarakat pesisir.
c. Mengetahui pengaruh peninggalan Hindu-Budha terhadap eksistensi masyarakat pesisir.

2. Manfaat
Dengan adanya karya ilmiah yang telah saya buat, semoga dapat menambah referensi sejarah di dalam dunia pendidikan. Semoga pula para pembaca dapat menambah pengetahuannya tentang peninggalan– peninggalan dan nuansa kehidupan masyarakat pesisir di masa Hindu-Budha di Indonesia khususnya di wilayah Kabupaten Kendal. Oleh karena itu dengan hadirnya tulisan ini para pembaca dapat lebih menjaga peninggalan–peninggalan sejarah dan purbakala di berbagai wilayah manapun tidak hanya di Kabupaten Kendal.

C. Metode Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka metode yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu memakai berbagai buku referensi untuk mendukung terwujudnya karya ilmiah ini. Oleh karena sulitnya untuk mencari data yang komplit dan terperinci dan waktu yang kurang memadai untuk melakukan penelitian sesuai dengan judul yang saya buat, maka penulis melakukan kajian beberapa referensi yang mendukung tulisan ini agar kandungan isinya cukup dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun srjumlah buku yang menjadi referensi telah ada di daftar pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Agama dan Budaya Hindu–Buddha di Kabupaten Kendal
Perkembangan agama Kabupaten Kendal, dimulai dari singgahnya para pemuka agama Hindu-Budha di Jawa Tengah yang akhirnya membangun tempat peribadahan di lereng Dieng. Tempatnya yang tinggi dipercaya dapat memperdekat diri mereka dengan sang dewa. Dalam jangka waktu yang singkat muncullah Kerajaan Mataram kuno yang berporos pada Kedu-Prambanan, di mana mengalami puncak kejayaan pada abad VII sampai dengan X M (Bosch, 1974: 19). Bukti masa kejayaan itu adalah banyaknya bangunan monumental yang dapat dinikmati para wisatawan sekarang seperti: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Dieng, Candi Plaosan, Candi Sewu, dan kompleks Candi Gedung Songo (Tim Penulis, 1993: 7).
Sebagai pusat kekuasaan, kerajaan Mataram Kuno tentu saja mulai mengembangkan budaya dan agamanya ke wiilayah lainnya termasuk kabupaten Kendal. Penyebaran Hindu dan Buddha tidak membuat wilayah kabupaten berkembang dan menjadi satu daerah yang dipertimbangkan posisinya secara politik, ekonomi, dan militer. Masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Kendal dianggap masyarakat yang masih bar-bar dan memiliki corak pemerintahan model pedesaan yang sangat Indonesia sekali (Casparis, 1986: 11-13).
Pemimpin yang mendiami wilayah Kabupaten Kendal bukanlah figur pemimpin yang setara dan sebanding dengan penguasa yang tinggal di Poros Kedu-Prambanan. Mereka adalah pemimpin lokal yang mempunyai wewenang politik sangat kecil bagi eksistensi kerajaan Mataram Hindu. Mereka adalah para Rakai yang berkuasa secara adat dan bukan sebagai pegawai raja (Rangkuti, 1994: 10).
Para penguasa kerajaan Mataram Kuno menganggap kawasan para rakai itu hanyalah sumber pangan yang menunjang perekonomian inti masyarakat Kedu-Prambanan. Oleh karena dukungan dari kawasan inti termasuk dari penguasa lokal Kabupaten Kendal, maka mereka mempunyai daya kemampuan untuk membangun tempat-tempat ibadah yang megah dan besar. Sebaliknya, bagi daerah terpinggirkan tersebut hanya menjadi pelengkap penderita saja. Daerah utara seperti Kendal tidak mampu membangun Candi-Candi besar karena kurangnya lobi politik, ekonomi, dan agama. Menurut Payntor (Tjahjono, 2000: 5), beberapa benda seni yang terdapat kawasan selatan Kendal lebih bercorak sederhana dan berkualitas rendah.

B. Posisi Geografis Kabupaten Kendal
Wilayah Kabupaten Kendal luasnya adalah 1.002,23488 Km yang dibagi dalam 19 wilayah kecamatan dan 235 wilayah desa/kelurahan. Batas-batas wilayah Kabupaten Kendal meliputi sebelah utara laut Jawa, sebelah timur Kotamadya daerah tingkat II Semarang, sebelah selatan Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, dan Kabupaten daerah tingkat II Temanggung, serta sebelah barat Kabupaten Daerah Tingkat II Batang
Dari 19 wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Kendal yang memilliki tinggalan arkeologis antara lain di Kecamatan Boja, Limbangan, Pegandon, Sukorejo, dan Weleri.

C. Peninggalan–Peninggalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal
Dari studi pustaka yang saya lakukan, dapat diketahui beberapa peninggalan–peninggalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal , seperti yang diutarakan Baskoro Daru Tjahjono ( 2000:10-12), Indra (2005: 3-5), dan Muslichin (5-6) sebagai berikut:
1. Kecamatan Boja
Desa Karang Manggis, Dukuh Siroto: dihalaman rumah bapak Maryadi ditemukan Yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi artefak tersebut kurang terawat, polos tanpa hiasan. Situs ini berada pada ketinggian 405 m dari permulaan laut, dilereng barat laut gunung ungaran.
Desa Campurrejo, Dukuh Kenteng: di kebun bambu milik bapak Supari terdapat sebauh Yoni dan peripih lengkap dengan tutupnya. Benda – benda tersebut terbuat dari bahan batu andesit. Situs ini diberi keliling berupa tembok, namun kondisinya tidak terlalu terawat. Yoni bentuknya sederhana tanpa hiasan, teknik pekerjaannya pun kasar, cerat sebagian patah. Peripih mempunyai 17 lubang, satu lubang diantaranya di tengah. Situs ini terletak pad ketinggian 290m dari permukaan laut, dileteng barat laut gunung Ungaran.

2. Kecamatan Limbangan
Desa Gonoharjo, Dukuh Nglimut: Di kebun milik ibu Urip Suisman ditemukan sisa – sisa bangunan candi, diantaranya terdapat sebuah Yoni, kemuncak, struktur batu candi, balok – balo batu candi, antefik, dan peripih. Kondisi Yoni relatif bagus dan utuh, diatas cerat terdapat hiasan kura – kura dan naga sedang diatasnya terdapat hiasan kala. Situs ini terletak pada ketinggian 660 m dari permukaan laut, di lereng barat laut gunung Ungaran.
Desa Gonoharjo, Dukuh Segono: ditengah persawahan ditemukan sisa – sisa tinggalan arkeologis yang berupa fragmen arca ganesya, fragmen arca agastya fragmen siwa, fragmen kemuncak, dan lingga semu. Kondisi situs tidak terawat dan rusak. Benda – benda tersebut terbuat dari bahan batu andesit. Teknik pekerjaan kasar dengan hiasan sangat sederhana. Situs ini terletak pada ketinggian 600 dari permukaan laut, di lereng barat laut gunung Ungaran.

3. Kecamatan Pegandon:
Desa Winong, Dukuh Krajan: Di pekuburan umum desa Winong ditemuka sebaran fragmen bata kuno berukurang besar. Menurut informasi penduduk disitus ini pernah ditemukansebuah fragmen arca agastya. Arca tersebut kemudian disimpan di museum Ronggowarsito semarang. Sisa – sisa bata tersebut sebagian dipergunakan sebagai umpak cungkup. Situs ini berada pada ketinggian 40 m dari permukaan laut.

4. Kecamatan Sukorejo:
Desa Sukorejo, Dukuh Kauman: Disebuah sungai kecil yaitu sungai beruk ditemukan sebuah fragmen arca nandi tersebut dari batu andesit. Arca tersebut tidak terawat dan digunakn sebagai alas berdiri orang yang mandi di pancuran. Arca tersebut bagian kepalanya hilang. Teknik pemahatannya kasar. Lokasi arca tersebut berada pada ketinggian 550 m dari permukaan laut.
Desa Purwosari, Dukuh Kenteng Sari: di sekitar halaman rumah bapak Kromoratman terdapat balok – balok dan sisa saluran air dari bahan andesit. Sisa - sisa tinggalan arkeologis tersebut sebagian besara digunakn oleh penduduk setempat untuk pondasi rumah, tangga naik ke pintu rumah, lantai rumah, talut dan lain – lain. Menurut informasi penduduk sekitar, di dekat rumah bapak Kromoratman tersebut pernah di temukan jaladwara, makara, dan arca agastya. Benda – benda tersebut sekarang tersimpan di museum Ronggowarsito semarang. Lokasi tersebut berada pada ketinggian 1180 m dari permukaan laut. Di lereng bawah gunung Perahu.

5. Kecamatan Weleri:
Desa Panarukan, Dukuh Karangtengah: Dipekarangan milik bapak Musafek ditemukan sebuah Yoni terbuat dari batu andesit. Yoni separuh bagian terpendam tanah. Kondisinya tidak terawat, cepat patah, penampang atas pecah. Teknik pengerjaan kasar dan tidak berhias. Situs ini berda pada ketinggian 60m dari permukaan laut, berjarak kurang lebih 7 km dari garis pantai.

D. Bentuk Peninggalan Hindu-Budha dan Nuansa Peminggiran Budaya Masyarakat Pesisir
Dari studi pustaka yang saya lakukan, dapat diketemukan bahwa bentuk peninggalan Hindu-Budha di Kabupaten Kendal berupa candi, yoni, dan fragmen arca seperti: arca Ganesya, arca agastya dan arca siwa. Tetapi disayangkan, Kabupaten Kendal yang merupakan kawasan yang luas menunjukkan bahwa persebaran tinggalan arkeologinya tidak terlalu padat dan tidak merata seperti yang dikatakan Baskoro Daru Tjahjono ( 2000: 26-27). Kabupaten Kendal yang terbagi dalam 17 kecamatan, hanya ada 5 kecamatan yang memiliki tinggalan arkeologi, yaitu kecamatan Boja, Limbangan, Pegandon, Sukorejo dan Weleri. Hal itu terkait dengan latar historis di mana wilayah Kabupaten Kendal mengalami peminggiran pada masa kerajaan Mataram antara abad VII s.d X Masehi. Bukti pernyataan itu didasarkan pada sedikitnya peninggalan yang berada pada kawasan Kabupaten Kendal yang notabene adalah daerah pesisir. Bukti lainnya adalah adanya kemungkinan kebijakan pemerintah pada masa itu yang pusat pemerintahannya berada pada poros Kedu-Prambanan. Maka yang paling banyak tinggalan sejarah dan arkeologisnya adalah pada kawasan tersebut. Candi Borobudur, Prambanan, Kalasan, Dieng, dan Kompleks Candi gedung Songo memberikan tengara bahwa kawasan pinggiran seperti Kendal hanyalah sekrup pendukung bagi perekonomian dan perpolitikan Kerajaan Mataram Kuno.
Adanya patung Ganesha dan lingga-yoni di kawasan Kendal bagian atas merupakan suatu bukti bahwa Kendal dipinggirkan secara sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kendal tidak memiliki satu bentuk Candi yang cukup besar menjadi tambahan bukti tentang kemarginalan wilayah ini dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno.

E. Peninggalan Hindu-Budha dan Peminggiran Bagi Eksistensi Masyarakat pesisir
Ditemukannya berbagai macam tinggalan sejarah dikawasan Kabupaten Kendal, mengungkapkan berbagai hal yang terjadi pada sistem politik masa kerajaan kuno. Upaya peminggiran Kendal menjadi satu bukti konkrit di mana Kerajaan Mataram Kuno bersifat melanjutkan pola kekuasaan dan pemerintahan jauh sebelum masuknya agama Hindu-Buddha di Jawa Tengah (Sedyawati, 1986: 35). Pusat kerajaan yang berada pada poros Kedu-Prambanan membuat wilayah Kabupaten Kendal yang merupakan daerah pesisir mengalami pemarginalan. Tinggalan sejarah yang sedikit di wilayah Kabupaten Kendal dari pada yang berada di daerah tinggi dan poros Kedu-Prambanan, mengasumsikan bahwa kawasan pesisir pada masa tersebut seperti tak dianggap penting bagi pemerintahan terdahulu.
Dengan diketemukannya tinggalan sejarah itu juga berarti menggambarkan keadaan masyarakat pesisir jaman dahulu yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Masyarakat Kendal mempunyai posisi yang lebih rendah dibandingkan masyarakat inti yang terletak di Poros Kedu-Prambanan. Pencitraan seperti itu ironisnya kembali terjadi ketika pusat kerajaan Mataram Islam ada di kawasan Surakarta yang membagi wilayah menjadi Kutagara, Negara Agung, Pasisiran, dan Mancanegari.
Namun demikian, perubahan struktur kemasyarakaat yang cepat di era selanjuutnya memberikan banyak perubahan bagi perkembangan masyarakat pesisir khususnya Kendal ini. Kabupaten Kendal mulai diakui eksistensi dan keberadaan ketika Tumenggung Bahurekso mendapat kepercayaan dari Sultan Agung untuk memimpin ekspedisi perlawanan terhadap Benteng Batavia tahun 1628 M (Wasino, 2006: 5-6).


BAB III

PENUTUP


A. Simpulan
Sejarah perkembangan agama dan budaya Hindu-Buddha di Kabupaten Kendal telah ada pada abad VII s.d X Masehi yaitu pada saat adanya kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah. Ciri utama adanya pengaruh budaya Hindu-Budha di Kabupaten Kendal ditunjukan oleh diketemukannya tinggalan sejarah yang berupa bangunan – bangunan suci seperti candi, arca, yoni dan sebagainya. Tinggalan sejarah yang kebanyakan berada pada daerah tinggi seperti di Kecamatan Boja dan Limbangan mengungkapkan bahwa telah terjadi pemarginalan terhadap wilayah pesisir yaitu Kabupaten Kendal. Wilayah Kabupaten Kendal yang memang terdapat pada daerah pesisir telah diasumsikan sebagai wilayah yang kurang penting bagi pemerintahan pada saat itu.
Namun, dengan adanya tinggalan sejarah tersebut dapat menggambarkan eksistensi masyarakat pesisir yang dianggap kurang penting pada saat itu kepada masyarakat sekarang. Bukti arkeologis itu juga menggambarkan kehidupan masyarakat pesisir jaman dahulu yang jauh dari pusat pemerintahan yaitu pada poros Kedu-Prambanan.


B. Saran
Penelitian yang berkaitan dengan kawasan marginal ( pinggiran ) masih jarang dilakukan. Pada umumnya penelitian terfokus pada kawasan pusat-pusat budaya. Oleh karena itu seharusnya penelitian yang berkaitan dengan kawasan atau budaya marginal masih perlu dikaji lebih dalam dan lebih dilakukan di berbagai kawasan yang dianggap marginal. Dalam penelitian yang dilakukan dapat ditemukan berbagai peninggalan yang telah rusak, tidak terawat dan bahkan sebagai pondasi rumah pada jaman sekarang. Oleh karena itu dapat disarankan perlunya penyuluhan bagi masyarakat disekitar situs untuk ikut menjaga kelestarian situs tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Data Pokok untuk Pembangunan daerah Tingkat II Kendal, Kantor BAPPEDA Kabupaten daerah Tingkat II Kendal.

Bosch, F. D. K. 1974. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Indra. 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Makalah
Lokakarya Permuseuman Kabupaten Kendal 15-17 Juni 2005.
Tidak diterbitkan.

Istiyarti dkk. 1995. Menapak Jejak Masa Sejarah (Hindu, Buddha dan
Islam). Semarang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa
Tengah Depdikbud Jateng.

Muslichin. 2007. Identifikasi Benda Cagar Budaya di Wilayah Kabupaten
Kendal. Makalah Mata Kuliah Perspektif Sejarah Pascasarjana
Unnes. Tidak diterbitkan.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia I.
Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka.

Rochani, Ahmad Hamam. 2003. Babad Tanah Kendal. Kendal:
Intermedia Paramadina.

Suhartati, Sri. 1993. Petunjuk Singkat Objek Wisata Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Suhartati, Sri. 1994. Petunjuk singkat Objek Wisata Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Tjahjono, Baskoro Daru. 2000. Laporan Penelitian Arkeologi Budaya Marginal Masa Klasik di Jawa Tengah Bagian Barat Laut. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Wasino. 2006. Membaca Ulang Momentum Peristiwa Sejarah. Makalah
Seminar Hari Jadi Kabupaten Kendal 2006. Tidak diterbitkan.



*Naskah finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Benda Cagar Budaya Se-Jawa Tengah tahun 2008 Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. Penulis: Nastiti Robbani, pelajar SMA 2 Kendal Program IPA.

Baca Selengkapnya Klik disini !

KEMAH BUDAYA SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN MULTIKULTUR DAN PENANAMAN NILAI-NILAI SEJARAH PADA GENERASI MUDA*

A. PENDAHULUAN
Model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memaksimalkan penanaman nilai-nilai kepahlawanan selama ini kurang mendapatkan respon yang baik dari kalangan pendidik dan pemerintah. Guru sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dirasakan mengalami apa yang dianggap sebagai stagnasi dan kekakuan pembelajaran. Pemberian kurikulum yang sarat batasan nilai membuat anak didik menjadi tidak mampu memahami apa yang dapat diambil dalam pelajaran sejarah. 
Di sisi lain persoalan penanaman nilai yang tidak sepenuhnya mampu diterima secara baik oleh anak didik dapat mengakibatkan apa yang dinamakan disintegrasi cultural. Anak didik sebagai calon pewaris kebudayaan dan sejarah mengalami kebekuan dan kehilangan orientasi dengan generasi sebelumnya. Anak didik pun pada akhirnya tidak mampu merespon keperbedaan budaya dengan etnis lain yang ada di Indonesia ini. Ikatan historis antar generasi tersebut sudah terputus sehingga masing-masing etnis akan memisahkan masa lalu tanpa harus merasa kehilangan jalinan emosi dengan sejarah dan kepahlwanan bangsa ini. Persoalan ternyata tidak berhenti di titik itu, materi multikultur yang saat ini mulai gencar diaplikasikan dalam muatan materi pelajaran di bangku sekolah menengah seolah tidak dapat membuat anak didik mendapatkan sesuatu yang membuka mata hati mereka. Multikultur sebagai materi pelajaran dianggap berisi slogan kosong yang menafikan realitas keindonesiaan saat ini. 
Fakta di lapangan, pengajaran tentang multikultur di Indonesia seakan terpisah dengan pengajaran sejarah yang berisi penanaman nilai-nilai kepahlawanan. Pendidikan multikultur biasanya diberikan pada model pengajaran yang lebih condong pada mapel sosiologi, antropologi atau pendidikan kewarganegaraan. Sangat jarang terjadi pengintegrasian pendidikan sejarah dengan materi multikultur secara simultan.
 Kalaupun ada pengintegrasian multikultur dengan sejarah barangkali sebatas usaha coba-coba yang hasilnya tidak maksimal dan tidak mungkin diharapkan pencapaian manfaatnya di masa mendatang. Jika kita melihat karakteristik dari pelajaran sejarah di bangku sekolah menengah sangat tidak ada usaha untuk mengarah pada upaya penyatuan kedua materi tersebut. Sejarah sebagai sebuah media pendidikan dan pembelajaran berisi fakta-fakta masa lalu yang sangat kering dan miskin pemahaman. Sebaliknya pendidikan multikultur sangat jarang untuk mencoba melihat kenyataan historis di masa lalu yang banyak mengungkap keperbedaan masyarakat Indonesia yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan.
 Penanaman nilai sejarah dan multikultur pada hakikatnya dapat dipersatukan dengan baik jika ada usaha kreatif dari masyarakat, pemerintah, dan pihak penyelenggara pendidikan untuk memanfaatkan moment dan media apa saja agar kedua unsur itu dapat diterima tanpa membebani anak didik. Nampaknya salah satu usaha yang dapat diterima oleh beberapa kalangan, terutama anak didik adalah pemanfaatan ajang kemah budaya sebagai model pengintegrasian pembelajaran multikultur dan sejarah.
 Tulisan ini mencoba melihat sejauhmana manfaat dan efektifitas model kemah budaya dalam pengintegrasian aspek multikultur dan penanaman nilai kepahlawanan sebagai pengganti metode konvensional yang umumnya sudah dilakukan oleh bapak/ibu guru di sekolah 

B. PEMBAHASAN
1. PEMAHAMAN MULTIKULTUR 
Multikultur adalah suatu situasi dan kondisi di mana suatu negara terdiri atas suku bangsa-suku bangsa yang memiliki kandungan bahasa, budaya dan adat-istiadat masyarakat yang berbeda-beda. Secara sederhana multikultur berarti beragam kultur (KBBI, 2001). Kultur yang beraneka ragam ini di satu sisi bisa menjadi asset sebuah bangsa untuk mengembangkan pembangunan dan potensi-potensinya, namun di sisi lain kultur yang bermacam-macam ini dapat menjadi sumber persoalan dan masalah dalam pembangunan bangsa. Jika sebuah bangsa tidak mampu mengakomodasi, meramu, dan mensinergikan kultur-kultur itu dengan cara yang apik dan kontekstual maka bukan pembangunan yang diharapkan bangsa tersebut melainkan peperangan dan konflik antar suku. Sebaliknya jika bangsa itu mampu menempatkan dan menonjolkan persamaan di atas perbedaan yang secara lahiriah memang ada maka bangsa tersebut bisa mengendalikan keadaan dan mampu meletakkan dasar yang baik bagi identitas bangsa tersebut selanjutnya. Suku dan adat istiadat yang beraneka ragam bisa memicu persoalan yang pokok bagi bangsa yang plural jika bangsa tersebut tidak mampu belajar dari sejarahnya. 
Sebagai contoh: Indonesia dengan perkiraan jumlah penduduk sebesar 226 juta merupakan masyarakat multikultur. Ada sekitar 300 etnis dan bahasa dalam negara kepulauan ini (Suprapto,1982). Pada pertengahan tahun 1980-an ada sekitar 82% populasi terdiri atas 14 etnis utama, dan tahun 1986 sekitar 99,4% penduduk tersebut terbagi atas empat agama besar di dunia seperti Islam (86%) Protestan (6,5%), Katolik (3,1%) Hindu (1%) dan Budha (0,6%) (Liddle, 1997: 275). Perbedaan kultur dapat dirasakan pula pada tradisi pedesaan dan suku primitive yang langsung berhadapan dengan komunitas metropolitan yang berorientasi pada globalisasi-modernisasi.
Kekayaan kultur ini bisa mengancam sekaligus mengintegrasikan bangsa ini menuju cita-cita yang diinginkan. Jika pola manajemen yang berbasis pada keberagaman sudah pasti bangsa ini akan berhasil meraih harapan yang dicita-citakan. Namun jika pengelolaannya berbasis pada penyeragaman maka hasilnya adalah disintegrasi dan kebencian etnis satu dengan yang lainya. Bisa jadi Indonesia tinggal nama yang pernah tercatat dalam sejarah. 

2. PENDIDIKAN MULTIKULTUR
Pendidikan Multikultural merupakan pendidikan yang berbasis pada pengakuan harkat dan perbedaan peserta didik. Peserta didik sebagai insan yang tumbuh memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Model pendidikan multikultur adalah bagaimana sebuah sekolah mampu memberikan kurikulum yang mengembangkan pola keperbedaan antar sesamanya. Menurut Gorski (2001) pendidikan multikultur merupakan pendekatan progresif untuk memindahkan pendidikan yang penuh kritik dan dialamatkan pada arah kegagalan dan pola latihan yang bernuansa diskriminasi dalam pendidikan. Hal ini terkait dengan idealisasi keadilan sosial, kesamaan pendidikan dan sebuah dedikasi untuk memfasilitasi pengalaman pendidikan dalam mana semua anak didik dapat meningkatkan potensi penuh mereka sebagai pembelajar dan memiliki kesadaran sosial dalam kerangka aktivitas kemanusiaan, lokalitas, nasionalitas dan global. Pendidikan multikultur mengatakan bahwa sekolah merupakan tempat untuk meletakkan pondasi guna transformasi masyarakat dan mengurangi represi dan ketidakadilan.
 Namun demikian untuk memberikan apa yang sudah disebutkan di atas, ruang kelas yang permanent terkadang bukan alternative cara yang tepat. Kelas-kelas indoor kerap membuat anak didik bosan dan akibatnya kurang memaksimalkan ketertarikan terhadap materi multikultur di atas. Lalu apa yang bias dilakukan seorang guru untuk memotivasi anak didik mengenal lebih mendalam tentang keperbedaan dan keragaman Indonesia ini. Tentu saja menggunakan sebuah model pembelajaran di luar kelas adalah sebuah alternatif pilihan untuk merangsang anak didik tertarik dan lebih peka terhadap apa yang menjadi permasalahan bangsa ini (Muslichin, 2007: 5-6). Dengan model kemah budaya, seorang anak didik jelas akan dikumpulkan bersama dengan anak didik dari sekolah lainnya. Mereka bias jadi memiliki kultur yang berbeda-beda pula. Di sini nanti akan terjadi ajang perkenalan dan perbenturan secara alamiah nilai-nilai budaya dan tradisi yang beragam untuk saling menyapa dan menghargai. Dalam kemah Budaya itu tidak hanya nilai kultural saja yang dapat diperkenalkan antar anak didik tersebut, tetapi mereka juga dapat mengenal sejarah dari situasi dan kondisi di mana kemah tersebut diadakan. 

3. MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH
Di sisi lain membicarakan kemah budaya sebagai model penanaman nilai-nilai kepahlawanan akan lebih sistematis bila menyinggung terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsep pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk melangsungkan persiapan, pelaksanaan, dan pencapaian hasil belajar yang menyangkut bidang studi sejarah. Dalam konteks pembelajaran konvensional mapel sejarah seringkali diberikan pada anak didik dalam bentuk ceramah. Banyak orang akhirnya menganggap bahwa karak-teristik sejarah memang materi yang penuh dengan hafalan saja.
 Pandangan ini tidak benar. Di dalam kurikulum KTSP sudah diberikan keleluasaan pada guru untuk memberikan materi yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Guru dapat memberikan tambahan materi berdasarkan apa yang sesuai dengan konteks lingkungan sekolah masing-masing. Namun demikian apa yang diharapkan pemerintah melalui kurikulum terbaru tersebut belum mampu diterjemahkan dengan baik oleh para guru yang ada di lapangan.
 Dengan model pembelajaran yang teks book, ceramah, mencatat, dan menghafal jelas akan membuat pelajaran sejarah ini ditinggalkan begitu saja. Guru sejarah harusnya mampu menggiring anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam setiap kegiatan belajar. Guru sejarah hendaknya menggunakan metode CTL (contextual teaching Learning) dalam mengarahkan hakikat sebuah peristiwa masa lalu. Anak didik dapat diajak untuk menemukan sesuatu secara mandiri dengan cara menyelidiki dan menggali sendiri informasi yang menyangkut peristiwa masa lalu tersebut (Wasino, 2007: 1-2).
 Agaknya, metode yang mengajak anak didik memasuki apa yang dinamakan lingkungan sosial dan budaya belum diperkenalkan sama sekali. Sejauh ini sangat jarang guru mempergunakan kesempatan ini untuk berupaya mengarahkan anak didik mencari sendiri informasi apa saja sehingga hal itu dapat membangun pengetahuan sejarah secara mandiri (konstruktivisme).
 Dalam konstruktivisme ini, guru tidak dengan sendirinya memin-dahkan pengetahuan kepada anak didik dalam bentuk yang serba sempurna. Anak didik harus membangun suatu pengetahuan berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil usaha peserta didik itu sendiri. Hal ini terkait dengan aktivitas mental anak didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Pikiran anak didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungannya sendiri. Realita yang dihadapi anak didik adalah realita yang mereka bina sendiri. Untuk itu, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Jika pengetahuan baru sudah mampu diserap dan dijadikan pegangan mereka, baru guru dapat memberikan informasi pengetahuan yang melimpah (Utomo, 2007: 4) 

4. KEMAH BUDAYA DAN PENANAMAN NILAI KEPAHLAWANAN
Oleh karena itu, sebagai upaya pembentukan kemampuan menemukan sesuatu secara mandiri informasi yang akan dibentuk menjadi pengetahuan tersebut (Inquiry) maka salah satu upayanya adalah model kemah budaya. Model ini hampir sama dengan lawatan sejarah yang sering dilakukan oleh Sie Jarahnitra Subdin Kebudayaan Jawa Tengah, hanya saja dalam kemah budaya ini anak didik berada di sebuah tempat yang menyerupai tenda atau home stay yang di dalam kegiatan tersebut ada beragam permainan, lomba, atraksi kesenian, sarasehan, dan sebagainya yang dapat memacu anak didik mengenal budaya lingkungan dan sejarah lokal.
 Model kemah budaya ini menjawab paradigma bahwa sejarah tidak hanya berkaitan dengan masa lalu saja. Kemah budaya justru mampu mengingatkan apa yang dapat kita hindarkan dan mana yang dapat kita pupuk terus sebagai sumber motivasi membangun kebersamaan. Dalam konteks sejarah, kebersamaan justru prioritas dibangun melalui komitmen dan tindakan nyata, seperti halnya dahulu ketika bangsa kita mengusir penjajah (Nurjanto, 2007: 5 & Lestariningsih, 2007: 3).
 Kemah budaya merupakan alternatif pembelajaran yang menarik dan tidak membosankan. Kemah budaya adalah upaya menjadikan sejarah sebagai kata kerja. Sejarah sebagai praktik tentu akan lebih menyenangkan bagi siswa untuk belajar apalagi diimbangi dengan berwisata. Guru dapat mengajak anak didik mengunjungi situs dan monumen sejarah. Untuk memperdalam pemahaman dan pemaknaan peserta kemah budaya dapat berdialog dengan sejarawan, tokoh/pelaku sejarah dan narasumber sejarah lokal (Zuhdi, 2007: 4).
 Sejarah perjuangan bangsa dapat dilacak pada situs-situs, bangunan bersejarah, dan lingkungan masyarakat setempat. Masyarakat melalui sejarah lisan atau tradisi lisan masih menyimpan kenangan tentang para pejuang yang diasingkan atau yang ada di daerahnya. Dalam hal ini, tempat-tempat tersebut menjadi simpul-simpul yang menghubungkan sejarah antar daerah yang memberi sumbangan pada terbentuknya keindonesiaan. Oleh karena itu upaya penelusuran simpul tersebut dapat dilakukan melalui kemah budaya (Nurjanto, 2007: 5).
Dalam konteks sejarah lokal, khususnya apa yang terjadi di Kabupaten Kendal ini, kemah budaya dapat juga dijadikan sebagai media untuk melihat langsung situs peninggalan sejarah lokal yang terdiri atas:
a. Kompleks Makam Bupati Kaliwungu
Kompleks makam ini terletak di dukuh Protokulon, Protomulyo Kecamatan kaliwungu. Secara keseluruhan kompleks makam ini dibagi dalam tiga bagian yang disebut Gedong Lor, Gedong Tengah, dan Gedong Kidul. 
b. Makam Kyai Haji Asy’ari
Makam ini terletak di sebuah kompleks makam di daerah perbukitan yang sama dengan kompleks makam Bupati Kaliwungu. Wilayah ini terletak di desa Protowetan Protomulyo Kaliwungu. Ketika masih hidup K.H. Asy’ari adalah utusan Mataram yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut (Indra, 2005: 2).
c. Makam Sunan Katong
Tokoh yang dimakamkan di sini adalah Sunan Katong. Semasa hidup, beliau adalah putra Brawijaya terakhir dari Majapahit yang menyebarkan agama Islam di daerah Kaliwungu.
d. Makam Pakuwojo
Tokoh yang dimakamkan di sini adalah Pakuwaja bersama istrinya. Menurut juru kunci, beliau adalah murid Sunan Katong.
e. Gapuro Kabupaten Kaliwungu
Gapuro ini dianggap berasal dari masa pemerintahan bupati Kaliwungu I yaitu sekitar abad XVI M. Gapuro yang terletak di wilayah desa Kutoharjo Kaliwungu ini dahulu merupakan gerbang masuk ke kabupaten dari arah utara (Rochani, 2003).
f. Yoni dan Peti Batu
Terdapat sebuah fragmen yoni berbahan batu andesit terletak di dukuh Nglimut Gonoharjo Limbangan. Di sebelah selatannya terletak sebuah peti batu. Bentuknya berupa balok empat persegi panjang dengan lubang berbentuk segi empat di bagian atas.
g. Sisa Bangunan Candi
Terdapat sisa-sisa bangunan candi seperti yoni, kemuncak, batu candi, balok batu candi, antefik, dan peripih di daerah dukuh Nglimut Gonoharjo Limbangan.
h. Situs Segono
Di desa Gonoharjo ditemukan sisa-sisa tinggalan arkeologis berupa fragmen arca ganeca, agastya, Siwa, kemuncak dan lingga semu. Situs ini terletak pada ketinggian 600 m dpl di lereng barat Gunung Ungaran (Anonim, 2000: 11-13).
  
PENUTUP
Oleh karena itu adanya obyek-obyek sejarah yang berdekatan dengan seting dilaksanakan kegiatan kemah budaya, semakin diharapkan mampu mendekatkan anak didik atau peserta kemah budaya pada realitas masa lalu yang sebenarnya. Mereka dapat bertanya langsung pada juru kunci makam atau situs yang setidaknya mengetahui hal-ikhwal sebuah benda cagar budaya. Di sela-sela bertanya mereka dapat menikmati keindahan alam lingkungan dan merasakan prosesi napak tilas ke masa lalu melalui mekanisme yang menyehatkan.
 Dengan cara tersebut anak didik akan menemukan sebuah transformasi pengetahuan historis dan budaya dengan sendirinya. Rasa kehausan mereka akan informasi tokoh-tokoh masa lalu memunculkan semangat pencarian tentang siapa pahlawan dan tokoh masa lalu yang di lingkungan setempat.  
 Ketika proses itu berjalan maka dengan sendirinya akan memunculkan pula ego budaya masing-masing. Ego ini akan berangsur hilang bila pada saat berdiskusi dan bertanya jawab yang ada dalam session tersebut dilaksanakan. Peserta yang berasal dengan latar belakang budaya dan sosial satu dengan yang lainnya akan merasa sama dan menyatu dalam status sosial mereka yang baru yaitu sama-sama sebagai peserta kemah budaya. Di sini mereka mulai menemukan arti persamaan dan persaudaraan. Apalagi dalam kegiatan kemah budaya juga diimbangi dengan atraksi seni budaya yang bermacam-macam semakin menambah semangat penghargaan dengan insan sesama.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Budaya Marginal Masa Klasik di Jawa Tengah Bagian Barat Laut. Laporan Penelitian Arkeologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Hartatik, Endah Sri, 2007. Pemanfaatan Museum, Monumen Perjuangan, Makam Pahlawan dan Saksi Sejarah sebagai Sumber Sejarah. Makalah Seminar Peningkatan Pembinaan Kesadaran Sejarah bagi Generasi Muda Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Propinsi Jawa Tengah di Kopeng Kabupaten Semarang.

Indra. 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Makalah Lokakarya Permuseuman Jawa Tengah di Kendal 15-17 Juni 2005.

Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2007. Lawatan Sejarah sebagai Program Strategis dalam Meningkatkan Kesadaran Sejarah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Unnes: Semarang.

Muslichin, 2007. Tantangan Pendidikan Multikultur dalam Konteks Kemajemukan Masyarakat Indonesia. Makalah Mata kuliah Pendidikan Multikultur Program Pascasarjana Pendidikan IPS Unnes Semarang.

------------, 2007. Identifikasi Benda Cagar Budaya di Kabupaten Kendal. Makalah Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Pendidikan IPS Unnes Semarang.

Nurjanto, 2007. Wisata Sejarah sebagai Salah Satu Upaya Menelusuri Perjalanan Sejarah Bangsa. Makalah Peningkatan Pembinaan Kesadaran Sejarah bagi Generasi Muda. Subdin Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah.

Zuhdi, Susanto. 2007. Lawatan Sejarah sebuah Tawaran Metode Efektif untuk Pembelajaran Sejarah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Unnes: Semarang.
Utomo, Cahyo Budi. Lawatan Sejarah sebagai Model Pembelajaran Sejarah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Unnes: Semarang.

Wasino, 2007. Penelitian Sejarah di Kalangan Siswa sebagai Model Pembelajaran Sejarah di Sekolah. Makalah Seminar Nasional (Tidak Diterbitkan). Unnes: Semarang.

Liddle, R. W. 1997. Coercion, Cooptation, and the Management of Ethnic Relations in Indonesia dalam Brown and Ganguly (eds.) Government Policies and Ethnic Relations in Asia ad the Pacific.

Gorski, Paul. Sejarah Singkat Pendidikan Multikultural dalam Salim, Agus, 2007. Masyarakat Multikultural: Ideologi, Konsepsi dan Aplikasi. Semarang: UNNES.


*Makalah pendamping dalam Sarasehan Kemah Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal Di Protomulyo Kaliwungu 30 S/D 2 Desember 2007. Penulis: Muslichin, alumni Fakultas Sastra Undip dan pascasarjana Pendidikan IPS UNNES.

Baca Selengkapnya Klik disini !