forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Kamis, 06 Agustus 2009

AGENDA KEGIATAN MGMP SMA TAHUN 2009/2010 KABUPATEN KENDAL

Selama tiga tahun ini, MGMP sejarah mengalami kevakuman kegiatan. Selama ini tidak ada pertemuan yang membahas persoalan guru dan kegiatan pembelajaran di kelas. Guru-guru sejarah kebingungan ketika setiap tahun ajaran baru menjelang, ada saja persoalan yang datang silih berganti. Oleh karena itu agar masalah tersebut tidak terulang lagi, dalam satu tahun ke depan, MGMP Sejarah sudah menyiapkan agenda dan jadual penyelenggaraan kegiatan MGMP.

Adapun tempat penyelenggaraan MGMP setiap bulannya dan agenda apa yang harus dibahas tersebut terlampir sebagai berikut:


1. Pertemuan MGMP bulan Oktober 2009 bertempat di SMA 1 Cepiring, membahas pengembangan silabus dan RPP, di mana pembahasan RPP kelas x anggotanya adalah Diah Retnowati, Muslichin, Nikmah, Agung dan Endang Kumalawati. Pembahasan kelas XI IPS anggotanya adalah Enny Boedi Oetami, Jumono, Tuti Handayani, sedangkan RPP kelas XI IPA anggotanya Sri Puji Lestari, Tjiptoro, dan Purwanto. Pembahasan RPP kelas XII adalah Indayani Sumartini, Eka Yuli, Sri Sumarni. Pembahasan RPP Program bahasa: Yulianto dan Agus Kristanto.


2. Pertemuan MGMP bulan Nopember 2009 bertempat di SMA 1 Pegandon, yang membahas pengembangan bahan ajar (modul) untuk semester dua.


3. Pertemuan MGMP bulan Desember 2009 bertempat di SMA 1 Boja yang membahas tentang Pembentukan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) cabang Kendal.


4. Pertemuan MGMP bulan Januari 2010 bertempat di SMA 1 Kaliwungu, yang membahas tentang Kepanitiaan Studi Banding dan Program Wisata Sejarah di Mojokerto Jawa Timur.


5. Pertemuan MGMP bulan Pebruari 2010 bertempat di SMA 1 Sukorejo yang membahas tentang penggunaan IT dalam Pembelajaran Sejarah.


6. Pertemuan MGMP bulan Maret 2010 bertempat di SMA PGRI Kendal membahas tentang Diklat Bahasa Inggris untuk Guru Sejarah. Tutor dari Unnes.


7. Pertemuan MGMP bulan April 2010 di SMA 1 Singorojo membahas tentang Seminar Sejarah Lokal.


Demikian agenda kegiatan dalam tahun ajaran 2009/2010. Sangat mungkin pada saatnya nanti ada beberapa perubahan kecil yang menyangkut kegiatan apa yang harus terlaksana lebih dahulu. Namun demikian, agenda kegiatan ini menjadikan guru sejarah SMA menjadi sangat optimis bahwa kegiatan MGMP akan tetap terlaksana secara kontinuitas dan terus-menerus.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

PEMBENTUKAN AGMP SEJARAH SMA KABUPATEN KENDAL*

Dalam rangka memberikan kesejahteraan guru-guru sejarah di tingkat SMA dan sederajat, maka rapat perdana MGMP SMA se-Kabupaten Kendal yang telah vakum tiga tahun memutuskan untuk membentuk Asosiasi Guru Mata Pelajaran (AGMP) Sejarah Kabupaten Kendal. Dengan adanya AGMP diharapkan guru sejarah memiliki organisasi tempat berlindung yang lebih pasti. AGMP bergerak di bidang sosial dan advokasi yang mendukung peran guru di bidang kemasyarakatan. Jika MGMP sejarah lebih menitikberatkan bagaimana dan seperti apa proses pembelajaran di kelas, kenaikan pangkat, dan pembahasan bahan ajar, maka AGMP ini mewakili para guru untuk mengembangkan peran sosialnya yang selama ini kurang diperhatikan.

Dahulu peran sosial guru terwakili adanya PGRI (persatuan Guru Republik Indonesia). Namun demikian, faktanya terlihat bahwa PGRI lebih condong untuk mengatasi persoalan karir dan kemasyarakatan guru-guru sekolah dasar. Adanya wilayah kegiatan PGRI yang lebih luas sehingga menyebabkan organisasi ini tidak terlalu memperhatikan tugas dan peran guru bidang studi di tingkat SMA. Para guru mengalami kebingungan dalam menyalurkan aspirasinya. Mereka akhirnya menjadikan MGMP sebagai organisasi tempat guru berdiskusi tentang pembelajaran menjadi wahana untuk membahas peningkatan karier dan pernyataan sikap-sikap sosial dan politik.

Keadaan tersebut jelas kurang pas. Oleh karena itu, AGMP mengembalikan pada posisi yang sebenarnya terhadap persoalan-persoalan guru yang selama ini tertampung dalam MGMP atau bahkan PGRI.  Dengan adanya AGMP maka ruang gerak guru serasa lebih luas tanpa harus melanggar ketentuan suatu organisasi. 
Rapat MGMP Sejarah di SMA 1 Weleri itu akhirnya menyepakati pembentukan AGMP setelah melalui diskusi yang cukup melelahkan  di antara guru-guru yang hadir. Berdasarkan rapat tertanggal 6 Agustus 2009, maka ketua MGMP Sejarah Kabupaten Kendal Drs. Tjiptoro, M.Pd selaku pengurus AGMP Propinsi Jawa Tengah mempertimbangkan dan memutuskan beberapa guru untuk menjabat organisasi yang baru itu. Adapun susunan AGMP Sejarah Kabupaten Kendal adalah sebagai berikut:
Ketua Umum: Drs. Jumono (SMA 1 Boja)
Ketua I: Drs. Agus Kristiono (SMA 1 Kendal)
Ketua II: Purwanto, S.Pd (SMA 1 Pegandon)
Sekretaris: Muslichin, SS, M.Pd (SMA 2 Kendal)
Wakil Sekretaris: Dra. Endang Kumalawati (SMA 1 Cepiring)
Bendahara: Tuti Handayani, S.Pd (SMA 2 Kendal)
Wakil Bendahara: Indriyana, S.Pd (SMA 1 Sukorejo)
Demikianlah susunan organisasi AGMP yang baru terpilih. Seksi-seksi sebagai kelanjutan tugas selanjutnya belum terbentuk mengingat banyaknya agenda yang dibicarakan dalam MGMP siang tadi. Semoga dengan adanya AGMP ini dapat meningkatkan peran sosial guru dalam lingkungan sekolah maupun di luar itu.


Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

Minggu, 02 Agustus 2009

UPAYA DAN STRATEGI PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN KENDAL*

Upaya pelestarian budaya sebagai aset jati diri dan identitas sebuah masyarakat di dalam suatu komunitas budaya menjadi bagian yang penting ketika mulai dirasakan semakin kuatnya arus globalisasi yang berwajah modernisasi ini. Pembangunan sektor kebudayaan selanjutnya juga akan menjadi bagian yang integral dengan sektor lain untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di tengah masyarakat (Joharnoto, 2005: 1).

Di samping itu era serba digital saat ini merupakan suatu hal yang harus diterima dengan segala resiko dan dampaknya. Besarnya pengaruh asing yang masuk akan membawa pengaruh terhadap perilaku dan sikap bangsa ini baik perilaku sosial, politik, ekonomi, maupun budayanya. Oleh karena itu untuk menangkal dan menanggulangi arus negatif budaya asing yang masuk ke Indonesia dengan jalan memberikan informasi budaya kepada generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya (Istiyarti, 2007: 1).

Salah satu bentuk penginformasian budaya kepada publik adalah menyampaikan segala produk budaya yang telah terdokumentasikan baik oleh pemerintah maupun swasta melalui museum atau kantor yang menjaga pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) yang selama ini dimiliki oleh daerah-daerah tertentu. Pemerintah maupun pihak swasta tertentu mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi tentang keberadaan BCB itu kepada publik. Tanpa melibatkan publik terutama generasi muda maka bisa jadi keberangsungan dan kontuinitas pelestarian budaya tidak akan dapat berjalan terus-menerus.

Di samping itu, masalah kepekaan pemerintah daerah dalam melihat keberadaan BCB terkadang tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya. Banyak terlihat beberapa daerah yang sudah memiliki prasarana dan daya dukung dalam pemeliharaan BCB, namun demikian ada pula beberapa daerah lain yang justru belum memiliki sarana dan prasarana pemelliharaan BCB yang ideal.
Di Kabupaten Kendal sebagai misal. Daerah yang cukup kaya pangan ini ternyata memiliki kandungan BCB dari masa lalu kerajaan Hindu-Buddha. Banyak candi, arca, serta lingga-yoni yang terdapat di kawasan atas kabupaten ini. Akan tetapi pemerintah daerah belum memiliki keseriusan untuk mengatasi bagaimana benda-benda itu bernilai guna tinggi bagi generasi sekarang. Pemerintah daerah belum melakukan pemeliharaan yang optimal. Benda bersejarah itu dibiarkan tergeletak begitu saja hingga banyak bahan materi yang diambil penduduk setempat untuk keperluan pondasi rumah, dapur, atau mistik (Robbani, 2008: 2).

Amat sayang sekali perlakuan pemerintah daerah yang kurang memiliki kepekaan sejarah dan budaya seperti itu. Di sisi lain peninggalan–peninggalan yang berada di Kabupaten Kendal sampai sekarang tak banyak orang yang tahu. Mengingat sulitnya mencari sumber tertulis yang dapat menjelaskan tentang peninggalan Hindu-Budha tersebut. Dalam pengungkapannya pun hanya dapat ditinjau dari sisa-sisa bangunan candi-candi dan arca–arca yang ada.

Oleh karena itu karya tulis ini akan mengungkapkan sejauhmana usaha dan strategi pemerintah daerah Kabupaten Kendal dalam menjaga dan melestarikan situs kuno Hindu-Buddha, peninggalan masa Islam, dan bangunan-bangunan warisan Kolonial Belanda sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap sejarah dan masa lalu bangsa Indonesia ini sendiri. Bagi pemerintah sendiri, karya tulis ini dapat berguna sebagai wahana kritik yang bersifat membangun sekaligus evaluasi atas pencapaian target kerja mereka dan sarana reflektif untuk memperbaiki kinerja di masa mendatang, bagi para pelajar lainnya karya tulis ini dapat memberikan suport dan daya pikat untuk merangsang melakukan kajian yang sama sehingga dapat melatih budaya penelitian di antara para pelajar, dan bagi masyarakat umum karya tulis ini berfungsi untuk memberikan informasi penting tentang keberadaan BCB yang selama ini telah mendapatkan perhatian pemerintah Kabupaten Kendal.

B. PEMBAHASAN
1. Tulisan Sebelumnya

Laporan yang berkaitan dengan persoalan pelestarian BCB belum begitu banyak dilakukan. Umumnya tulisan tentang BCB banyak dillaksanakan oleh Pemerintah Daerah, guru, dan beberapa pelajar. Namun demikian laporan hasil mereka bersifat saling melengkapi. Dengan demikiaan, karya tulis ini pun akhirnya menjadi pelengkap dan berguna bagi para pembaca maupun pengambil keputusan terhadap strategi efektif yang bagaimana lagi untuk melestarikan BCB di Kabupaten Kendal.

Tulisan pertama yang menjadi acuan karya tulis ini adalah Laporan Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala Prambanan Tahun 2005 yang berjudul Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal (Indra, 2005). Tulisan ini lebih memfokuskan pembahasan tentang kompleks makam Bupati Kaliwungu, makam Kyai Haji Asy’ari, makam Sunan Katong, makam Pakuwojo, Gapura Kabupaten Kaliwungu, dan Yoni maupun peti batu. Namun demikian sifat tulisan ini deskriptif yang memaparkan saja keberadaan BCB tersebut tanpa menganalisis bagaimana upaya pemerintah dalam menjaga situs-situs BCB tersebut.

Tulisan kedua yang dijadikan acuan karya tulis ini adalah Budaya Marginal Masa Klasik di Jawa Tengah (Tjahyono, 2000). Berbeda dengan yang laporan di atas, laporan Balai Arkeologi Yogyakarta ini lebih memfokuskan pembahasan pada aspek politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Kendal dan Batang pada masa Hindu-Buddha yang dihubungkan dengan artefak sisa-sisa peninggalannya.
Tulisan ketiga yang menjadi acuan selanjutnya adalah Identifikasi Benda Cagar Budaya di wilayah Kabupaten Kendal (Muslichin, 2007). Tulisan Muslichin ini juga berupa deksripsi singkat mengenai BCB peninggalan masa Hindu-Buddha yang banyak terdapat di Kabupaten Kendal bagian selatan. Tulisan ini juga belum membahas tentang bagaimana peran pemerintah setempat dalam menjaga dan melestarikan BCB di yang ada di wilayahnya.
Tulisan keempat yang masih menjadi acuan karya tulis ini adalah Nuansa Pemarginalan Masyarakat Pesisir dalam Jejak–Jejak Peninggalan Hindu-Buddha di Kabupaten Kendal (Robbani, 2008). Tulisan rekan pelajar ini membahas tentang posisi dan kondisi sosial historis Kabupaten Kendal pada masa Hindu-Buddha. Robbani juga membahas pula tentang bukti-bukti keberadaan pemerintahan para rakai yang ada di Kabupaten Kendal masa klasik berdasarkan sisa-sisa peninggalan Hindu-Buddha. Otomatis, pembahasan Robbani ini juga kurang terkait dengan tema pengkajian karya tulis ini. Namun demikian informasi data arkeologis dapat dipergunakan untuk membuka pembahasan tentang strategi pelestarian budaya.
Tulisan kelima yang menjadi acuan tulisan ini adalah Makam Wali sebagai Medan Budaya dan Pewarisan Nilai Tradisi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Kendal (Suryanto, 2008). Tulisan Slamet Suryanto ini cukup memberikan data-data tentang BCB yang ada di kompleks pemakaman para wali di Protowetan Kaliwungu. Namun demikian Slamet Suryanto hanya memfokuskan bagaimana usaha masyarakat setempat dalam menjaga keberadaan makam wali tersebut melalui tradisi syawalan, nyadran, dan ziarah kubur sebagai upaya mengenalkan generasi sekarang dengan warisan Islam masa lalu itu.
Tulisan terakhir yang menjadi acuan adalah Eksplorasi Sejarah Lokal Sebuah Upaya Penanaman Nilai-nilai Kepahlawanan Melalui Pembelajaran Sejarah Berbasis Contextual Teaching and Learning (Oetami, 2009). Tulisan Enny Boedi Oetami ini menyoroti bagaimana sejarah lokal dapat dijadikan sebagai sarana belajar sejarah. Namun demikian Oetami hanya mengeksplorasi BCB secara deskriptif saja tanpa menghubungkan dengan usaha pemerintah dalam melestarikan BCB itu sendiri.

2. Obyek Benda Cagar Budaya di Kabupaten Kendal
Pada dasarnya sebuah wilayah mempunyai banyak BCB yang dapat dijadikan sebagai sarana kegiatan pariwisata, pembelajaran, dan penelitian. Namun demikian, banyaknya sarana BCB itu seringkali tidak diketahui oleh masyarakat, apalagi guru dan siswa. Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Kendal. Kurangnya sosialisasi dan informasi ini menjadikan publik tidak mengenal apa yang dimaksud dengan BCB itu sendiri.
Keberadaan pemeliharaan BCB sendiri terkait dengan tata aturan yang telah tersusun secara sistematis dan hierarkhis. Tata aturan itu adalah UU No. 5/1992 tentang BCB, PP No. 10/1993 tentang penjelasan UU No. 5/1992, PP No. 19/1995 tentang pemeliharaan dan pemanfaatan BCB di museum dan PP No. 25/2000 tentang kewenangan pemerintah dan propinsi untuk menyelenggarakan propinsi, suaka peninggalan sejarah dan purbakala dan kajian sejarah dan nilai tradisional. Selain produk hukum tersebut, masih ada keputusan menteri sebagai penjabaran PP yang telah diterbitkan yaitu: Kepmendikbud No. 087/P/1993 tentang pendaftaran BCB, Kepmendikbud No. 062/U/1995 tentang pemilikan, penguasaan, pengalihan, dan penghapusan BCB atau Situs, dan Kepdirjenbud No. 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan BCB (Juharnoto, 2005: 4).
Oleh karena itu, melihat produk hukum di atas, upaya dan usaha untuk melaksanakan pelestarian BCB itu bukan sesuatu yang mengada-ada, bahkan menjadi sesuatu yang wajib yang harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk melindungi dan menjaga produk bangunan atau artefak yang usianya di atas 50 tahun dan memiliki nilai historis tersendiri. Pemerintah memiliki payung hukum yang kuat untuk menindak siapaa saja yang merugikan keberadaan BCB di wilayah administrasinya.
Seperti halnya tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Kendal memiliki kepedulian terhadap BCB-BCB yang ada di wilayahnya. Beberapa BCB yang menjadi perlindungan Pemerintah Kabupaten Kendal dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata adalah:
a. Kompleks Makam Bupati Kaliwungu
Kompleks makam ini terletak di dukuh Protokulon, Protomulyo Kecamatan kaliwungu. Secara keseluruhan kompleks makam ini dibagi dalam tiga bagian yang disebut Gedong Lor, Gedong Tengah, dan Gedong Kidul.
b. Makam Kyai Haji Asy’ari
Makam ini terletak di sebuah kompleks makam di daerah perbukitan yang sama dengan kompleks makam Bupati Kaliwungu. Wilayah ini terletak di desa Protowetan Protomulyo Kaliwungu. Ketika masih hidup K.H. Asy’ari adalah utusan Mataram yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut (Indra, 2005: 2).
c. Makam Sunan Katong
Tokoh yang dimakamkan di sini adalah Sunan Katong. Semasa hidup, beliau adalah putra Brawijaya terakhir dari Majapahit yang menyebarkan agama Islam di daerah Kaliwungu.
d. Makam Pakuwojo
Tokoh yang dimakamkan di sini adalah Pakuwaja bersama istrinya. Menurut juru kunci, beliau adalah murid Sunan Katong.
e. Gapuro Kabupaten Kaliwungu
Gapuro ini dianggap berasal dari masa pemerintahan bupati Kaliwungu I yaitu sekitar abad XVI M. Gapuro yang terletak di wilayah desa Kutoharjo Kaliwungu ini dahulu merupakan gerbang masuk ke kabupaten dari arah utara (Rochani, 2003).
f. Yoni dan Peti Batu
Terdapat sebuah fragmen yoni berbahan batu andesit terletak di dukuh Nglimut Gonoharjo Limbangan. Di sebelah selatannya terletak sebuah peti batu. Bentuknya berupa balok empat persegi panjang dengan lubang berbentuk segi empat di bagian atas.
g. Sisa Bangunan Candi
Terdapat sisa-sisa bangunan candi seperti yoni, kemuncak, batu candi, balok batu candi, antefik, dan peripih di daerah dukuh Nglimut Gonoharjo Limbangan.
h. Situs Segono
Di desa Gonoharjo ditemukan sisa-sisa tinggalan arkeologis berupa fragmen arca ganeca, agastya, Siwa, kemuncak dan lingga semu. Situs ini terletak pada ketinggian 600 m dpl di lereng barat Gunung Ungaran (Anonim, 2000: 11-13 dan Muslichin, 2007: 4-5).
i. Pabrik Gula Cepiring yang terletak di Kecamatan Cepiring Kabupa-
ten Kendal. Pabrik ini dibangun pada masa sisten Tanam Paksa Pe-
merintah Kolonial Belanda.
j. Tugu Perjuangan Kemerdekaan di Limbangan. Tugu ini sebagai
bentuk perjuangan masyarakat Limbangan dalam rangka menegak-
kan kemerdekaan. Mereka melawan tentara sekutu yang saat itu se-
dang menggempur Ambarawa. Pertempuran di Limbangan ini ada
keterkaitannya dengan peristiwa Ambarawa.
k. Asrama PT Kereta Api Indonesia di Desa Bugangin Kecamatan Kota Kendal. Bangunan asrama ini satu bukti peninggalan sejarah perkereta apian di Indonesia pada masa Kolonial Belanda.
l. Perumahan Pabrik Gula di Desa Gemuh Blanten Kecamatan Gemuh. Beberapa rumah untuk pejabat setingkat opziechter atau pengawas perkebunan masih berdiri di Desa Gemuh Blanten.
m. Gedung Perjuangan Pergerakan Nasional di Jalan Pemuda Kendal. Gedung ini selalu dipergunakan untuk kegiatan organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gedung ini selama 20 tahun pernah dipergunakan sebagai SMA 1 Kendal. Namun demikian, sekarang gedung ini sudah tidak ada lagi. Gedung ini berubah fungsi menjadi sarang walet.
n. Eks Dutchs School di Limbangan. Gedung ini dulu dipergunakan sebagai sekolah anak Belanda setingkat HIS.
o. Gedung SMP 1 Kendal di Kota Kendal. Gedung ini dibangun pada tahun 1897. Namun demikian pada tahun 2005, gedung ini dirobohkan dan diganti menjadi sarana pertokoan Kendal Permai (Oetami, 2009: 8).
Demikian beberapa BCB yang ada di Kabupaten Kendal. BCB tersebut ada yang masih tetap terjaga kondisinya, ada yang direnovasi dan dipergunakan sesuai aturan hukum, dan ada yang dirobohkan karena untuk kepentingan perekonomian dan bisnis.

3. Usaha dan Strategi Pemerintah dalam Melestarikan BCB
Beragam usaha yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Kendal untuk melestarikan keberadaan Benda Cagar Budaya. Usaha yang dilakukan pemerintah adalah (Anonim, 2005: 1-6):
a. Mengklasifikasikan dan mendokumentasikan BCB yang berusia sangat tua. Kategori ini adalah beberapa BCB produk masa Hindu-Buddha yang jumlahnya tidak begitu banyak namun penting untuk kegiatan pariwisata dan pengembangan wawasan sejarah generasi sekarang.
b. Mengklasifikasikan dan mendokumentasikan BCB hasil budaya Islam. Dalam hal ini adalah keberadaan makam para tokoh terkenal, tokoh agama, pejabat formal, wali, dan sebagainya.
c. Mengklasifikasikan dan mendokumentasikan BCB hasil budaya masa Kolonial Belanda. Beberapa bangunan hasil masa Belanda diklasifikasikan berdasarkan usia dan aspek historisnya.
d. Mengirimkan BCB hasil peninggalan Hindu-Buddha yang berkategori Benda Bergerak pada museum propinsi Jawa Tengah (Museum Ronggowarsito). Hal ini dilakukan karena sejauh ini Pemda Kendal belum memiliki satu museum pun untuk menyimpan benda bergerak tersebut.
e. Menugaskan beberapa personil dari masyarakat setempat untuk menjadi juru kunci atau petugas yang mampu menjelaskan informasi terkait dengan BCB tersebut. Petugas yang berasal dari lingkungan setempat ini mampu memberikan penjagaan keamanan BCB sehingga mengurangi aksi vandalisme.
Selain usaha yang telah dilaksanakan pemerintah daerah Kabupaten Kendal, ada strategi pula yang dilakukan pemerintah untuk melestarikan BCB di wilayah ini. Strategi yang dilakukan Pemda Kendal dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata adalah:
a. Mengenalkan BCB yang ada melalui kegiatan kokurikuler. Dalam hal ini pemerintah berupaya mengenalkan beberapa artefak dan peninggalan yang ada di wilayah Kabupaten Kendal kepada siswa dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan SMA. Pengenalan artefak dan peninggalan budaya itu sangat penting bagi siswa dan anak-anak. Jika mereka sudah mendapatkan pengenalan tentang BCB maka sejak usia dini telah memahami betapa pentingnya makna sebuah BCB bagi keberadaan sebuah bangsa.
b. Mengenalkan BCB yang ada melalui kegiatan ekstrakurikuler. Melalui kegiatan kemah budaya dan jelajah lingkungan maka siswa dan anak-anak dapat diperkenalkan dengan berbagai BCB yang ada di wilayah ini. Kemah budaya mengajak anak didik mengenal BCB dalam kurun waktu tiga sampai lima hari, dan dalam program jelajah desa, anak-anak dikenalkan pada BCB dalam format jalan-jalan santai, lintas alam dan mengenal lingkungan. Paket kemah budaya sudah dua kali dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal.
c. Mengenalkan BCB melalui paket pariwisata. Dengan menambahkan berbagai atraksi dan pementasan tertentu di sekitar wilayah BCB, maka anak akan datang dan mengenal keadaan BCB yang ada di daerah tersebut. Acara ini sangat memungkinkan jika di daerah tersebut terdapat paket pariwisata lainnya yang memiliki nilai jual yang tinggi seperti pemandian air panas Nglimut yang menyatu dengan BCB Candi Argo Kusumo Gonoharjo, serta wisata Curug Sewu dengan lokasi beberapa yoni dan situs di Sukorejo.
d. Mengagendakan beberapa ritus dan tradisi yang berkaitan dengan BCB. Tradisi seperti syawalan, ziarah kubur, wiwitan, dan weh-wehan bisa dipadukan dengan upaya mengenalkan BCB baik secara langsung maupun tidak langsung pada masyarakat. Umumnya bentuk agenda tradisi itu berkaitan dengan BCB peninggalan Masa Islam.
e. Memberikan sosialisasi secara resmi pada kegiatan sarasehan atau workshop yang melibatkan sejarawan, arkeolog, guru sejarah, budayawan, seniman, dan masyarakat umum di mana materinya berkaitan dengan BCB. Kegiatan ini sudah menjadi acara tahunan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi. Namun demikian untuk skala kabupaten, agaknya Dinas Kebudayaannya baru mengadakan dua kali saja.
Itulah beberapa usaha dan strategi pemerintaah daerah Kabupaten Kendal dalam rangka menjaga dan melestarikan BCB-BCB yang ada di wilayahnya. Usaha yang intensif tetap terus dilakukan melalui berbagai pertemuan baik formal maupun informal. Namun demikian, karena kekurangsigapan dinas terkait terhadap permasalahan BCB baik secara normatif-yuridis maupun substansialnya, maka ada beberapa BCB yang akhirnya harus mengalami nasib yang mengenaskan. Gedung eks SMP 1 Kendal dan Gedung eks SMA 1 akhirnya mengalami nasib yang cukup naas karena harus dihancurkan demi kepentingan ekonomis dan bisnis pihak-pihak tertentu.

C. PENUTUP
Keberhasilan pengelolaan pelestarian BCB yang ada di Kabupaten Kendal memang belum memberikan hasil yang optimal. Langkah-langkah perbaikan kinerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal masih tetap berjalan secara berkesinambungan. Kegagalan dalam upaya pemeliharaan dan perlindungan pada awal-awal era Reformasi jangan sampai terulang lagi. Dinas Kebudayaan melaksanakan program perlindungan dan pelestarian jangan sampai gentar dan takut melawan tekanan-tekanaan politik yang bersifat menyingkirkan keberadaan BCB untuk kepentingan kelompok ekonomi tertentu saja. Akhirnya, untuk tetap melestarikan BCB yang ada di Kabupaten Kendal, Pemda harus pula melibatkan masyarakat, LSM, para guru, dan siswa untuk terlibat dalam pemeliharaan BCB sesuai dengan tugas dan porsinya masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 2005. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Benda Cagar
Budaya. Makalah Lokakarya Permuseuman Kabupaten Kendal 15-17 Juni
2005. Tidak diterbitkan.

Indra. 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Makalah Lokakarya Permuseuman
Kabupaten Kendal 15-17 Juni 2005. Tidak diterbitkan.

Istiyarti dkk. 1995. Menapak Jejak Masa Sejarah (Hindu, Buddha dan Islam). Semarang:
Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa Tengah Depdikbud Jateng.

Joharnoto, Puji. 2005. Museum dan Pelestarian Budaya. Makalah Lokakarya Permu-
seuman di Kabupaten Kendal 15-17 Juni 2005. Tidak diterbitkan.

Indra. 2005. Benda Cagar Budaya Kabupaten Kendal. Makalah Lokakarya Permuseuman
di Kabupaten Kendal 15-17 Juni 2005. Tidak diterbitkan.

Muslichin. 2007. Identifikasi Benda Cagar Budaya di Wilayah Kabupaten Kendal. Makalah
Mata Kuliah Perspektif Sejarah Pascasarjana Unnes. Tidak diterbitkan.

Oetami, Enny Boedi. 2009. Eksplorasi Sejarah Lokal Sebuah Upaya Penanaman Nilai-nilai
Kepahlawanan Melalui Pembelajaran Sejarah Berbasis Contextual Teaching and
Learning. Makalah dalam Lawatan Sejarah Regional Departemen Sejarah dan Kepurbakalaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Robbani, Nastiti. 2008. Nuansa Pemarginalan Masyarakat Pesisir dalam Jejak-Jejak Pe-
ninggalan Hindu-Buddha di Kabupaten Kendal. Makalah LKTI Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengaah. Tidak diterbitkan.

Rochani, Ahmad Hamam. 2003. Babad Tanah Kendal. Kendal: Intermedia Paramadina.

Soekmono. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

Suryanto, Slamet. 2008. Makam Wali sebagai Medan Budaya dan Pewarisan Nilai
Tradisi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Kendal. Makalah LKTI Dinas Kebu-
dayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengaah. Tidak diterbitkan.

Suhartati, Sri. 1993. Petunjuk Singkat Objek Wisata Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Suhartati, Sri. 1994. Petunjuk singkat Objek Wisata Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Semarang: Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Tjahjono, Baskoro Daru. 2000. Laporan Penelitian Arkeologi Budaya Marginal Masa Klasik di Jawa Tengah Bagian Barat Laut. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

*Penulis adalah Ambarwati, siswa SMA 2 Kendal. Tulisan ini adalah hasil ringkasan LKTI Benda Cagar Budaya Tahun 2009 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Tengah.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

HARI JADI KOTA KENDAL DALAM PERSEPSI MASYARAKAT NELAYAN KELURAHAN BANDENGAN KENDAL*

Kota Kendal memiliki sejarah yang cukup panjang dan menarik untuk dikaji. Dari rangkaian kisah sejarah yang panjang itulah dapat diketahui Kendal lahir pada tanggal 26 Agustus dan sampai tahun 2006 setiap tanggal 26 Agustus pemerintah daerah dan seluruh masyarakat Kendal memperingati hari tersebut sebagai Hari Jadi Kota Kendal.

Namun demikian, semenjak tanggal 21 Juli 2007 Hari Jadi Kendal mengalami perubahan. Perubahan ini dikarenakan titik pijak hari jadi yang semula didasarkan pada peristiwa penyerangan Bahurekso ke Batavia diganti dengan titik pijak yang berasal pada peristiwa pengangkatan Bahurekso sebagai Tumenggung di Kabupaten (Propinsi?) Kendal.

Perubahan tentang hari jadi sebuah kota yang sudah terlanjur dilaksanakan dari tahun ke tahun itu apakah membawa dampak tertentu bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Kendal. Nampaknya masyarakat kota Kendal khususnya tidak terbawa pada aspek emosional dalam memaknai peristiwa perubahan Hari Jadi Kabupaten Kendal ini. Ada hal lain yang memiliki makna lebih tinggi daripada sekedar melakukan perubahan hari jadi. Masyarakat Kendal lebih tertarik untuk melihat sejauhmana Kabupaten Kendal yang berusia lebih dari empat abad ini mempunyai program-program yang lebih dekat dengan aspirasi rakyat kecil.
Akan tetapi, di balik itu semua bagaimanakah respon atau pandangan masyarakat terhadap peringatan hari jadi Kota Kendal. Di sini saya mencoba untuk menelisik persepsi masyarakat nelayan Kelurahan Bandengan atas momentum peringatan hari jadi Kendal.

Permasalahan
Dari semua program-program atau kebijakan-kebijakan pemerintah daerah Kota Kendal dalam rangka mewujudkan Kendal yang lebih baik, namun diantara program atau kebijakan tersebut adakah salah satu program dari Pemda yang menyentuh kehidupan masyarakat nelayan Kelurahan Bandengan untuk mengubah hidup kearah yang lebih baik dan adakah kepedulian Pemda terhadap kehidupan masyarakat wilayah Kelurahan Bandengan. Yang sebenarnya, jika Pemda bisa melihat dengan baik ada banyak potensi yang bisa dikembangkan untuk kemajuan Kendal. Dan sejauh ini bagaimana pandangan masyarakat nelayan Bandengan sebagai wakil wong cilik yang ada di daerah Kendal melihat menilai kinerja dan kepedulian Pemda Kota Kendal terhadap mereka dalam semangat Hari Jadi Kota Kendal.


Gambaran Umum Masyarakat Bandengan Kendal
Mendengar kata “Bandengan” pasti masyarakat sekitar Kota Kendal akan mengidentikan nama itu dengan persoalan kekerasan, tawuran, perkelahian, kemiskinan, ndeso, kasar, dan molimo. Bandengan sebagai sebuah desa pinggiran atau pesisir mengalami ketertinggalan pembangunan di bandingkan semua desa yang ada di Kecamatan Kota Kendal. Tingkat pendidikan yang rendah, angka putus sekolah yang tinggi, sarat konflik, dan kedangkalan pemaham agama.

Namun demikian gambaran tentang Bandengan di atas itu dapat dikatakan tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi kelurahan Bandengan pada saat ini. Gambaraan negatif tentang Bandengan tersebut memang benar namun terjadi 10 tahun yang lalu. Bandengan sebagai salah satu kelurahan di kecamatan Kota Kendal turut mengalami kemajuan di segala bidang terutama semenjak lima tahun terkahir ini.

Kelurahan Bandengan yang berlokasi disebelah utara alun-alun Kota Kendal. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Boleh dikatakan sebuah desa nelayan karena lebih dari 80% dari semua penduduk yang ada bermata pencaharian sebagai seorang nelayan.

Dilihat dari segi ekonomi kondisi masyarakat setempat cukup memprihatinkan karena saat ini hidup nelayan semakin susah saja. Bukan hanya naiknya harga BBM tapi karena harga ikan hasil tangkapan yang semakin murah dan juga mahalnya alat-alat keperluan nelayan seperti jaring dan yang lain.

Dilihat dari sisi pendidikan, masyarakat nelayan Bandengan sudah mempunyai kesadaran pendidikan yang cukup tinggi. Pada masa sekarang, sangat jarang anak usia sekolah terlihat bermain dan mangkal di suatu tempat di daerah Bandengan. Kondisi ini berbeda dengan masa 10 tahun yang lalu, di mana masyarakat Bandengan kurang memperhatikan pendidikan. Pada masa itu rata-rata anak tamatan SMP sederajat saja sudah dianggap mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi.

Sebagian besar masyarakat disini memeluk agama Islam. Dan jika memperhatikan kultur dan budaya masyarakat. Kehidupan mereka cenderung tidak teratur, boros, dan kehidupan yang keras dan juga emosi yang cenderung tinggi karena faktor latar belakang keturunan dan juga tingkat pendidikan yang rendah.

Pandangan Nelayan Bandengan terhadap Hari Jadi Kendal
Dengan semangat peringatan Hari Jadi Kota Kendal yang diperingati setiap tahun, tentunya sedikit banyak membawa perubahan Kendal yang lebih baik namun bagaimana yang terjadi dengan masyarakat nelayan Bandengan terhadap Hari Jadi Kendal dan pandangan mereka terhadap momentum ini.

Dari beberapa nelayan yang saya temui berkomentar beragam. Dengan semangat peringatan tersebut dan kebijakan-kebijakan Pemda Kota Kendal sedikit banyak mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi mereka. Seperti pengadaan SPBN oleh Pemda untuk masyarakat nelayan. SPBN tersebut sangat membantu para nelayan untuk mendapatkan bahan bakar untuk melaut.

Di halaman belakang saya lampirkan foto SPBN yang ada di Bandengan yang membuktikan bahwa SPBN itu benar-benar ada, dan juga dibangunnya perumahan di Bandengan utara sangat membantu para warga yang ada disana. Namun walaupun begitu mereka juga mengeluhkan mahalnya harga BBM dan juga murahnya harga ikan. Dalam hal ini para undangan mengharap Pemda dapat membantu memonitor kestabilan harga ikan di pasaran.
Tempat pelelangan yang ada di kelurahan Bandengan juga menjadi bukti bahwa pemkab Kendal memberikan perhatian yang baik bagi peningkatan sosial ekonomi masyarakat Bandengan. Fasilitas yang diperbaiki dan diperluas membuat nelayan dan tengkulak lebih leluasa untuk melakukan aktivitasnya.

Tempat berlabuh bagi perahu nelayan yang diperluas dan dirapikan menjadi satu indikator bagi usaha serius pemkab untuk memberikan dorongan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan Bandengan. Pemerintah melalui dunia perbankan memberikan kredit yang lunak bagi nelayan untuk mengembangkan usaha nelayannya. Nelayan yang tidak bermodal diberikan bantuan kredit untuk membeli peralatan nelayan dan perahu nelayannya.

Adanya pertokoan yang semakin berkembang membawa pengaruh luas bagi kesejahteraan masyarakat Bandengan lainnya. Jika 10 tahun yang lalu mereka belum memiliki toko-toko yang berkembang, namun sekarang mereka mempunyai tujuh toko yang dapat dikatakan maju dan berkembang. Indikasinya terletak pada bentuk dan ukuran toko yang besar, barang yang disajikan melimpah dan beragam, dan jumlah pelanggannya yang meningkat.

Transportasi juga meningkat. Peningkatan dalam aspek transportasi memudahkan masyarakat nelayan memasarkan barang dagangan dalam hal ini ikan ke pasar-pasar tradisional desa lain sampai ke pasar kabupaten. Bahkan banyak stok ikan-ikan yang dikirimkan sampai ke Semarang, Wonosobo, dan Temanggung. Produk ikan Bandeng, Tongkol, teri, Unus, Kepiting, udang, dan sebagainya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lainnya karena permintaan pasar yang membengkak.

Oleh karena itu banyaknya kemajuan secara sosial ekonomi masyarakat Bandengan ini membawa persepsi dan pandangan positip terhadap program kerja dan kebijakan pemda Kendal. Hari Jadi Kota Kendal tentu saja terkait dengan misi pembangunan masyarakat Nelayan. Masyarakat Nelayan adalah bagian dari keseluruhan masyarakat Kendal. Mereka berharap positip bagi usaha peningkatan pengentasan kemiskinan masyarakat Nelayan yang seiring terlaksana dengan semangat Hari Jadi Kota Kendal

Demikian pandangan positif para nelayan terhadap kinerja Pemda Kota Kendal dengan semangat hari jadinya namun demikian Pemda juga harus bisa mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada di kampoeng nelayan.

Harapan Masyarakat Nelayan Bandengan terhadap Keberhasilan Kota Kendal
Pada dasarnya harapan nelayan seluruh Indonesia. Pada umumnya dan nelayan yang ada di Bandengan yaitu sama. Harapan yang cukup sederhana menginginkan kehidupan yang lebih baik, mereka ingin harga ikan mahal dan BBM murah.

Dengan momentum hari jadi Kota Kendal yang ke-403 tahun 2008 masyarakat nelayan Bandengan mengharapkan Pemda Kota Kendal lebih memperhatikan kehidupan mereka. Dengan mahalnya harga BBM mereka mengharap harga ikan dan hasil tangkapan yang lainnya juga dinaikkan dan disesuaikan harga BBM.

Para nelayan di daerah Bandengan berharap pemerintah menurunkan harga sembako agar dengan penghasilan mereka yang pas-pasan keluarga mereka tetap bisa makan dan juga biaya pendidikan, dengan biaya pendidikan yang murah mereka dapat menyekolahkan anaknya.

Di sisi lain, Harlah Kendal mengilhami aparat pemda Kendal untuk senantiasa memberikan contoh yang baik bagi para nelayan untuk berperilaku dan bertindak sesuai dengan norma sosial dan budaya yang ada di Kabupaten Kendal ini.

Masyarakat nelayan Bandengan berharap bahwa semangat Harlah Kendal mengiringi langkah para aparat dan nelayan untuk senantiasa bekerja sama, bahu-membahu, tolong-menolong dalam rangka menuju kebersamaan, kebersatuan, dan mencapai tujuan yang dicita-citakan.


Penutup
Sejauh ini para nelayan yang ada didaerah Kendal dalam memandang kinerja Pemda Kota Kendal dalam peringatan hari jadinya sudah cukup. Namun demikian masih perlu peningkatan dan kebijakan yang menguntungkan wong cilik untuk kemajuan Kendal.

Dengan peringatan hari jadi Kota Kendal yang ke-403 tahun 2008 ini Pemda Kota Kendal lebih meningkat layanannya pada masyarakat khususnya masyarakat nelayan yang ada di daerah Bandengan.

*Penulis adalah Slamet Suryanto, siswa SMA 2 Kendal. Tulisan ini adalah hasil ringkasan LKTI Hari Jadi Kabupaten Kendal Tahun 2008 (Pemenang Ke-3).



























Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !