forum guru sejarah kendal

sebuah wadah bagi guru sejarah dan pemerhati budaya untuk memperbincangkan dunia kesejarahan, mengembangkan wawasan kebhinekaan, dan menerabas sekat primordial yang sesat, agar mampu mencipta kebersatuan negeri ini tanpa pernah menepis keperbedaan kesukuan, kultur, bahasa, dan tradisi.

Jumat, 13 Agustus 2010

MENUNGGU KIPRAH FORUM PEDULI BUDAYA

Barangkali masyarakat yang bertempat tinggal di Kabupaten Kendal tidak begitu mengenal dengan sebuah organisasi baru yang telah dideklarasikan tanggal 22 Juli 2010 di gedung SKB Cepiring ini. Tentu saja yang pertama bahwa organisasi ini baru saja dilauncing keberadaannya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal. Kedua, organisasi ini belum disosialisasikan secara menyeluruh di kalangan baik sejarawan, guru sejarah, pemerhati sejarah, maupun budayawan. Ketiga, otomatis kiprah dan peran apa yang bisa disumbangkan organisasi ini juga belum jelas. Keempat, masyarakat terlanjur apatis terhadap keberadaan organisasi baru yang bermunculan akhir-akhir ini.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

DIKLAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DAN PENULISAN PTK SEJARAH SE-KABUPATEN KENDAL

Tanggal 19 Agustus 2010, LPM UNNES dan MGMP Sejarah SMA Kabupaten Kendal bekerja sama mengadakan diklat penulisan PTK dan pengembangan bahan ajar Sejarah untuk guru sejarah yang mengajar di SLTA dan sederajat. Tempat pelaksanaan adalah SMA Negeri 2 Kendal yang kebetulan sekolahnya terletak di tengah posisi geografis wilayah Kabupaten Kendal dan juga terdapat guru sejarah yang paling banyak di dalamnya. Latar belakang dari kegiatan ini adalah minimnya kemampuan guru sejarah dalam mengadopsi materi sejarah yang mengalami perkembangan dan perubahan serta lemahnya kesadaran meneliti dan menulis di kalangan guru sejarah pada umumnya. Oleh karena itu, diadakannya workshop yang berdasarkan rencana akan diadakan selama 3 hari ini menjadi wahana penting bagi guru sejarah SMA untuk berusaha mengikuti perkembangan jaman. Kebetulan sekali LPM UNNES yang adalam hal ini melakukan program pengabdian masyarakat menghasilkan sebuah kesepakatan untuk memberikan bantuan kepada guru-guru sejarah SMA se-Kendal agar mampu melaksanakan penelitian, kepenulisan, dan pengembangan wawasan keilmuan.

Peserta dalam kegiatan diklat ini dibatasi maksimal 40 peserta saja. Semua peserta tidak dikenai biaya sama sekali. Bahkan mendapat uang pengganti biaya konsumsi. Semuanya difasilitasi LPM UNNES. Dengan pembatasan peserta ini dimaksudkan agar semua materi dapat disampaikan secara mudah dan tutor dapat mengontrol kapasitas, kemampuan, dan keberhasilan guru dalam menyelesaikan program pelatihan yang diberikan tutor diklat PTK dan Bahan Ajar Sejarah ini. Adapaun tutornya adalah dua orang dosen UNNES yang namanya sudah tidak asing lagi di kalangan guru sejarah baik SMP maupun SMA. Mereka adalah Dra. Rr. Wahyu, M.Hum dan Drs. Nur Shodiq, M.Hum.

Sebagai sebuah kegiatan ilmiah, tentu saja bagi peserta yang mengikuti kegiatan ini akan mendapat dua sertifikat sekaligus. Sertifikat pertama tentang Diklat Pengembangan Bahan Ajar Sejarah, sedangkan sertifikat kedua tentang Diklat Penulisan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) Sejarah. Oleh karena itu, bagi semua guru sejarah yang mengajar di bangku SMA dan yang sederajat, silahkan mendaftar secepatnya mengingat keterbatasan tempat yang disediakan. Untuk Contact person hubungi Muslichin (08564070407).

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

Rabu, 11 Agustus 2010

PENULISAN SEJARAH LOKAL: METODE, MASALAH, DAN STRATEGI Oleh: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum*

I. Pendahuluan
Tujuan utama makalah ini adalah untuk mengkaji perlunya penulisan dan pengembangan sejarah lokal baik yang mencakup metode, masalah, maupun strateginya. Pada saat ini pengembangan sejarah lokal memiliki nilai yang strategis dalam rangka menjaga dan mempertahankan identitas lokal dalam menghadapi fenomena globalisasi. Seperti diketahui bahwa milenium ke-3 menyaksikan terjadinya gelombang yang dahsyat dari proses globalisasi.
Meskipun proses ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu melalui globalisasi di bidang perdagangan, namun jangkauannya dan dampaknya tidak sehebat sekarang ini. Hal ini berkaitan erat dengan terjadinya globalisasi yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan semakin berkurangnya makna batas-batas politik secara fisik. Belum lagi terjadinya gelombang ekspansi neoliberalisme yang cenderung untuk meniadakan batas-batas politik dan ekonomi negara. Sementara itu paham demokrasi yang juga lahir dari induk liberalisme juga merebak ke seluruh penjuru dunia. Globalisasi, demokratisasi, dan neoliberalisme menjadi tantangan bagi tatanan lokal yang selama berabad-abad telah menjadi kekuatan yang mapan.


Salah satu persoalan yang mencuat di Indonesia pada satu dekade terakhir ini yang terkait dengan salah satu isu global pada tingkat lokal adalah dampak demokratisasi yang muncul semenjak merebaknya gerakan reformasi pada tahun 1997. Dalam hal ini banyak orang yang tenggelam di dalam pusaran efuforia reformasi, keterbukaan, dan otonomi daerah. Banyak orang yang lupa daratan yang hanya berbicara soal soal-soal yang sedang dihadapi tanpa diletakkan dalam konteks yang lebih luas. Selain itu, orang hanya bicara persoalan kekinian yang sulit sekali dicerna ujung-pangkalnya seperti pesta demokrasi pemilihan lurah, walikota, bupati, gubernur, presiden hingga pesta pemilihan calon anggota legeslaitif. Tampaknya tidak ada tahun tanpa pesta demokrasi. Padahal berbagai persoalan struktural masih dihadapi oleh segenap bangsa ini seperti krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis moral, korupsi, krisis kepemimpinan, kemiskinan, dan sebagainya. Sementara itu, pada tataran kebangsaan, berbagai konflik sosial dan politik di Republik ini juga masih menyisakan potensi yang mengancam persatuan bangsa seperti yang pernah terjadi di Aceh, Maluku, Poso, Papua Barat, dan sebagainya. Beberapa gerakan rakyat bahkan menuntut kemerdekaan, lepas dari kesatuan Republik Indonesia. Mereka ingin mendirikan negara sendiri sebagaimana yang telah terjadi dengan Timor Timur. Hal ini masih terjadi di kawasan Maluku Selatan dan Papua Barat.

Ditinjau dari aspek diakronis, orang juga hanya senang membicarakan segala persoalan hanya dari sudut kekinian dan masa depan. Kebanyakan mereka sudah mengidap amnesia historis sehingga aspek kelampauan dari persoalan kekinian sering dilupakan. Jarang orang yang bicara sejarah untuk memecahkan persoalan kekinian dan persoalan masa depan. Sejarah hampir tidak pernah ‘direken’, apalagi yang namanya sejarah lokal hanya dilihat sebagai ‘barang antik’ yang harus dimuseumkan karena dianggap tak lagi memiliki relevansi dengan persoalan kekinian apapalagi masa depan. Padahal semestinya, warga bangsa yang cerdas akan mencari jawaban atas segala persoalan tersebut bukan hanya dengan belajar sejarah (learning history), tetapi juga belajar dari sejarah (learning from history).

Jika kemudian disepakati bahwa kesadaran sejarah memiliki makna yang signifikan dalam ikut serta memecahkan persoalan-persoalan dalam level kebangsaan, apakah hal yang sama juga berlaku dalam konteks otonomi daerah? Justru dalam Era Otonomi Daerah inilah ilmu sejarah juga dapat dimanfaatkan untuk mengkaji potensi yang dimiliki oleh daerah dalam rangka pembangunan di era otonomi sekarang ini. Berdasarkan pemikiran bahwa program pembangunan sebaiknya harus didasarkan atas kepribadian dan potensi yang dimiliki suatu wilayah, maka segenap unsur stakeholders harus mengetahui kepribadian dan potensi lokal yang dimiliki oleh daerah. Dalam hal ini penelitian dan penulisan sejarah lokal akan memiliki posisi penting karena hanya dalam sejarahlah kepribadian daerah bisa ditemukan. Oleh karena itu, makalah ini akan berbicara pentingnya penulisan sejarah daerah dalam rangka ikut memberikan sumbangan untuk memecahkan persoalan yang yang sedang dihadapi daerah. Selain itu, makalah ini juga akan secara garis besar berbicara tentang tentang metode sejarah yang dapat digunakan sebagai bekal untuk melakukan penelitian sejarah lokal.

II. Sejarah: Perlukah?
Banyak orang yang masih menyangsikan kegunaan sejarah untuk kehidupan masa kini. Dua frasa ‘sejarah’ dan ‘masa kini’ memang mengesankan sesuatu yang saling bertolak belakang. Di satu pihak, sejarah berhubungan dengan realitas dan peristiwa masa lalu yang telah hilang, di pihak lain, masa kini jelas mengacu kepada realitas yang sedang dan akan kita hadapi. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul adalah: apa relevansi dan fungsi penulisan sejarah terhadap persoalan masa kini? Atau lebih ekstrim lagi: apakah penulisan sejarah itu ada gunanya untuk menyelesaikan persoalan masa kini?

Seperti diketahui bahwa penulisan sejarah menjadi salah satu sarana untuk menciptakan kesadaran sejarah, yaitu kesadaran bahwa masa kini dan masa depan merupakan bagian dari proses masa lampau. Bahkan bisa dikatakan bahwa masa kini merupakan masa lampau yang sedang berubah. Sebaliknya kesadaran sejarah juga akan menstimulasi penulisan sejarah. Dalam tataran kebangsaan, kesadaran sejarah bisa juga merupakan suatu hal yang subyektif dalam arti berkaitan dengan pengalaman dan penghayatan anak bangsa terhadap masa lampau bangsanya. Kesadaran sejarah yang ditunjang oleh pengetahuan masa lampau yang obyektif akan menimbulkan empati anak bangsa terhadap bangsanya dengan cara ‘relive’ dan ‘rethink’ terhadap tindakan-tindakan manusia pada masa lampau. Untuk selanjutnya, empati ini akan membangkitan keingintahuan anak bangsa untuk menggali lebih dalam perjalanan bangsanya di masa lampau dalam rangka untuk menemukan jawaban dari mengapa segala sesuatu menjadi seperti apa yang terlihat pada masa kini. Anak bangsa yang memiliki kesadaran sejarah akan mencari jawabannya dengan belajar sejarah, sebagaimana yang pernah didengungkan oleh Bung Karno: ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah).’ Mungkin setelah itu ia akan menjadi lebih arif dan bisa memberikan sumbangan pemikiran ke arah mana seharusnya perjalanan bangsa ini mesti ditempuh, sebab kesadaran sejarah merupakan salah satu bentuk empati intelektual.

Benedetto Croce (1866-1952), seorang filsof Itali abad XX, telah menempatkan perspektif kekinian dalam penulisan sejarah. Ia mencemoohkan usaha untuk mencapai obyektivitas masa lampau as actually happened sebagaimana yang pernah dianjurkan oleh Leopold von Ranke (1795-1886). Dalam posisi yang demikian ini Croce menganjurkan untuk mempedulikan interes kekinian yang tidak dapat dihindarkan oleh sejarawan. Sesungguhnya menceritakan ‘apa adanya’ (jajaran fakta) tentang peristiwa masa lampau bukanlah sejarah, tetapi semata-mata merupakan kronik. Menurutnya kronik hanyalah ‘sesuatu’, yaitu mayat atau bangkai dari sejarah, sedangkan sejarah yang sesungguhnya adalah an act of spirit. Oleh karena itu ia menulis: ‘every true history is contemporary history’ dan konsekuensinya adalah bahwa setiap generasi akan menulis sejarahnya sendiri sesuai dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri di masa kini. Sementara itu kronik telah mati dalam pikiran, yaitu berarti tidak hidup dalam pikiran atau pengalaman sejarawan, padahal dalam pemahaman terhadap masa lampau itu sejarawan mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa masa lampau itu di dalam pikirannya. Oleh karena itulah penulisan sejarah daerah dengan perspektif kekinian akan memberikan sumbangan yang berharga untuk ikut memecahkan persoalan yang sekarang sedang dihadapi daerah umtuk merajut masa depannya.

III. Apakah Sejarah Perlu Ditulis Kembali?
Menulis kembali sejarah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi Indonesia. Hal ini paling tidak didasarkan pada dua alasan. Alasan pertama berhubungan dengan perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, sedangkan alasan kedua berhubungan dengan krisis-krisis politik yang mengancam integrasi nasional.

Seperti diketahui bahwa akhir tahun 1990-an menyaksikan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan politik di Indonesia yang ditandai dengan lengsernya rejim Suharto. Dalam perkembangan historiografi Indonesia, runtuhnya Orde Baru ini menjadi tonggak penting dalam khasanah penulisan sejarah yaitu bahwa dengan runtuhnya rejim represif, pengekangan intelektual terhadap penulisan sejarah Indonesia menjadi pudar. Selama rejim Orde Baru, hanya karya-karya sejarah yang ‘direstui’ oleh pemerintah saja yang memiliki hak untuk diterbitkan dan disebarluaskan di dalam masyarakat di Indonesia. Sebaliknya karya-karya sejarah yang dipandang tidak sesuai dengan kacamata pemerintah dilarang. Dengan demikian penulisan sejarah selama periode ini menjadi kurang obyektif, berat sebelah dan dimanfaatkan untuk kepentingan rejim yang berkuasa. Oleh karena itu sudah seharusnya jika berakhirnya rejim Orde Baru dan lahirnya Orde Reformasi dan keterbukaan ini diikuti dengan upaya untuk menulis kembali sejarah Indonesia yang lebih obyektif.

Di samping itu, penulisan kembali sejarah Indonesia terasa lebih sangat urgen mengingat masalah-masalah serius yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia yaitu problem disintegrasi nasional. Sejarah historiografi mengajarkan kepada kita bahwa karya sejarah memiliki fungsi yang signifikan dalam proses integrasi sosial dari suatu komunitas, karena dari karya sejarah inilah titik-titik persamaan, kelemahan dan kekuatan bisa ditemukan dan jalan menuju suatu rujuk kolektif dapat diperoleh.

Pada saat ini, ketika disintegrasi nasional mengancam kelangsungan hidup bangsa Indonesia, persoalan itu perlu segera diantisipasi dengan penulisan kembali sejarah nasional yang mampu mengakomodasikan kekuatan-kekuatan yang mengancam integrasi nasional. Dalam konteks itulah upaya untuk mencari paradigma yang relevan dalam penulisan kembali sejarah Indonesia sangat urgen untuk dilakukan. Apa yang dimaksud dengan paradigma di sini adalah model berpikir mengenai arus kekuatan yang signifikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sebagai suatu komunitas. Dalam hal ini paradigma yang bisa digunakan adalah ‘paradigma integrasi’ dan ‘paradigma kerakyatan’. Dengan menggunakan ‘paradigma integrasi’ diharapkan bahwa karya penulisan sejarah bisa membangkitkan semangat persatuan, sedangkan dengan ‘paradigma kerakyatan’ karya sejarah merupakan merupakan refleksi perjuangan rakyat dalam mencapai cita-citanya yang sampai sekarang belum tercapai yaitu kemakmuran dan keadilan.

IV. Bagaimanakah Signifikansi Sejarah Lokal?
Secara ideal, pemberian otonomi yang luas harus diaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, melibatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, berkeadilan, memperhatikan potensi lokal dengan titik sentral ekonomi pada tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat yaitu tingkat kabupaten dan kotamadia. Apa yang sangat esensial dalam pelaksanaan otonomi daerah ini adalah pemberian wewenang (authority) yang sangat besar kepada daerah untuk mengelola pengembangan potensi daerahnya sendiri. Potensi daerah yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan bersama antara lain mencakup potensi-potensi ekonomi, sosial, politik dan keamanan, serta potensi sejarah dan peninggalan budaya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apa perlunya penulisan sejarah daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah? Paling tidak ada dua manfaat sejarah daerah dalam rangka pembangunan di era otonomi daerah yaitu: 1) sejarah daerah sebagai sarana untuk menggali dan menemukan serta membangun jati diri dan kepribadian daerah (character building); 2) sejarah daerah sebagai sarana untuk membangun solidaritas sosial (social solidarity) yang sangat diperlukan dalam pembagunan daerah. 3) sejarah daerah sebagai wahana rujuk social.

Seperti diketahui bahwa di era Otonomi Daerah semua wewenang dan tanggung jawab pembangunan daerah dilimpahkan kepada segenap unsur masyarakat di daerah baik pemerintah daerah (Bupati / walikota dan segenap birokrasi di bawahnya, DPRD dengan segala perangkatnya, dan unsur-unsur pimpinan lain di daerah) maupun berbagai kelompok masyarakat. Unsur Pemerintah Daerah memegang kunci utama dalam kehidupan eksekutif. Di atas pundak mereka terutama pembangunan daerah bisa berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan. Sementara itu unsur legeslatif juga memiliki beban tanggung jawab yang tidak kalah dengan eksekutif. Di pundak merekalah arah masa depan pembangunan daerah ditentukan. Kalau mereka salah arah dalam menentukan masa depan daerah maka runyamlah daerah itu. Demikian juga peran masyarakat dengan segala elemennya juga sangat penting sebagai pelaksana dan pengontrol pembangunan. Mengingat bahwa pembangunan daerah semestinya dilaksanakan sesuai dengan potensi dan kepribadian yang dimiliki daerah itu sendiri maka segenap unsur stakeholders harus mengetahui kepribadian macam apa yang dimiliki oleh daerah. Dalam hal ini penelitian dan penulisan sejarah akan memiliki posisi penting sebab hanya dalam sejarahlah kepribadian daerah bisa ditemukan.

Penulisan sejarah daerah akan bisa berjalan jika didukung oleh beberapa aktor antara lain ketersediaan sumber sejarah. Di sinilah posisi museum daerah juga menjadi sangat penting sebagai penyedia bahan-bahan penelitian sejarah dan sekaligus sebagai wahana visualisasi peninggalan sejarah dan budaya serta prestasi daerah yang memiliki fungsi edukatif terhadap masyarakat. Selain itu ketersediaan arsip dan dokumen sebagai sumber penulisan daerah juga sangat penting. Arsip-arsip daerah Blora pada masa kolonial mungkin lebih mudah didapatkan di negeri Belanda daripada arsip-arsip jaman republik. Oleh karena itu pemerintah kabupaten juga harus peduli terhadap proses pengarsipan dan dokumentasi di segala bidang baik untuk kepentingan policy making maupun untuk penelitian ilmiah di masa yang akan datang.

Dalam pembangunan daerah diperlukan adanya kekompakan segenap unsur masyarakat dan pemerintah daerah. Kalau dalam periode sebelumnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dilaksanakan dengan mobilisasi maka pada era otonomi daerah ini keterlibatan masyarakat harus dibangitkan dengan cara yang partisipatif. Partisipasi masyarakat tidak akan terbentuk tanpa adanya solidaritas sosial. Memang betul bahwa solidaritas sosial bisa dibangun lewat partai politik dan keagamaan, namun saluran-saluran itu juga mengandung benih perpecahan. Padahal solidaritas sosial sangat diperlukan dalam mambangun partisipasi masyarakat. Solidaritas sosial merupakan conditio sine qua non dalam rangka menarik partisipasi masyarakat dalam rangka pembangunan daerah untuk mencapai masyarakat madani yang adil, merata, dan makmur.

V. Dari Pengumpulan Sumber hingga Penulisan
Rekonstruksi sejarah sebagai aktualitas menjadi sejarah sebagai kisah tidak dapat dilepaskan dari keharusan menggunakan apa yang disebut sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah sebagai sisa-sisa, jejak, bekas dari apa yang pernah terjadi atau bagian dari sejarah sebagai aktualitas yang sampai kepada sejarawan merupakan wadah bagi tersimpannya bahan atau informasi pokok bagi penulisan sejarah. Persoalannya adalah dari mana sejarawan memperoleh sumber sejarah yang diperlukan untuk penulisan sejarah itu. Dalam hubungannya dengan persoalan itu sejarawan harus berkeyakinan bahwa manusia, baik secara sengaja maupun tidak, selalu meninggalkan remakan-rekaman tentang apa yang dialami atau tentang apa yang terjadi. Harus diakui, sebagaimana kata J.B.S Haldane, bahwa segala sesuatu memiliki sejarah (everything has a history). Akan tetapi harus diakui pula bahwa rekaman itu tidak pernah lengkap serta tidak selalu sampai ke tangan sejarawan.

Memang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa masa lampau itu sendiri sebenarnya sudah lewat, tidak ada lagi dihadapan kita. Begitu pula kenyataan-kenyataan masa lampau yang pernah aktual pada waktunya untuk disusul oleh kenyataan baru yang lebih aktual. Begitulah proses ini berjalan terus tanpa ada henti-hentinya. Oleh karena proses yang demikian itu maka persoalannya adalah bagaimana kenyataan masa lampau yang sudah lenyap itu bisa sampai ke tangan sejarawan saat ini. Kenyataan masa lampau tidak lenyap sama sekali. Memang lenyap secara fisik, namun masih tetap ada dalam bentuk informasi yang terekam (recorded information). Informasi itu terekam dalam jejak-jejak yang ditingalkan oleh kejadian-kejadian atau kenyataan-kenyataan yang telah lewat dan lenyap. Itulah yang disebut sebagai sumber sejarah yang merupakan bahan pokok untuk penulisan sejarah.

Di atas kertas, para peneliti sejarah pada umumnya sudah memahami hakekat metode sejarah dan langkah-langkahnya mulai dari heuristik, kritik, interpretasi, hingga historiografi. Namun demikian persoalannya menjadi lain ketika peneliti muda terjun ke lapangan. Menemukan sumber sejarah misalnya merupakan persoalan yang sangat pelik. Dalam kaitan itu, langkah-langkah sistematis dalam pelacakan sumber sejarah perlu dilakukan, antara lain: pertama, peneliti dapat membaca bibliografi ataupun anotated bibliografi yang berisis judul-judul buku dan kadang-kadang juga isi ringkasnya. Dengan membaca buku sumber ini, sejarawan dapat memilih dan mencatat buku-buku dan artikel yang relevan dengan topik yang akan ditulis. Setelah sejarawan menemukan berbagai sumber bibliografi, mereka dapat melacaknya di berbagai lembaga dokumentasi seperti perpustakaan, museum, dan berbagai lembaga arsip bahkan koleksi personal.

Jika topik penelitian sejarah mengharuskan penggunaan metode wawancara, maka perlu dicari key person pelaku peristiwa. Dari key person inilah dapat dilacak tokoh-tokoh lain yang menjadi saksi dari suatu peristiwa. Setelah itu dapat dicari orang-orang yang meskipun bukan pelaku dan saksi mata tetapi dapat memberikan informasi yang diperlukan. Sudah barang tentu pengumpulan sumber-sumber sejarah tidak hanya dilakukan pada awal penelitian, namun terus-menerus dilakukan hingga saat peneliti menulis bab-bab terakhir. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tahap pengumpulan sumber tidak cukup hanya dilakukan pada tahap awal penelitian, tetapi juga pada saat penulisan bab demi bab. Pada saat yang demikian itu justru baru dirasakan persoalan kekurangan sumber.

Setelah memperoleh sumber sejarah yang memadai, biasanya sejarawan tidak banyak mengalami kesulitan untuk memanfaatkan sumber-sumber sejarah sebagai bahan penulisan. Apalagi jika karya mereka bersiat deskriptif maka pemanfaatan sumber sejarah untuk penulisan sejarah tidak akan menimbulkan banyak kesulitan. Barangkali persoalan yang sering muncul justru berkaitan dengan penerapan konsep dan teori dalam menganalisis permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Hanya dengan pengalaman membaca karya orang lain dan mencoba membuat persiapan penelitian yang lebih matang yang dapat membuat peneliti muda dapat mengatasi persoalan ini.

Selanjutnya, menyajikan hasil penelitian dan penulisan sejarah merupakan suatu persoalan yang rumit. Pada tahap penyajian tulisan inilah kemampuan sejarawan di bidang seni diuji. Sejarawan dituntut untuk menyajikan hasil penelitiannya secara tepat yaitu sesuai dengan bukti-bukti yang ada (accurate), dapat dibaca dengan enak (readable), bermanfaat (useful), dan memberikan gambaan yang baru (new). Kemampuan itu dituntut secara simultan. Dalam hubungan ini unsur bakat seni dari sejarawan sangat dituntut. Artinya ada sejarawan yang bisa menulis dengan cara yang menarik, namun demikian ada pula sejarawan yang menyajikan hasil penelitiannya secara datar dan kering. Sejarawan yang memiliki bakat sastra tentu akan menghasilkan tulisan yang menarik daripada sejarawan sejarah yang sebetulnya hanya memiliki bakat “teknisi”.

Dalam menyanjikan hasil penelitian, sejarawan juga dituntut untuk memiliki imajinasi yang tinggi. Namun demikian jangan lupa bahwa imajinasi yang dimiliki oleh sejarwan lain dengan imajinasi yang dimiliki oleh seorang komposer puisi. Imajinasi seorang sejarawan tetap didasarkan pada sumber sejarah, sedangkan imajinasi seorang komposer puisi lebih bebas sifatnya. Harus diingat pula bahwa imajinasi historis merupakan hal yang reproduktif (merekonstruksi kembali), bukan berupa inventif (penciptaan baru). Artinya bahwa imajinasi historis mengacu kepada upaya untuk menghidupkan kembali masa lampu melalui gambaran yang disajikan dalam tulisan sejarah. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa sebagian unsur dari gambaran masa lampau telah hilang akibat ketidaklengkapan sumber sejarah dan inilah yang membutuhkan imajinasi historis.

Meskipun imajinasi historis memegang peranan yang penting dalam “menghidupkan” masa lampau yang sudah mati, namun unsur logika (logic) memegang peranan yang penting. Hal ini pula yang merupakan salah satu yang membedakan antara kisah sejarah dengan mitos. Namun demikian logika sejarawan ini bisa berbeda-beda tergantung dari ruang dan waktu, serta pengaruh cara berpikir sejarawan yang bersangkutan. Sejarawan modern yang ilmiah tentu akan meninggalkan jauh-jauh logika yang didasarkan atas kepercayaan terhadap keajaiban dalam proses sejarah sebagaimana yang dikisahkan oleh Pararaton tentang Ken Arok yang memiliki bapak Dewa Brahma yang menghamili ibunya.

Penyajian kisah sejarah banyak berhubungan dengan persoalan proses retorika daripada sebuah proses penelitian. Dalam hubungan itulah apa yang lebih penting adalah soal diksi (pemilihan kata) dan ungkapan lain yang bersifat effective (effective expression) melalui media kata-kata. Sebuah ungkapan bisa dikatakan efektif jika ungkapan itu menghasilkan sesutu yang bersifat informatif, meyakinkan dan memberi persuasi. Oleh karena itu penyajian kisah sejarah harus memenuhi kaidah ungkapan yang efektif tersebut. Adapun gaya bahasa yang digunakan dapat ditentukan oleh jenis tulisan sejarah itu sendiri, apakah tulisan itu dimaksudkan sebagai buku ilmiah murni, ilmiah popular, ataukah sebagai buku pelajaran bagi para siswa. Dalam hal ini pengunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan keharusan bagi penulisan sejarah. Sekali lagi kunci untuk dapat menulis dengan baik adalah membaca dengan rajin karya orang lain. Dengan membaca karya orang lain, secara tidak sengaja sebetulnya sudah belajar baaimana orang lain mengekspresikan ide-ide dalam bentuk tulisan sejarah. Jadi, membaca sebetulnya merupakan kunci sukses dari seorang sejarawan.

VI. Catatan Akhir
Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan penekanan pada bagian akhir makalah ini:
1. Penulisan sejarah memiliki peran yang signifikan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan kesadaran sejarah, yaitu kesadaran bahwa masa kini dan masa depan merupakan bagian dari proses masa lampau. Dengan kesadaran sejarah, seseorang tidak akan kehilangan jati dirinya dan mampu menentukan langkah yang tepat di masa depan sesuai dengan potensinya.
2. Penulisan kembali terhadap sejarah Indonesia dan sejarah lokal merupakan suatu keharusan sesuai dengan hakekat ilmu sejarah yang dinamis.
3. Penulisan sejarah lokal memiliki manfaat dalam rangka pembangunan daerah di era otonomi daerah yaitu: 1) sebagai sarana untuk menggali dan menemukan serta membangun jati diri dan kepribadian daerah (character building); 2) sebagai sarana untuk membangun solidaritas sosial (social solidarity) yang sangat diperlukan dalam pembagunan daerah. 3) sejarah lokal sebagai wahana rujuk social.
4. Metode penelitian yang digunakan untuk mengeksplor sejarah lokal pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang menyolok dengan jenis penelitian sejarah yang lain (pada cakupan penelitian sejarah yang lebih luas). Kajian sejarah lokal memiliki cakupan yang terbatas yang memerlukan teknik-teknik tertentu untuk melakukan eksplorasi sumber sejarah. Jika sumber tertulis terbatas, maka peneliti sejarah dapat mengoptimalkan eksplorasi sumber yang tidak tertulis termasuk wawancara. Bisa juga kelangkaan sumber sejarah mungkin dapat ditutup dengan memperluas tema penelitian. Di samping itu untuk melaqkukan penelitian sejarah lokal perlu menyiapkan reserach design yang lebih detail mulai dari penemuan topik (dan judul), menentukan fokus penelitian, pelacakan sumber, dan interpretasi hingga penulisan sejarah.

*Guru Besar Sejarah Maritim dan ketua Prodi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Undip. Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Nasional Penggalian Peristiwa dan Nilai-Nilai Sejarah Lokal sebagai Bahan Pembelajaran Sejarah di Sekolah” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Kabupaten Kendal (Kendal: 25 Juli 2010)

Baca Selengkapnya Klik disini !

MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL YANG INOVATIF Oleh: Prof. Dr. Wasino, M.Hum.*

A. Pendahuluan
Sejak tahun 2006, arah kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami perubahan. Perubahan itu terutama pada otonomi sekolah sebagai pengembang kurikulum. Produk dari kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan disingkat KTSP.


Dalam ranah pembelajaran KTSP dimaknai sebagai otonomi guru dalam kegiatan pembelajaran. Guru diberi kewenangan membuat garis-garis besar pengajarannya dalam bentuk silabi dan dijabarkan sendiri dalam bentuk RPP. Silabi dan RPP mendasarkan diri pada Standar Kelulusan (SKL) dan Standar Isi Mata Pelajaran (Sejarah) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional produk Badan Standar Nasional Pendidikan atau BSNP.

Sesungguhnya filosofi KTSP sebagai kelanjutan dari kurikulum inovasi sebelumnya, Kurikulum 2004 merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berbeda dengan kurikulum sebelumnya (1994) yang lebih menekankan content, maka kurikulum baru ini lebih menekankan pada sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dalam jenjang pendidikan tertentu (Sardiman, 2004).

Proses pembelajaran di sekolah juga mengalami pembaharuan dengan istilah Contextual Teaching Lerning (CTL). Dalam pendekatan pembelajaran baru ini materi pembelajaran sejarah menjadi berubah. Pembelajaran sejarah sebaiknya dimulai dari fakta-fakta sejarah yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak, baru kemudian pada fakta-fakta yang jauh dengan tempat tinggal anak. Lingkungan tempat tinggal dapat berupa desa, kota kecil, lingkungan pantai, pegunungan, lingkungan industri, barak militer, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal itu maka pengkajian sejarah lokal menjadi penting. Makalah ini berusaha membahas tentang sejarah lokal dari aspek konseptual dan metodenya.

B. Batasan Konseptual tentang Sejarah Lokal
Sejarah lokal memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan lingkup spasial di bawah sejarah nasional, misalnya sejarah Indonesia. Berdasarkan hierarkhi ini, maka sejarah lokal barulah ada setelah adanya kesadaran adanya sejarah nasional. (Taufik Abdullah,2004:3). Meskipun adanya hierarki demikian bukan berarti semua sejarah lokal harus memiliki keterkaitan dengan sejarah nasional. Sejarah lokal bisa mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki kaitan dengan sejaran nasional dan peristiwa-peristiwa khas lokal yang tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang lebih luas, seperti nasional, regional, atau internasional. Pendek kata, sejarah lokal berkaitan dengan aspek geografis di bawah lingkup nasional, seperti propinsi, kabupaten, kota, desa, dan seterusnya.

Secara umum batas “lokal” dalam penelitian sejarah lokal ditentukan oleh sejarawan sendiri. Selain batasan di atas, lokal bisa berarti wialayah geografis yang terlepas dari ketentuan adminsitratif modern, misalnya, “pantai Utara Jawa” atau “wilayah sepanjang lembah Bengawan Solo”. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah, pengkajian sejarah etnis tidak bisa dikategorikan sebagai “sejarah lokal”. “Sejarah Minangkabau” sebagai wilayah masih mungkin, artinya sejarah Sumatera Barat, tetapi dalam pengertian etnis, namanya bukan lagi sejarah lokal. Dalam pengertian etnis “sejarah Minangkabau” dapat menyebabkan kita harus mengkaji sejarah sepanjang pantai Barat Sumatera, mulai Aceh, Sibolga, sampai ke Bengkulu, Jambi, dan menyeberang ke Selat Malaka, dan Negeri Sembilan. Pendek kata daerah-daerah yang didiami oleh etnis Minangkabau.

C. Lingkup Temporal (Waktu) dan Spasial (Tempat)
1. Lingkup Temporal

Lingkup waktu dalam sejarah lokal bisa mencakup masa sebelum mengenal tulisan (preliteracy history) yang selama ini lebih dikenal dengan nama masa prasejarah hingga masa sekarang. Lingkup temporal ini dapat dipilah lagi menjadi beberapa babakan atau periodisasi sejarah.

Periodisasi sejarah lokal tidak harus mengikuti periodisasi sejarah nasional. Hal ini penting diperhatikan karena tidak semua peristiwa lokal memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa yang lebih luas, termasuk peristiwa pada tingkat nasional. Sebagai contoh dalam dalam Sejarah Nasional dikenal zaman Perkembangan Islam antara abad ke 7 hingga abad ke 13. Pembabakan ini tidak menggambarkan semua realitas sejarah pada tingkat lokal di Indonesia. Di beberapa daerah tertentu pada abad tersebut agama Islam belum masuk, penduduk sebagian besar masih menganut kepercayaan lokal dan sebagian lagi beragama Buddha dan Hindu.

Demikian pula dalam sejarah nasional dikenal periode Tanam Paksa (1830-1870). Pembabakan ini tidak tepat untuk membuat periode sejarah lokal di daerah tertentu, karena ada sejumlah daerah yang pada waktu itu tidak mengenal Tanam Paksa seperti wilayah Yogyakarta dan Surakarta serta sebagian besar wilayah luar Jawa. Babakan sejarah kontemporer yang memasukkan periode 1945-1950 sebagai periode perjuangan kemerdekaan Indonesia juga tidak tepat untuk diterapkan di semua sejarah lokal di Indonesia. Pada periode tersebut penduduk di Lembah Baliem, Papua tidak mengenal perang kemerdekaan, bahkan masih hidup pada zaman preliteracy (prasejarah (sic)). Dengan demikian penentuan periodiasi penulisan sejarah lokal harus memperhatikan dinamika sejarah lokal masing-masing daerah dan tidak terpaku pada periodisasi sejarah nasional.

2.Lingkup Spasial
Lingkup spasial dalam sejarah lokal adalah wilayah lokal, bukan nasional atau regional. Batasan lokal memang membuka peluang perdebatan, sebab ada peristiwa-peristiwa lokal yang memilik kaitan dengan peristiwa nasional dan ada peristiwa sejarah lokal yang memang khas lokal. Dalam hal ini lingkup sejarah lokal hanya mengacu pada batasan wilayah administratif atau geografis. Taufik Abdullah (1985) membatasi konsep lokal adalah wilayah administratif tingkat propinsi atau yang sejajar dan wilayah administratif di bawahnya. Dengan demikian lingkup spasial sejarah lokal dapat mencakup wilayah desa, kecamatan, kawedanan, kabupaten, hingga propinsi. Lokalitas juga dilihat dari aspek geografis seperti pasisir, pedalaman, dan pegunungan. Selain itu juga dapat dilihat dari ciri khas budaya dan sosial ekonominya seperti masyarakat volk (masyarakat sederhana), desa, kota kecil, kota besar, dan kota besar.

D. Pembelajaran Sejarah Lokal
1. Membongkar Kurikulum Nasional Sejarah

Berpuluh-puluh tahun kurikulum sekolah dibuat oleh pemerintah, c.q. Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum itu diujudkan dalam bentuk Garis-garis Besar Program Pengajaran adatu disingkat GBPP. GBPP harus ditaati secara ketat oleh guru dengan diturunkannnya dalam Satuan Pelajaran atau disingkat SP.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma. Kurikulum yang tersentralisasi diubah menjadi terdesentralisasi dengan nama Krikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau disingkat KTSP. Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan hanyalah membuat Standarnya saja. Khusus yang terkait dengan kepentingan guru adalah Standar Kelulusan serta Standar Isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar).

Dalam paradigma baru ini guru sejarah diberi wewenang yang lebih luas untuk mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum dimulai dengan membongkar SK dan KD yang kemudian dijabarkan dalam sejumlah indikator yang relevan dengan konteks tempat guru mengajar. Memang SK KD tidak dapat diubah, tetapi urutannya dapat dipindah-pindah. Sementara itu indikator dalam SK KD sangat tergantung dari kemampuan guru sejarah dalam menjabarkannnya. Termasuk di dalamnya untuk memilih materi ajar sejarah yang akan digunakan, guru diberi kebebasan asal standar minimal dipenuhi.

Semangat kurikulum yang demikian belum banyak disadari oleh para guru, termasuk guru sejarah. Banyak guru yang tidak menyusun silabi, tetapi hanya mengcopy model silabi yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum (Puskur). Dampaknya masih ada kesan sentralisasi kurikulum. Untuk itu para guru sejarah hendaknya membuat silabi sendiri, kalau tidak kelompok guru mata pelajaran yang tergabung dalam MGMP Sejarah membuat silabinya sendiri. Dengan cara itu, cirikhas kurikulum sebuah KTSP akan terlihat. Jika perlu MPGMP dapat mengundang tim pengembang kurikulum sebagai nara sumber, apakah dari LPTK atau dari LPTK yang relevan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan guru dalam menentukan tingaketan kemampuan anak dalam penerimaan materi ksejaraha. Anak SD, SMP, dan SMA harus dibedakan berdasarkan tingkat berpikirnya. Menurut Kochhar (2008:75), ada tiga tingkatan, yaitu: (1) anak-anak pada tingkatan sekolah dasar ditekankan pada meteri pembelajaran tentang tokoh, (2) anak-anak pada sekolah menengah pertama ditekankan pada materi pembelajaran tentang peristiwa sejarah, dan (3) anak-anak pada tingkatan SLTP ditekankan pada materi pembelajaran yang menakankan ”gagasan” atau pemikiran. Standar Isi IPS Sejarah 2006 memberi ruang gerak kepada guru untuk mengembangkan materi ajar sesuai dengan tingkat berpikir siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya.


2. Disajikan dari Sejarah Umum ke Sejarah Khusus
Dalam sejarah kita kenal bahwa tidak ada satu bangsa, suku bangsa, atau kelompok sosial tertentu yang tak memiliki jaringan dengan dunia luar. Perkembangan masyarakat, politik, dan kebudayaan yang opernah terjadi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur luar sejak masa pra sejarah hingga masa kini.

Pengembangan materi ajar sejarah dapat dioleh dengan cara deduktif dengan cara menerangkan persoalan-persoalan umum yang terjadi pada tingkat dunia (internasional), kawasan (regional), nasional (negara), hingga pada level lokal (propinsi, kabupaten, kecamatan, desa). Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini:
a. Ketika guru menerangkan perkembangan agama Islam di Nusantara, guru dapat menurunkan materi ajar sejarah itu pada level lokalitas yang lebih sempit, yaitu Pulau Jawa, pantai Utara Jawa, Semarang, Kendal, Wonosobo, Surakarta, dan sebagainya.
b. Ketika guru menerangkan Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang melahirkan nasionalisme, guru dapat mengaitkan konsep revolusi, nasionalisme itu dengan yang terjadi di Indonesia, Jawa Tengah, Semarang, Surakarta, Purworejo, dan sebagainya.
c. Ketika guru menerangkan tentang perkembangan demokrasi di dunia Barat, guru dapat mengaitkan konsep demokrasi dan implementasinya yang berkembang di Indonesia.
3 . Disajikan dari Peristiwa Lokal ke Peristiwa Nasional dan Global
Pengajaran sejarah juga dapat diawali dari fakta-fakta sejarah lokal pada periode tertentu. Fakta-fakta itu kemudian dihubungkan dengan peristiwa yang lebih luas seperti nasional, regional, dan dunia. Di bawah ini diajukan sejumlah contoh model ini.
a. Ketika guru sedang menerangkan peninggalan sejarah “Lawang Sewu”, yang berarti menerangkan perkembangan transportasi Tram di Kota Semarang pada awal abad XX, maka guru dapat mengkaitkannya dengan jaringan tram, dengan jaringan kereta api di Jawa. Jaringan Kereta api di Jawa dikaitkan dengan kepentingan Kolonial dalam perdagangan internasional. Kepentingan perdagangan internasional dikaitkan dengan imperialisme Baru, dan seterusnya sesuai dengan jangkauan kemampuan siswa.
b. Ketika guru menerangkan sejarah Kendal pada masa Bahurekso, maka guru dapat mengkaitkannya dengan perkembangan agama Islam, jaringan dagang internasional, dan Politik Integrasi Mataram Islam.
c. Ketika guru sedang menerangkan Sejarah Perjuangan Raden Mas Said di wilayah Wonogiri, guru dapat mengaitkannnya dengan suksesi di Kesunana Surakarta, Proses masuknya VOC di Surakarta, hingga Penjajahan Belanda di Nusantara.

E. Simpulan dan Saran
Sekarang ini guru telah dinyatakan sebagai sebuah profesi oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Guru dan Dosen. Implikasi dari sebuah profesi, maka kemampuan yang dimiliki harus dapat dipertanggungjawabkan di kalangan penggunanya.

Guru sejarah merupakan profesional yang pekerjaan utamanya adalah melakukan pembelajaran dalam bidang sejarah. Sebagai pembelajar, guru sejarah harus terus mengikuti wacana yang berkembang dalam dunia keprofesonalannya. Pertama, dia harus selalu menyegarkan pengetahuan kesejarahan. Dalam pengertian mengikuti perkembangan temuan-temuan kesejarahan. Kalau perlu juga menjadi bagian penemu fakta sejarah. Kedua, guru harus mengembangkan inovasi-inovasi pembelajarannya supaya siswa sebagai konsumen senang dalam mempelajari sejarah dan dapat mengambil manfaat dari belajar sejarah. Inovasi dapat dilakukan mulai dari perancangan kurikulum, pengembangan bahan ajar, proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, dan akhirnya mengadakan penilaian terhadap bahan-bahan yang diajarkan.

Sejarah lokal merupan bahan penting untuk dikembangkan sebagai bahan pembelajaran. Guru sejarah dapat memanfaatkan hasil penelitian sejarawan tentang sejarah lokal (Kendal) untuk kepentingan pembelajaran. Selain itu juga dapat mengajak anak untuk menggali sendiri secara sederhana dengan pendekatan inkuiri.
*Guru Besar Sejarah Sosial Unnes dan ketua Prodi Pendidikan IPS Program Pascasarjana Unnes.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !

MENANGKAP JEJAK BAHUREKSO DI SEMINAR NASIONAL SEJARAH

Minggu tanggal 25 Juli 2010, Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Kendal berhasil melaksanakan Seminar Nasional Penggalian Peristiwa dan Nilai-nilai Sejarah Lokal sebagai Bahan Pembelajaran Sejarah di Sekolah. Seminar yang bertempat di Pondok Modern Selamat Kendal, berjalan lancar dengan peserta berjumlah 129 orang dari unsur guru SMA/SMK/SMP/MTs dan pemerhati sejarah.

Dalam seminar ini dilantik pula secara resmi pengurus MSI Komisariat Kendal oleh pengurus MSI Cabang Jawa Tengah yang dilakukan langsung oleh ketua umum yaitu Prof. Dr. Singgih Tri Sulistyono, M.Hum. Menurutnya keberadaan organisasi ini setidaknya menjadi wahana bagi para guru dan pemerhati sejarah agar mampu mengangkat peristiwa lokal sebagai aset kebanggan daerah. Lebih lanjut, sebagai ketua MSI Kendal adalah Drs. Tjiptoro, M.Pd dan sekretarisnya adalah Purwanto, S.Pd.

Seminar yang dibuka oleh Kabid PMPTK Drs. Wagiyo, M.Pd menghadirkan pembicara handal dibidangnya. Pembicara pertama adalah Prof. Dr. Singgih Tri Sulistyono, M.Hum dari Undip yang mengedepankan pembahasan pada prinsip sejarah lokal, langkah penelitian, dan penulisan sejarah lokal itu sendiri. Sebaliknya, Prof. Dr. Wasino dari Unnes yang lebih menitiberatkan pada model pembelajaran sejarah lokal yang inovatif. Wasino mengarisibawahi tentang bagaimana strategi, langkah, serta cara menerapkan metode pembelajaran yang mengarah pada pengagalian sejarah dan pemahaman sejarah lokal.

Yang menarik dari kegiatan ini adalah munculnya respon dari peserta yang menyoal tentang keberadaan makam Tumenggung Bahurekso. Minkarto dari SMA Trisula memaparkan tentang keberadaan jejak Bahurekso yang sampai sekarang masih penuh teka-teki. Menurutnya, makam Bahurekso yang paling jelas berada di Lebak Siu Kabupaten Tegal. Bukti pernyatan ini adalah referensi sejarawan Husein Djayadiingrat dan bukti keberadaan makam tersebut yang dikelingi oleh puluhan makam yang sangat mungkin adalah para prajurit mataram yang gugur saat menggempur VOC di Batavia tahun 1628. Meskipun sejarawan H. J. de Graaf menulis tentangnya tewasnya Bahurekso dalam pertempuran di Batavia, tetapi berdasarkan tradisi dan budaya lokal, setiap panglima yang gugur perang pasti langsung dibawa oleh senopati dan prajuritnya dibawa ke belakang garis pertempuran. Pertempuran saat itu langsung selesai. Bahurekso yang luka para tidak mungkin melanjutkan peperangan dan sampai di Tegal langsung segera dimakamkan. Pernyataan dan informasi Minkaryo tersebut, oleh Wasino dijawab dengan memaparkan buku sejarah Kendal yang memperlihatkan perkembangan daerah Kendal semenjak Bahurekso memerintah sampai dengan menjelang zaman kemerdekaan.

Sangat disayangkan, dalam seminar yang dipersiapkan dengan baik ini tidak dihadiri guru SD dan Komisi D DPRD II Kendal. Padahal, melalui temu ilmiah ini, Prof. Wasino berharap sekali para guru SD sudah mampu mencari, menemukan, dan menyampaikan bagaimana sejarah tersebut diterima oleh murid-muridnya.

Dengan kata lain, guru SD adalah tulang punggung awal bagaimana sejarah itu harus disampaikan secara bertahap dalam lingkup lingkungan terkecil sampai meluas. Sebaliknya, jika dihadiri komisi D, setidaknya menjadi langkah awal bagi pembentukan kebijakan yang sarat dengan nilai-nilai lokalitas, budaya, dan sejarah Kabupaten Kendal itu sendiri. Sejarah bukan monopoli guru sejarah, melainkan menjadi bersama suatu masyarakat, demikian kata ketua panitia Purwanto, S.Pd.

Label:


Baca Selengkapnya Klik disini !