forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Minggu, 14 Juni 2009

SEJARAH DAN NASIONALISME: UPAYA PELAJARAN SEJARAH DALAM MENUMBUHKAN SEMANGAT NASIONALISME*

Nasionalisme mungkin barang baru bagi remaja seperti kita yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Meskipun istilah ini sering diucapkan oleh Bapak dan Ibu guru Sejarah, namun kita sering mengalami sedikit kebingungan ketika harus menafsirkan istilah itu pada situasi konkrit di negara kita yang masih banyak kekacauan dan kerusuhan. Jika kita membuka buku-buku sejarah kelas XI juga kita akan menemukan istilah ini muncul pada pembahasan mengenai sejarah dan latar belakang ideologi pergerakan nasionalisme. Nasionalisme berdampingan dengan ideologi sosialisme, pan islamisme, liberalisme, kapitalisme, bahkan komunisme (Badrika, 2005: 202-209).

Sepintas apa yang saya baca dalam buku itu mengatakan bahwa nasionalisme adalah ideologi yang bergandeng mesra dengan persoalan kebangsaan, sedangkan ideologi lainnya lebih berupaya mewujudkan sebuah cita-cita sosial yang akan dicapai oleh masyarakat. Nasionalisme dikatakan muncul sebagai perlawanan dari sikap politik kolonial yang menindas rakyat suatu negara, menyebabkan kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan sehingga menumbuhkan bangsa yang tertindas itu untuk bersatu atas dasar kesamaan nasib dan cita-cita. Mereka yang semula tidak saling mengenal akhirnya disatukan oleh nasib penindasan yang dilakukan bangsa Eropa yang kuat dan arogan.


Pertanyaannya adalah mungkinkah nasionalisme yang berakar pada sejarah panjang sebuah bangsa dari jaman penjajahan bangsa Eropa itu masih cocok dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Mungkinkah pula pelajaran sejarah yang berkompeten untuk membahas persoalan nasionalisme mampu mengajarkan nilai-nilai nasionalisme yang tidak hanya berhenti pada tataran historis saja, melainkan mengembangkan konsep nasionalisme itu pada era globalisasi yang tentunya rumit dan njlimet ini? Tulisan di bawah ini akan mencoba membahas bagaimana peran mapel sejarah di sekolah Menengah Atas dalam rangka mengenalkan konsep nasionalisme yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia di era globalisasi dan internet. Tentu saja tulisan ini juga menyentuh persoalan guru yang mengajar bidang sejarah, terutama pada pengajaran yang mereka transformasikan pada anak didik seperti kita.

Membedah Materi Sejarah
Pada dasarnya pelajaran sejarah sejauh ini cukup dapat memberikan manfaat yang cukup berarti bagi upaya menumbuhkan jiwa nasionalisme remaja seperti kita ini. Remaja yang masih hidup dalam dunia yang penuh kebimbangan, keraguan, dan ketidakdewasaan memang harus diberikan dorongan untuk mengenal lebih dini apa sebenarnya tujuan mereka mendapatkan pendidikan di sekolah. Pendidikan sejarah tidak lepas dari kurikulum yang mengarahkan remaja untuk memahami posisinya sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban tertentu.


Pada pelajaran sejarah baik dari kelas X sampai dengan kelas XII kita melihat materi-materi mana saja yang bisa dikatakan menumbuhkan semangat nasionalisme yang dimunculkan sebagai sarana untuk menimbulkan semangat berbangsa. Mempelajari materi tradisi masyarakat prasejarah dan sejarah di Indonesia akan menumbuhkan kesadaran masa lalu mengenai hasil karya apa saja yang bisa didokumentasikan oleh manusia-manusia yang hidup saat itu. Dengan mempelajari cerita rakyat, folklor, dongeng, legenda, dan mitos yang hidup pada masa prasejarah, remaja sekarang lebih bisa mengapresiasi tentang masterpiece-masterpiece apa yang hidup sebagai bukti rekaman dinamika kehidupan masa itu. Cerita tentang legenda para wali sampai dengan mitos-mitos terbentuknya sebuah tempat, dongeng si Kancil, Lutung Kasarung, Malin Kundang, I Kesuna lan I Bawang, Bawang Merah dan bawang Putih, permainan rakyat, arsitektur bangunan, teater rakyat, makanan dan senjata rakyat, pengobatan tradisional, dan upacara-upacara tradisional suatu masyarakat memberikaan cermin dan gambaran yang hidup manusia-manusia dan aktivitasnya pada masa itu (Mustopo, 2006: 15-32 ). Dengan mengkaji hal ini, remaja akan tahu bagaimana jauh sebelum terbentuknya negeri yang bernama Indonesia kita sudah memiliki kesamaan-kesamaan adat dan budaya tertentu meskipun secara garis besar dibedakan adat, tradisi, dan bahasa antar etnis yang hidup di Indonesia.


Apalagi jika pembahasan sejarah sudah sampai pada persoalan buah karya manusia Indonesia pada masa klasik Hindu-Buddha, maka kita akan melihat bahwa prasasti, kitab kuno dalam lontar, dan dokumen-dokumen penting yang hidup pada masa sesudahnya berbicara banyak hal tentang problem hidup manusia atas nama kekuasaan, ekonomi, dan religi. Hal ini semakin membawa kesadaran kita bahwa nenek moyang kita bukanlah sebagai manusia bodoh yang pasif dalam menerima unsur-unsur budaya asing yang masuk ke Indonesia. Dari hal itu kita menyadari bahwa nenek moyang kita mempunyai kearifan lokal (local genius) dalam menerjemahkan kepercayaan dan keyakinan agama luar ke dalam kebutuhan religi manusia Indonesia (Mustopo, 2005: 5). Prinsip animisme dan dinamisme bergandeng tangan dengan kebutuhan akan figur dewa-dewa yang hadir setelah agama Hindu masuk ke nusantara. Sistem pemerintahan primus interpares model kepala suku beralih pada bentuk pemerintahan kerajaan di mana raja mempunyai beberapa penasihat dan pembantu dalam menjalankan sistem pemerintahannya.


Memasuki materi tentang awal-mula manusia Indonesia, kita sebagai remaja akan diperlihatkan beberapa konsep kebudayaan yang lahir dari bumi nusantara sendiri. Hal ini dibenarkan Brandes yang mengatakan bahwa Indonesia pada masa purba sudah memiliki sepuluh kebudayaan yang sangat mendasar seperti perbintangan, bersawah atau membajak sawah, nelayan (pembuatan perahu bercadik), membatik, beternak, animisme dan dinamisme, dan sebagainya. Bahkan ada penjelasan dari Moh. Ali dan Mohamad Yamin bahwa nenek moyang kita berasal dari Indonesia sendiri yang dibuktikan dengan banyaknya fosil manusia purba yang diketemukan di Indonesia. Hal ini membawa kesadaran remaja bahwa kita mempunyai sejarah yang sangat panjang. Jarang bangsa di dunia yang mempunyai akar sejarah yang panjang (Badrika, 2004: 118-125 ). Orang Brazil saja merasa rendah diri karena akar sejarah mereka yang tidak panjang. Bangsa Brazil merupakan produk dari bangsa jajahan Spanyol yang sejarah, adat-istiadat, dan kebudayaannya sangat berbau mestizo sekali (Encarta Ensiklopedia, 2006). Ironisnya kita malah cuek dan tidak menahu akan hal itu. Padahal dengan mengetahui siapa sebenarnya nenek moyang kita, maka sebagai remaja kita akan memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran multikultur di antara saudara sebangsa setanah air yang berbeda adat-istiadat dan budayanya itu. Meskipun kita mungkin berbeda budaya dan bahasa tetapi sebenarnya kita berasal dari bangsa austronesia, bangsa Yunan, atau bangsa yang menempati Teluk Tongkin. Mereka memang identik dengan ras mongoloid. Mereka datang ke nusantara terbagi menjadi dua gelombang yang sangat besar. Gelombang pertama datang pada tahun 2000-1500 SM yang melahirkan generasi Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua datang pada tahun 500 SM yang melahirkan generasi Deutro Melayu (Mustopo, 2006: 115-119 & Vlekke: 2008). Dengan pengetahuan tentang awal mula suku bangsa di Indonesia ini tentu akan menambah kesadaran berbangsa dan bertanah air. Kita tidak lagi memiliki pandangan sempit dan berbau primordial melainkan wawasan kebangsaan kita semakin meluas.


Pada pembelajaran kelas XI, kita melihat bahwa materi-materi yang dimunculkan semakin mengarahkan kesadaran siswa pada masa lalu negeri ini. Pada masa klasik Hindu-Buddha, kebanggaan sebagai orang Indonesia muncul ketika dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya dan Majapahir sebagai kekuatan penting baik dari aspek politik, ekonomi, dan budaya di wilayah Asia Tenggara. Dua kerajaan ini bisa dimaknai sebagai cikal-bakal yang mendasari munculnya bangsa Indonesia kelak di kemudian hari. Mungkin data historis tentang hal itu sangat sulit, setidaknya dua kerajaan itu memberikan nuansa-nuansa kenusantaraan bagi generasi penerusnya. Pada kerajaan Sriwijaya yang menitikberatkan aspek kemaritiman, bangsa kita menjadi satu-satunya penguasa lautan dalam pengertian positif. Aspek perdagangan benar-benar diperhatikan. Sisi keamanan lautan diserahkan pada para mantan bajak laut yang mempunyai pengaruh besar bagi nelayan dan pedagang asing. Para panglima Sriwijaya mampu memberikan paksaan pada pedagang asing untuk taat terhadap peraturan kemaritiman kerajaan Sriwijaya. Mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk menjaga kekuasaan Sriwijaya atas lautan yang melingkupi 2/3 wilayah Indonesia saat ini. Pembahasan materi ini akan mendongkrak kembali ingatan remaja akan peristiwa besar yang pernah memberikan makna kejayaan bagi Indonesia di masa lalu. Kebanggaan-kebanggaan seperti ini sangat penting sekali untuk menjaga ikatan primordial yang positif bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Demikian pula ketika menginjak pada pembahasan tentang kerajaan Majapahit, remaja seperti kita akan diajak untuk memahami latar belakang dan dampak kebijakan mahapatih Gajah Mada dan rajanya yaitu Prabu Hayam Wuruk melakukan berbagai ekspedisi penaklukan berbagai daerah di Nusantara tersebut. Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya yang sangat terkenal memiliki perspektif jauh ke depan dalam memandang pentingnya keutuhan negeri ini dalam rangka mengantisipasi kepentingan asing yang akan merusak Nusantara. Meskipun akhir-akhir ini Gajah Mada dianggap tokoh yang kontroversial terutama semenjak adanya peristiwa Bubad itu, ia tetap figur yang penting bagi terbentuknya wilayah kekuasaan Majapahit yang sangat luas (Muljana, 2006: 1-20).


Pada materi berikutnya kita juga disuguhkan berbagai macam kerajaan tradisional yang mencoba eksis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Namun demikian kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang lainnya tidak mampu memberikan motivasi atau dorongan untuk membentuk kesadaran berbangsa seperti halnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tersebut di atas. Hanya saja penyajian kerajaan lainnya tersebut mampu merepresentasi perasaan dan emosi dari remaja yang berasal dari daerah kerajaan tersebut berasal. Pembahasan kerajaan Sunda Galuh dan Pajajaran tentu akan memberikan rasa keadilan sejarah bagi masyarakat Sunda. Penyajian Kerajaan Kutai akan menyejukkan rasa keindonesian bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pulau Kalimantan. Pembahasan kerajaan Buleleng juga memberikan sentuhan rasa memiliki bagi warga yang lahir di daerah Bali.

Demikian pula pembahasan kerajaan Islam. Munculnya Islam yang menggeser dominasi kerajaan Majapahit memberikan makna tersendiri bagi rasa primordialisme remaja. Remaja yang beragama Islam mungkin menganggap bahwa nilai-nilai keislaman mereka akan bertambah ketika melihat sebuah fakta bahwa kerajaan Majapahit yang runtuh karena faktor berkembangnya agama Islam. Akan tetapi bagi remaja yang beragama nonmuslim (Hindu) akan melihat dari perspektif lainnya, yaitu Islam datang dengan cara kekerasan untuk menaklukkan sebuah kekuatan politik yang sudah lama berkuasa di Jawa (baca Muljana, 2006 & Vlekke, 2008). Oleh karena itu perbedaan perspektif ini seyogyanya oleh bapak/ibu guru jangan diperuncing menjadi permasalahan yang tak mungkin tuntas menjawabnya. Guru sejarah harus berani mengarahkan pada perspektif dan sudut pandang tertentu yang tidak menggeser pada titik nasionalisme.


Pada dasarnya sejarah masa keislaman ini juga memberikan sentuhan kebangsaan yang kuat pada pembahasan materinya. Pada saat itu, kerajaan Demak yang saat ini dipimpin oleh Dipati Unus melakukan terobosan yang berani. Ia nekat melakukan penyerangan langsung ke Malaka yang pada tahun 1511 dikuasai oleh bangsa Portugis. Meski penyerangan ini tidak mampu mengalahkan kekuatan armada laut Portugis, tetapi sejarah telah mencatat kegagahan dan keberanian Dipati Unus untuk mengusir Portugis dari wilayah Nusantara. Ironisnya raja-raja sesudahnya tidak memiliki keberanian yang sama untuk melakukan penyerangan ke Malaka. Adanya perbedaan keberanian ini juga harus secara jujur diberikan pada pembelajaran sejarah di sekolah sehingga dari remaja sendiri memiliki figur tertentu yang bisa dijadikan idola dan figur lain yang tampil sebagai pecundang. Hal ini akan membangun sikap kritis di antara siswa pada saat kegiatan belajar sejarah (lihat Toer, 2001).


Pada materi berikutnya, kita semakin disuguhkan bentuk interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa yang bersilih ganti menempati posisi dagang penting di beberapa pelabuhan yang ada di kota-kota dagang Nusantara. Dari bangsa Spanyol dan Portugis yang hanya selintas memberikan warna eksploitasi bagi negeri kita sampai dengan bangsa Inggris dan tentu saja Belanda yang memberikan sentuhan kebijakan yang membuat rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan-penderitaan rakyat Indonesia ini pada akhirnya menimbulkan perlawanan dari pemimpin-pemimpin setempat. Namun karena sifatnya gerakan perlawanannya masih sporadis maka tentu saja mereka dengan mudah bisa dibasmi oleh VOC maaupun pemerintah Kolonial Belanda. Meskipun Belanda dengan susah payah membasmi para pemberontak, namun karena kuatnya sistem militernya maka dengan strategi liciknya pemimpin lokal dapat ditangkap, diasingkan, atau dibunuh. Bentuk penjajahan Kolonial Belanda dan efek perlawanan pemimpin lokal inilah yang membuat mendidih rasa emosi kita sebagai bangsa yang selalu diinjak harga dirinya. Pelajaran sejarah memberikan cermin masa lalu untuk melihat bahwa karena adanya perlakuan semena-mena melalui kebijakan stelsel tanah, rodi, tanam paksa, dan liberalisme menjadi ajang eksploitasi menyeluruh pada semua wilayah di Nusantara. Aspek kemiskinan menjadi sesuatu yang lumrah pada kondisi Indonesia ketika di bawah penjajahan Belanda. Adanya kesamaan nasib ini melahirkan semangat untuk bersatu. Ada sebuah kehendak yang ingin dicapai oleh nenek moyang kita ketika menghadapi penjajah Belanda.


Pembelajaran sejarah masa Kolonial Belanda dan Pergerakan Nasional ini seakan menjadi roh dalam mempelajari masa negeri Indonesia. Mengapa? Materi pembelajaran sejarah ini sangat terkait dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya kesadaran berbangsa. Barangkali jika tidak ada kekejaman pemerintahan Kolonial Belanda kita tidak memiliki kehendak untuk bersatu, perasaan senasib, dan keinginan untuk merubah sesuatu secara bersamaan. Belanda di satu sisi mengeksploitasi sumber ekonomi Indonesia, namun di sisi lain, memunculkan semangat kebersamaan dari bangsa yang tertindas. Keinginan bangsa yang tertindas merupakan manifestasi kelelahan sebagai bangsa yang harus melayani kekuasaan Belanda di tanah air. Semua bangsa yang ditindas akan seperti itu. Hanya persoalan waktu yang tidak sama antara ekspresi perlawanan dari daerah dengan daerah lain.


Dari materi kelas XI itu kita bisa melihat kesadaran nasionalisme yang terbentuk secara perlahan. Penjajahan Belanda dengan segudang kebijakannya sedikit demi sedikit membawa kemelaratan dan kesengsaraan yang menyeluruh bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia. Pada masa VOC, kegagalan bangsa Indonesia untuk menyerang dan mematahkan dominasi kekuatan Belanda disebabkan karena kurangnya semangat persatuan dan kesatuan anak negeri. Masing-masing daerah membawa ideologi yang berbeda dan kepentingan-kepentingan politis-ekonomis yang tidak sama pula. Artinya apa? Anak negeri belum memiliki kesadaran berbangsa. Banyak aspek yang menyebabkan mereka tidak membutuhkan kesatuan anak negeri dalam melawan dominasi VOC saat itu. Pertama, alasan politis antara perlawanan satu daerah dengan daerah lain berbeda. Umumnya perlawanan dilakukan karena terhimpitnya kepentingan politis penguasa setempat. Banyak contoh yang dapat diberikan di sini. Kita bisa melihat perang Diponegoro, perlawanan pangeran Antasari, Teuku Cik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Sisingamangarajaan IX, dan sebagainya. Para pemimpin tersebut merasa kekuasaan teritorialnya dan adatnya hilang gara-gara politik penjajahan yang memasuki wilayah di mana mereka menjadi figur pemimpinnya. Kedua, faktor ekonomi. Faktor ekonomi menjadi penyebab langsung pemimpin lokal untuk mengorbankan semangat perlawanannya. Sultan Agung melihat bahwa adanya kebijakan perekonomian VOC yang monopolis jelas menghilangkan sumber pendapatan mereka atas daerah pesisiran yang dahulu dikuasainya. Salah satu upaya agar penghasilan atas daerah pesisir itu tidak menguap, mereka harus mengusir VOC yang ada di Batavia. Penyerangan yang dilakukan selama dua kali memang mengalami kegagalan, namun semangat untuk mengalahkan VOC tidak pernah padam hingga VOC mengalami kebanagkrutan dan diganti oleh pemerintahan transisi. Ketiga adalah faktor keyakinan. Faktor keyakinan akan adanya Ratu Adil, Heru Cokroningrat, dan Sang Mesias membawa motivasi dan semangat orang-orang jaman itu yang mendambakan perubahan. Keyakinan adanya sang pembebas ini menjadi ideologi yang kuat membangun mereka untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Namun demikian perlawanan-perlawanan kedaerahan yang berbasis keyakinan Sang Juru Selamat ini sangat pemimpin sentris. Ketika para pemimpinnya ditangkap dan dibunuh maka perlawan-perlawanan yang pernah merebak bak jamur di musim penghujan itu akan hilang seketika.


Baru memasuki pembahasan tentang materi pergerakan nasional, kita disuguhi terlebih dahulu konsep dan teori nasionalisme. Konsep nasionalisme yang ditawarkan Ernast Renan, Hans Kohn, Otto Bauer, Lottendorp, dan Snyder bahu-membahu dalam mengkaji persoalan-persoalan yang sering dialami negara dunia ketiga (Badrika, 2005: 202-203). Mereka mengatakan bahwa bangsa tertindas akan melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Perasaan ini lama kelamaan melahirkan pula kehendak untuk bersatu dan kehendak untuk melawan suatu sistem yang tidak memihak kepentingan mereka. Ketika saat yang ditunggu tiba mereka akan berlomba melakukan perombakan sistem melalui saluran politik yang mulai terbuka.


Demikian yang dialami kondisi Indonesia pada masa pasca politik etis. Adanya pendidikan membawa perubahan bagi struktur sosiaal masyarakat Indonesia. Pendidikan barat yang mereka terima membawa pengenalan pada ide-ide baru tentang sosialisme, pan islamisme, liberalisme, marxisme, dan akhirnya nasionalisme. Ketika peluang terbuka, makam para elit pemuda saat itu menggunakan kesempatan yang ada untuk mengajukan tuntutan kemerdekaan.

Melihat materi pembelajaran tentang sejarah pergerakan kebangsaan itu kita bisa melihat bagaimana sepak terjang anak bangsa dalam memanfaatkan pendidikan dan organisasi massa untuk mengajukan beragaam perubahan yang penting bagi masa depan Indonesia. Materi tentang Sumpah Pemuda ini akan memperlihatkan bagaimana dengan keterbatasn-keterbatasan yang ada pemuda Indonesia mampu mendesak pemerintah Kolonial untuk menyetujui gagasan tentang Dewan Perwalian, esistensi parpol dalam Volksraad, dan Pemerintahan Transisi. Sayangnya Jepang keburu datang untuk menggantikan posisi pemerintahan Kolonial Belanda.

Pada pembahasan materi Pendudukan Jepang dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada pelajaran sejarah kelas XII, kita melihat bagaimana Jepang yang katanya saudara tua ternyata mempunyai maksud tersembunyi yang jahat dan culas. Jepang membawa janji semu melalui gerakan 3 A dan Putera. Jepang membuat mobilisasi massa melalui romusha, Peta, Heiho, Fujinkai, Tonarigumi, Keibodan, dan Ianfu untuk kepentingan infrastruktur militer yang penting bagi keutuhan dominasi Jepang di Indonesia. Penderitaan yang bertubi-tubi rakyat Indonesia ini jika dibahas dengan model belajar sejarah yang baik akan memberikan sikap empati yang penting bagi pembentukan kesadaran berbangsa. Nasionalisme remaja semakin bertambah jika pembahasan tentang Pendudukan Jepang menukik sampai dengan persoalan penderitaan romusha dan ianfu (Mustopo, 2006: 222-245).


Puncak penanaman nasionalisme dalam pelajaran sejarah tentu saja pada peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa bersejarah ini mempunyai andil cukup besar bagi upaya membentuk kesadaran nasionalisme remaja Indonesia saat ini. Hanya saja, sering kali pembahasan yang ditampilkan cenderung membosankan dan datar sehingga malah menimbulkan kejenuhan dari siswa sendiri. Guru sejarah jangan sampai teks book saja dalam menampilkan geliat para pemuda saat itu dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa Rengasdengklok bisa saja ditampilkan melalui metode Role Playing atau Sosiodrama. Hal ini akan memunculkan emosi remaja dalam memahami semangat jaman yang pernah hadir di tahun 1945-an.

Pada materi sejarah kelas XII, kita dapat melihat bagaimana sikap anak bangsa dalam menyikapi kemerdekaan yang diperoleh dengan susah payah itu. Dinamika dan tarik-menarik antara pemerintah-rakyat, pusat-daerah, dan ideologi-ideologi mewarnai sejarah Indonesia. Akibat lebih lanjut kita melihat bahwa terjadinya ketidakpuasan daerah terhadap pusat yang meletus menjadi pemberontakan anak bangsa sendiri, pertempuran antara saudara setanah air, dan pergantian kabinet demi kabinet.
Hal itu terjadi terus-menerus sampai bangsa ini sampai pada pemerintahan demokrasi terpimpin, Orde Baru, dan bahkan sampai dengan era Reformasi. Pendek kata pelajaran sejarah telah memberikan warna dan lukisan naturalis dan sekaligus realisme tentang keadaan negeri ini dari masa purba, prasejarah, sampai dengan masa Reformasi. Problematika bangsa yang beragam itu ternyata dapat ditarik sebuah benang merah bahwa ketidakmampuan anak bangsa ini dalam mengembangkan semangat nasionalisme para pendiri bangsa inilah sebagai awal kehancuran negeri yang sangat susah payah berdiri ini.

Di sisi lain, guru sejarah mempunyai posisi penting dalam memahamkan konsep nasionalisme pada remaja Indonesia. Para guru inilah yang nantinya melahirkan generasi intelektual yang cerdas dan memiliki naluri kebangsaan yang berkembang sesuai dengan semaangat perubahan itu sendiri, tidak kaku, dan fleksibel. Sayangnya tidak semua guru sejarah dapat menampilkan dirinya seperti itu. Hanya guru sejarah yang mampu belajar dari kesalahan bangsa ini akan mencoba merekonstruksi apa yang terbaik dengan mewujudkannya dalam kurikulum dan bahan ajar (Winenburg, 2008: 10-25). Ia selalu belajar dan mencoba menerjemahkan makna nasionalisme itu sendiri bagi keutuhan NKRI dan pengembangan wawasasan kebangsaan anak negeri. Agaknya guru sejarah harus pula menyadarkan kita remaja sebagai bagian dari generasi yang siap taampil ke permukaan. Mau tidak mau kita akan menyikapi nasionalisme melalui apa yang tersedia dalam ruang-ruang yang ada. Guru sejarah harus bersikap membimbing dan mengarahkan remaja Indonesia untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan, kepedulian terhadap persoalan bangsa, kepedulian terhadap persoalan keadilan pembangunan dan ekonomi, dan persoalan-persoalan gender serta lain sebagainya yang berkembang sesuai perubahan zaman. Entitas-entitas yang memunculkan ruang kebangsaan harus selalu dimunculkan. Semangat kebangsaan harus ditampilkan melalui kepedulian remaja Indonesia terhadap persoalan KKN, persoalan korupsi, keseimbangan keuangan Pusat dan daerah, dan amademen perundang-undangan yang sudah saatnya diganti karena tidak sesuai dengan problem globalisasi (baca Anderson, 1999: 1-20).

Refleksi
Pada dasarnya pelajaran sejarah sangat terkait dengan penumbuhan kesadaran berbangsa dan nasionalisme. Banyak orang yang berpendapat bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya (sejarahnya). Dengan keyakinan seperti itulah pelajaran sejarah diberikan di setiap jenjang pendidikan. Materi dan bahan ajar yang hampir sama di setiap jenjang pendidikan tersebut mengkaji manusia jaman purba, masa klasik Hindu-Buddha, masa Islam, Kolonialisme Belanda, Pendudukan Jepang, Masa Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Liberal dan Terpimpin, dan Orde Baru serta Masa Reformasi. Pemberian materi ini jelas sekali dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat kebangsaan remaja Indonesia. Melalui metode yang tepat maka guru dapat menyampaikan sendi-sendi nasionalisme melalui bahan ajar tersebut. Melalui kreativitas guru sejarah, maka materi dan bahan ajar sejarah itu tidak kosong, kaku, dan membosankan, melainkan dapat tampil secara menarik, indah, dan mampu mewujudkan kualitas kesadaran berbangsa yang sesuai dengan problematika bangsa saat ini.


DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 1999. Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustakan Pelajar.

Badrika, I Wayan. 2005. Sejarah Nasional dan Umum SMA Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Badrika, I Wayan. 2005. Sejarah Nasional dan Umum SMA Kelas XI Program Ilmu Sosial dan Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Badrika, I Wayan. 2005. Sejarah Nasional dan Umum SMA Kelas XII Program Ilmu Sosial dan Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mustopho, Habib. 2006. Sejarah Kelas X. Jakarta: Yudhistira.

Mustopho, Habib. 2006. Sejarah Kelas XI Program IPA. Jakarta: Yudhistira.

Mustopho, Habib. 2006. Sejarah Kelas XII Program IPA. Jakarta: Yudhistira.

Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS.

Muljana, Slamet. 2006. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.

Toer, Pramoedya Ananta. 2001. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mithra.

Wineburg, Sam. Berpikir Historis. Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Buku Obor.

Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

*Penulis: Aida Natasia (Siswa SMA 2 Kendal). Tulisan ini pernah diikutkan dalam Lomba Artikel Ilmiah Tingkat SLTA Se-Jawa Tengah IAIN Walisongo Tahun 2009.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda